Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, August 4, 2019

Santo Yohanes Maria Vianney

diambil dari katakombe.org/para-kudus Hits: 7063 Diterbitkan: 25 Agustus 2013 Diperbaharui: 12 Oktober 2015
ilustrasi dari koleksi Blog Domus

  • Perayaan
    04 Agustus
  • Lahir
    8 Mei 1786
  • Kota asal
    Dardilly, Lyons, Perancis
  • Wafat
    4 August 1859 di Ars Perancis | Oleh sebab alamiah. Tubuhnya masih utuh sampai saat ini
  • Beatifikasi
    8 January 1905 oleh Santo Paus Pius X
  • Kanonisasi
    tahun 1925 oleh Santo Paus Pius X Sumber : Katakombe.Org

Yohanes Baptis Maria Vianney dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di Dardilly, sebuah dusun dekat Lyons, Perancis, dalam sebuah keluarga petani sederhana. Rumah keluarga Vianney yang terletak di antara perkebunan anggur yang indah itu telah dikenal orang dari generasi ke generasi sebagai rumah orang-orang miskin, sebagai wisma para pengemis yang berkelana. Pada tahun 1770, St Yosef Labrè merupakan salah seorang dari para pengemis itu. 

Berasal dari keluarga Katolik yang saleh

Orangtua Yohanes Maria adalah Matius dan Maria Vianney. Matius adalah seorang yang saleh dan amat jujur dalam abad di mana korupsi merajalela di Perancis; Maria menonjol dalam keutamaan-keutamaan kelemah-lembutan dan kasih sayang yang memancar dari lubuk hatinya yang terdalam, sungguh pantas menjadi ibu seorang kudus.
Bahkan sebelum kelahiran St Yohanes Maria, sulung dari enam bersaudara, kerapkali sang ibu mempersembahkan calon putranya itu kepada Tuhan dan Bunda Maria; berikrar janji secara rahasia untuk mempersembahkannya di altar Tuhan. Bidan yang melayani persalinannya berseru, “Sungguh, entah anak ini akan menjadi seorang kudus besar atau seorang penjahat besar.”
Usianya baru delapanbelas bulan ketika Yohanes Maria telah belajar mengatupkan kedua tangan mungilnya dalam doa dan mengucapkan nama Yesus dan Maria. Maria Vianney akan membangunkan anak-anaknya setiap pagi, agar ia dapat memastikan mereka mempersembahkan hati mereka kepada Tuhan. Kesalehan ibunya tertanam dalam hatinya.
Pada masa kanak-kanak Yohanes Maria, karena anti-klerus, anti-gereja dari Revolusi Perancis yang pecah pada tahun 1789, para imam yang tidak menandatangani sumpah setia kepada negara, dibuang dalam pengasingan. Sebagian imam terpaksa hidup dalam persembunyian, jika tertangkap, guillotine (=hukuman pancung) telah menanti. Segera saja pintu-pintu gereja di Dardilly disegel dan praktek iman Katolik dilarang oleh pemerintah.
Tetapi, di Lyons masih ada sekitar 30 orang imam yang setia kepada Roma, yang terus melayani sakramen-sakramen secara sembunyi-sembunyi, dengan taruhan nyawa mereka. Keluarga Vianney, tidak saja memegang teguh iman mereka selama masa penganiayaan ini, melainkan sesungguhnya semakin diperteguhlah iman mereka karenanya. Keluarga Vianney tidak pernah mau berhubungan dengan imam-imam yang bersumpah setia kepada konstitusi Perancis, yang anti-Gereja; pun mereka tidak mengijinkan anak-anak mereka belajar di sekolah-sekolah negeri, meskipun hukuman berat dikenakan terhadap mereka yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Sebaliknyalah, mereka terus mendaraskan doa-doa harian dan mengajarkan katekese di rumah. Sekali waktu, seorang imam yang setia kepada Roma akan datang untuk mempersembahkan Misa secara sembunyi-sembunyi. Dalam situasi seperti itu, Yohanes Maria harus menerima Komuni Pertamanya secara sembunyi-sembunyi kala usianya 13 tahun.
Kejahatan Revolusi Perancis, yang menyebabkan penyelewengan begitu banyak imam, menanamkan rasa ngeri akan dosa dalam diri Yohanes Maria, sekaligus semangat yang berkobar untuk menjadi seorang yang saleh. Ia biasa berkata, “Oh, andai aku seorang imam, aku akan berjuang untuk memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi Tuhan.”

PERJUANGAN MENJADI IMAM

Pada tahun 1799 Napoleon Bonaparte menjadi penguasa absolut Perancis. Ia memerdekakan Gereja, sehingga Misa Kudus kembali dapat dirayakan secara umum dan Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus dapat ditahtakan di altar. Yohanes Maria segera saja setia mengadakan kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Penggembala domba yang telah menjadi seorang pemuda berusia 18 tahun itu merasa mantap untuk menjawab panggilan hatinya menjadi seorang imam. Sungguh sayang, ayahnya Matius tidak mengijinkan putranya masuk seminari; tidak akan mampu ia membiayai sekolah putranya, lagipula ia sudah semakin tua dan membutuhkan tenaga Yohanes Maria untuk bekerja di pertanian. Sia-sia saja Maria memohon kepada suaminya. Sepanjang waktu itu, St Yohanes menyimpan semuanya dalam hati, menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang kudus.
Pada tahun 1806, Abbè Balley, salah seorang dari dua imam yang paling berpengaruh dalam keluarga Vianney, membuka sebuah sekolah kecil di pastoran di Ecully, guna mempersiapkan anak-anak lelaki untuk panggilan imam. Matius setuju dan memperbolehkan Yohanes belajar di sana. Tetapi, pada awalnya Abbè Balley enggan menerima Yohanes Maria, sebab pendidikannya tidak memadai, ia hanya tahu membaca dan menulis, itu saja; pula usianya sudah sembilanbelas tahun. Yohanes yakin akan panggilannya, jadi ia mendesak; Abbè Balley akhirnya berubah pendirian setelah ia mengetahui betapa banyak Yohanes mengenal kisah para kudus. Pada tahun 1807, Yohanes Maria menerima Sakramen Penguatan dan menambahkan Baptis dalam namanya.
Belum lama belajar di seminari, setahun kemudian muncul halangan berikutnya. Napoleon Bonaparte sangat membutuhkan tenaga prajurit, jadi, meski sebenarnya bebas dari wajib militer, Yohanes Maria bersama para seminaris lainnya dipanggil untuk masuk dinas militer. Mereka diperintahkan untuk melaporkan diri ke markas di Loyons. Tetapi, dua hari setelah menerima instruksi, ia sakit dan harus dirawat di rumah sakit sehingga teman-temannya meninggalkannya. Pada tanggal 5 Januari 1809, sementara masih dalam taraf penyembuhan, ia telah diperintahkan untuk melapor di Roanne untuk suatu wajib militer keesokan harinya. Teman-teman seperjalanan meninggalkan Yohanes Maria, karena ia bersikeras singgah terlebih dahulu di gereja untuk berdoa. Ia berusaha menyusul mereka di Renaison, walau peralatan militer yang ada padanya hanyalah sebuah ransel.
Sepanjang perjalanan, Yohanes berdoa rosario. Ketika mendekati pegunungan Le Forez, hari telah siang; karena kecapaian, ia berhenti untuk beristirahat, bertanya-tanya dalam hati di manakah ia akan dapat menemukan tempat berteduh dalam musim dingin seperti ini. Sekonyong-konyong, muncul seorang yang menyebut diri sebagai Guy. Guy memungut ransel Yohanes dan menghantarnya lewat naik ke suatu jalan pegunungan ke sebuah gubug dekat dusun Les Noës yang terpencil. Keesokan harinya Yohanes Maria beranggapan bahwa Guy pastilah salah seorang pelarian dari dinas militer yang banyak bersembunyi di hutan-hutan dan bukit-bukit. Jika berteman dengan Guy, ia khawatir akan dianggap seorang pelarian juga. Maka, setelah mempertimbangkan situasi, Yohanes melaporkan diri kepada ketua komunitas di sana. Tuan Fayot adalah seorang yang peramah dan bijaksana; ia menjelaskan kepada Yohanes bahwa secara teknis ia sudah seorang pelarian, dan menasehatkan yang terbaik baginya adalah tinggal di pengasingan di mana ia berada sekarang. Tuan Fayot memberikan tumpangan kepada Yohanes di rumah sepupunya, seorang janda yang baik hati, di mana Yohanes tinggal dalam persembunyian di kandang selama 14 bulan lamanya. Sebagai ungkapan terima kasih, Yohanes memberikan pelajaran kepada anak-anak sang janda. Beberapa kali Yohanes nyaris tertangkap oleh militer, satu kali bahkan ia merasakan ujung pedang di antara tulang-tulang rusuknya sementara pedang dihunuskan ke tumpukan jerami, di mana ia bersembunyi.
Sungguh beruntung, pada tahun 1810, sehubungan dengan pernikahannya dengan puteri bangsawan Marie-Louise, Bonaparte memberikan amnesti umum kepada semua pelarian; dengan demikian, Yohanes Maria bebas pulang ke rumah. Bulan Februari, di tengah kebahagiaan pulangnya putra kesayangan, Maria Vianney meninggal dunia. Sejak itu, St Yohanes Maria Vianney tidak lagi memiliki keterikatan duniawi apapun. Usianya sekarang sudah 24 tahun.
Tahun berikutnya Yohanes Maria menerima Tonsura (= upacara pemangkasan rambut calon imam sebelum menerima tahbisan rendah; upacara ini dihapuskan sejak 1972), kemudian belajar filsafat setahun lamanya di seminari menengah di Verrières. Ketika kembali di seminari, Yohanes Maria mempersembahkan diri kepada Bunda Maria, mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan-tangan kudusnya, mempersembahkan segala perbuatan-perbuatan baiknya di masa lampau, masa sekarang, dan masa mendatang, ke dalam perlindungan keibuannya, dengan cara seperti yang diajarkan oleh St. Louis de Montfort, seorang santo besar Perancis yang amat berpengaruh dalam memelihara iman umat di wilayahnya selama masa penganiayaan.
Pada tahun 1813, Yohanes Maria melanjutkan studinya di seminari tinggi di Lyons. Sejak itu ia dikenal sebagai Abbè Vianney, sebab ia telah menerima Tonsura tahun sebelumnya. Di antara 250 seminaris yang ada di sana, Abbè Vianney terkenal karena laku tapa, silih, kerendahan hati dan permenungannya yang mendalam. Tetapi, dalam bidang akademis ia amat lemah; ia sulit sekali belajar dan menghafal. Walau telah berjuang sekuat tenaga, ia tidak pernah berhasil menguasai bahasa Latin; sebab itu Abbè Vianney dijuluki sebagai “seminaris paling bodoh, namun paling saleh di Lyons”. Enam bulan kemudian, yang berwenang terpaksa harus mengeluarkannya dari seminari sebab pengetahuan akademisnya sungguh buruk.
Nyaris putus asa, Abbè Vianney mendengar suatu suara yang menghiburnya untuk tidak bersedih hati, sebab suatu hari kelak ia akan sungguh menjadi seorang imam. Abbè Balley juga tak hendak menyerah, ia secara privat membimbing Abbè Vianney dan segera mengirimnya kembali untuk mengikuti ujian tahbisan rendah dan diakonat. Kali ini, ujian diberikan dalam bahasa Perancis dan ia berhasil lulus; sesungguhnya para penguji mencatat bahwa ia “memberikan jawaban-jawaban yang sungguh bagus serta memuaskan....”
Kesalehan Yohanes Maria Vianney terdengar juga oleh Bapa Uskup. Beliau bertanya, “Apakah ia berdevosi kepada Bunda Maria? Apakah ia setia mendaraskan rosario? Apakah ia sungguh seorang teladan kesalehan? Baguslah jika demikian! Aku memanggilnya untuk datang dan ditahbiskan! Gereja tidak hanya membutuhkan imam-imam yang terpelajar, tetapi, terlebih lagi, imam-imam yang saleh;” demikian Uskup, rahmat Tuhan akan melakukan selanjutnya.
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1814, pada pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet, Abbè Vianney ditahbiskan sebagai subdiakon dan pada tanggal 12 Agustus 1815, ia ditahbiskan menjadi imam untuk selamanya. Pada mulanya, karena pengetahuannya dianggap tidak mencukupi, yang berwenang tidak memperkenankan P Vianney melayani Sakramen Pengakuan Dosa; tetapi ternyata Tuhan suka bergurau juga, sebab tak lama lagi ia akan harus melayani pengakuan dosa hingga 18 jam dalam sehari!
P Vianney ditugaskan sebagai imam pembantu P Balley di Ecully hingga pembimbingnya itu wafat pada tahun 1817. Awal tahun 1818, P Vianney ditugaskan sebagai imam paroki sebuah dusun kecil Ars-en-Dombes yang berpenduduk 230 jiwa. Ia mengabdi di sana selama 41 tahun lamanya, dan buahnya sungguh luar biasa!

Imam dari Ars

Tugasnya sebagai imam paroki di Ars sungguh sulit: dibutuhkan beberapa tahun untuk menutup kedai-kedai minum, delapan tahun untuk menghentikan aktivitas perdagangan di hari Minggu, dan duapuluh lima tahun untuk membuat masyarakat di sana berpakaian sopan dan berhenti berdansa-dansi dengan tidak sopan. Tak henti-hentinya ia berdoa bagi para pendosa, juga menanggung banyak penderitaan bagi mereka. “Menderita dengan penuh kasih, adalah tidak lagi menderita,” katanya.
Pada mulanya, sekedar karena rutinitas belaka, penduduk desa akan datang untuk merayakan Misa pada hari Minggu, dan selesai sudah. Bahkan alasan-alasan yang paling remeh sekalipun sudahlah cukup bagi mereka untuk absen dari Misa. Hanya pada hari-hari Minggu saja P Vianney mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka pada umumnya. Sebab itu, pada hari-hari lain dalam pekan, P Vianney akan mengunjungi pertanian-pertanian dan pondok-pondok ketika orang-orang sedang beristirahat untuk makan siang. Ia akan berdiri, bersandar di pinggiran pintu sambil berbicara kepada mereka mengenai pertanian. Tetapi, selalu saja, sebelum pergi ia berhasil mengalihkan pembicaraan ke surga. Sesudah itu, ia akan terlihat berjalan melintasi padang seraya mendaraskan Rosario.
Orang kudus kita ini belum menganggap desanya bertobat hingga keduaratus penduduk desa seluruhnya mengamalkan Sepuluh Perintah Allah, Kelima Perintah Gereja dan menunaikan praktek-praktek kesalehan setiap hari. Ia berbicara mengenai kesopanan dalam berbusana, sebab ia tahu bahwa kesopanan adalah perwujudan lahiriah dari kemurnian, dan ia menuntut kesopanan sepanjang waktu, tidak saja di gereja. Tetapi, dosa yang membuatnya paling banyak menangis sedih adalah dosa hujat, pencemaran Nama Allah yang kudus. Ia biasa mengatakan bahwa adalah suatu mukjizat para penghujat tidak mati disambar petir seketika. Ia memperingatkan penduduk desa bahwa  “jika dosa hujat biasa dilakukan dalam rumahmu, maka, ia - rumahmu - akan binasa.”
Dari sini tampak jelas bahwa P Vianney tidak mau menolerir dan tidak mau berkompromi dalam segala hal yang menyangkut dosa, sungguh, amat mirip benar dengan St Yohanes Pembaptis, santo pelindungnya.
Dua mukjizat yang terjadi membantu P Vianney mendapatkan perhatian dan kepercayaan umat. Pada tahun 1824, P Vianney mendorong Katarina Lassagne dan Benedicta Lardet untuk membuka sebuah sekolah cuma-cuma bagi anak-anak perempuan, yang tiga tahun kemudian telah menjadi sebuah lembaga yang dikenal sebagai La Providence, tempat penampungan anak-anak yatim piatu dan anak-anak terlantar. Pintu selalu terbuka bagi siapa saja, terkadang jumlah yang tinggal di sana mencapai 60 orang; sehingga jumlah dana yang tersedia tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan. Suatu ketika, hanya ada sedikit pounds tepung; tetapi berkat doa P Vianney, juru masak dapat membuat sepuluh ketul roti 20 pounds darinya! Di lain kesempatan, gudang yang nyaris kosong sekonyong-konyong menjadi penuh dengan gandum yang berlimpah!  Maka, penduduk desa berkata, “Imam kita adalah seorang kudus, kita harus taat kepadanya.”
Dan sungguh, pada tahun 1827, damai telah meliputi Ars sebab semua yang tinggal di sana hidup selaras dengan Rancangan Ilahi. Orang-orang di segenap penjuru Perancis mendengar apa yang telah terjadi di Ars; banyak dari antara mereka yang datang mencari kedamaian di sana dan menemukannya dalam kamar pengakuan dosa imam yang kudus itu.
Rahasia kemurahan hati St YM Vianney tak diragukan lagi terletak dalam kasihnya kepada Tuhan, memberikan diri tanpa batas sebagai tanggapan terus-menerus akan kasih Allah yang dinyatakan dalam Kristus yang tersalib. Atas dasar inilah ia rindu melakukan apa saja demi menyelamatkan jiwa-jiwa yang telah ditebus Kristus dengan harga yang sedemikian mahal, dan membawa mereka pulang kembali ke dalam pelukan kasih Allah. Dalam khotbah-khotbah dan katekesenya, ia senantiasa kembali kepada kasih itu, “Ya Tuhan-ku, lebih baiklah aku mati mencintai-Mu daripada hidup barang sejenak tanpa mengasihi-Mu.... Aku mengasihi Engkau, ya Juruselamat Ilahi-ku, sebab Engkau telah disalibkan bagi kami... sebab aku telah disalibkan bagi-Mu.”
Demi Kristus, ia berusaha keras untuk menyelaraskan hidupnya sendiri tepat seperti tuntutan radikal Yesus kepada para murid yang diutus-Nya: doa, kemiskinan, kerendahan hati, penyangkalan diri, matiraga sukarela. Dan seperti Kristus, ia memiliki kasih yang begitu besar kepada kawanan-Nya hingga ia membimbing mereka dalam komitmen pastoral dan kurban diri yang sepenuh-penuhnya. Ia begitu dikuasai kerinduan untuk merenggut jiwa-jiwa dari dosa suam-suam kuku. “Ya Tuhan-ku, anugerahkanlah kepadaku pertobatan parokiku: aku bersedia menanggung penderitaan apapun yang Engkau kehendaki sepanjang hidupku.” Melalui St YM Vianney, yang mempersembahkan segenap kekuatan dan segenap hatinya kepada-Nya, Yesus menyelamatkan jiwa-jiwa.
Pada mulanya, parokinya hanya berpenduduk 230 jiwa ketika ia datang; mereka begitu acuh tak acuh dan nyaris tak ada praktek keagamaan di sana. Uskup telah memperingatkan St YM Vianney, “Tidak banyak kasih akan Tuhan di paroki itu, engkaulah yang akan menanamkannya di sana.”  Tetapi segera saja, melampaui parokinya sendiri, imam dari Ars menjadi “pastor banyak orang”  yang datang dari seluruh negeri, dari segenap pelosok Perancis dan juga dari negera-negara lain.
Konon, terhitung ada 80.000 orang yang datang ke Ars pada tahun 1858! Terkadang orang harus menunggu selama beberapa hari agar dapat bertemu dan mengakukan dosa kepadanya. Apa yang menarik mereka datang kepadanya bukanlah hanya sekedar keingintahuan atau bahkan reputasi baik yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dan penyembuhan-penyembuhan luar biasa, yang sesungguhnya ingin disembunyikan orang kudus kita ini. Melainkan, terlebih orang sadar akan bertemu dengan seorang santo, kagum akan matiraganya, begitu akrab dengan Tuhan dalam doa; damai dan kerendahan hatinya yang luar biasa di tengah popularitas, dan terlebih lagi intuisinya dalam menanggapi disposisi batin jiwa-jiwa dan dalam membebaskan jiwa-jiwa dari beban mereka, teristimewa dalam kamar pengakuan. Ya, Tuhan telah memilih sebagai teladan para imam, seorang yang penampilannya miskin, lemah, rapuh dan tak diperhitungkan dalam pandangan manusia. Ia menganugerahinya dengan karunia-karunia terbaik sebagai pembimbing dan penyembuh jiwa-jiwa.

SAKRAMEN TOBAT

Perhatian pertama Imam dari Ars adalah menanamkan dalam diri umat beriman kerinduan untuk bertobat. Ia menekankan indahnya kasih pengampunan Tuhan. Bukankah seluruh kehidupan imamat dan segenap kekuatannya dipersembahkan demi pertobatan orang-orang berdosa? Di atas segalanya, dalam pengampunanlah belas kasih Allah tampak nyata. Jadi, ia tak hendak menghindarkan diri dari para peniten yang datang dari segala penjuru negeri.
Bagi dirinya, jelas pelayanan ini merupakan matiraganya yang paling besar, suatu bentuk kemartiran. Pertama, kemartiran dalam arti jasmani, karena panas, dingin atau pengapnya udara dalam kamar pengakuan. Kedua, kemartiran dalam arti moral, sebab ia sendiri menderita akibat dosa-dosa yang diakukan kepadanya dan terlebih lagi ia tersiksa karena kurangnya rasa sesal para peniten. “Aku menangis, sebab engkau tidak menangis.”  Di hadapan orang-orang yang suam-suam kuku ini, yang disambutnya dengan segenap kasih dan berusaha dibangkitkan kasihnya akan Allah, Tuhan memampukan St YM Vianney untuk mendamaikan kembali pendosa-pendosa berat yang bertobat dan juga membimbing jiwa-jiwa yang haus untuk mencapai kesempurnaan. Di sinilah, di atas segalanya, Tuhan meminta imamnya yang kudus itu untuk ikut ambil bagian dalam karya Penebusan-Nya.
Suatu ketika, seekor serigala yang buas masuk ke desa dan melahap segala yang ada. Dalam perjalanan ia menemukan seorang kanak-kanak kecil berusia dua tahun, maka ditangkapnya kanak-kanak itu dengan rahangnya, dan dibawanya pergi; tetapi beberapa penduduk desa yang sedang bekerja di kebun anggur mengejar dan menyerangnya, lalu merenggut sang kanak-kanak darinya. Demikian pula halnya Sakramen Tobat merenggut kita dari cengkeraman si iblis.” ~ St Yohanes Maria Vianney
Suatu hari, setelah meninggalkan kamar pengakuan untuk mempersembahkan Misa, St YM Vianney melewati seorang gadis yang bersiap pergi karena telah putus asa untuk dapat bertemu dengan sang imam.  Dengan ramah P Vianney menyapanya, “Engkau tidak cukup sabar, anakku. Engkau baru tiga hari di sini dan engkau sudah hendak pulang? Engkau harus tinggal limabelas hari lamanya dan berdoa mohon bantuan Santa Philomena untuk mengatakan apa panggilan hidupmu, dan sesudah itu, barulah engkau datang menemuiku…”  Gadis itu melakukannya dan di kemudian hari menjadi seorang biarawati.
Di lain waktu, P Vianney keluar dari kamar pengakuan guna mempersilakan seorang ibu yang masih dalam antrian untuk segera masuk, sebab ia tahu bahwa ibu itu tak dapat menunggu lebih lama; 16 orang anaknya menanti.
Dengan discernment (= pembedaan roh) yang tak ada bandingannya P Vianney akan menemukan akar dari segala masalah dan tanpa ragu mendesak agar akar masalah itu segera disembuhkan. Lalu, ia akan menganjurkan cara-cara agar orang dapat tinggal dalam keadaan rahmat, dan bagaimana menolak kesempatan dosa. Waktu yang diberikan kepada masing-masing peniten cukup singkat sebab antrian amat panjang dan waktu amat berharga. Terkadang ia harus melayani 400 pengakuan dosa dalam sehari.
Jumlah peniten yang membanjiri Ars juga berarti kerja keras yang akan segera meremukkan mereka yang tidak memiliki kekuatan spiritual sedemikian. Pada bulan-bulan musim dingin, P Vianney melewatkan hingga 12 jam sehari dalam kamar pengakuan; dalam bulan-bulan musim panas, meningkat hingga 16 jam sehari. Dibutuhkan waktu setengah jam baginya untuk pindah dari gereja ke pastoran oleh sebab banyaknya orang yang berdesak-desakan meminta berkat dan doanya. Ia tidur hanya empat jam setiap malam dan dini hari telah bersiap kembali untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka yang telah menantinya di gereja.
Pada awal pelayanannya sebagai bapa pengakuan, salah seorang rekan imam yang iri kepadanya memperingatkan St YM Vianney melalui sebuah surat bahwa seorang imam yang hanya tahu sedikit theologi seperti dia, sepatutnya tidak berani masuk ke dalam kamar pengakuan. Sebagian rekan imam lain yang juga iri mendakwanya sebagai bodoh, dukun klenik, kacau mental, gila dan mulai menyebarkan fitnah keji tentangnya. Menanggapi pengaduan mereka, Monsignor Devie, mengatakan, “Saya harap, saudara-saudara, seluruh imam saya memiliki kegilaan yang sama dengan pater Vianney.”
St YM Vianney wafat dengan damai di Ars pada tahun 1859 diusia tujuh puluh tiga tahun. Sumber : Katakombe.Org

0 comments:

Post a Comment