Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, August 16, 2013

KEMERDEKAAN ITU PERJALANAN



Tulisan ini pernah dimuat dalam Domus Voice Agustus 2012.
Domus Voice adalah berita elektronik email yang pernah ada di Domus Pacis hingga Desember 2012.
Karena isinya dipandang masih relevan untuk permenungan Komunitas Kaum Tua,
terutama Komunitas Rama Domus Pacis,
maka tulisan ini dimuat lagi dalam kolom Pastoral Ketuaan www.domuspacispuren.blogspot.com



Indonesia Sebelum 17 Agustus 1945

Ketika Rama Agoeng mengetengahkan tema “kemerdekaan” untuk Domus Voice edisi Agustus, pikiran memang ingat Kemerdekaan Indonesia. Jujur saja, saya agak tidak sreg dengan tema ini karena kaitannya dengan Indonesia. Saya termasuk warga negara yang merasakan Indonesia saat ini tidak merdeka baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosial, suasana kebersamaan bangsa masih ditentukan oleh momok yang namanya mayoritas walau sebenarnya hanya kekuatan minoritas yang berlindung pada nama mayoritas. Secara ekonomis, kaum konglomerat yang persentasenya kecil amat sangat menentukan hidup masyarakat umum sehingga muncul kalimat “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Secara politik, Indonesia amat ditentukan oleh partai politik besar atau gerombolan  partai-partai yang haus kekuasaan tanpa sungguh memperjuangkan kesejahteraan umum. Meskipun demikian saya berusaha untuk mencoba merenungkan tema kemerdekaan. Saya memang merasa “Ngapain mikir kemerdekaan kalau nanti paling-paling hanya terpusat pada upacara tujuhbelasan?”

Tiba-tiba ...... hati saya tergerak ketika pikiran terarah ke tanggal 17 Agustus. Muncul pertanyaan dalam hati “Kok dulu bisa merdeka, ya? Kok dulu bisa kuat menghadapi Belanda cs yang amat kuat persenjataannya, ya?” Ini pasti ada sebabnya!!

Pikiran saya melayang ke sejarah pra 17 Agustus 1945. Hati saya tergetar oleh dua hal: Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda. Tampaknya dua hal ini menjadi dwitunggal daya kemerdekaan. Kebangkitan Nasional muncul karena hasil gerakan pendidikan mencerdaskan dan transformatif yang menimbulkan daya perjuangan kesejahteraan bangsa sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya. Banyak kelompok dan organisasi muncul dari berbagai segmen sosial (agama, etnis, politik) tetapi semua berjuang demi semua orang sehingga secara praktis berpaham nasionalisme. Jiwa nasionalisme itu ternyata bermuara pada peristiwa Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda telah menjadi bentuk ungkapan dan perwujudan dari kesadaran bersekutunya kelompok-kelompok kebangsaan lokal (suku-suku). Setiap kelompok kebangsaan lokal menjadi komunitas-komunitas terbuka dalam kebangsaan nasional dengan gerakan “Satu bangsa, satu bahasa, satu negara ...... Indonesia”. Ternyata dwitunggal “kebangkitan dan kebersamaan” telah menjadi daya amat sangat kuat sekali sehingga Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mampu merdeka. Dua hal inilah yang kiranya pada masa kini tidak menggerakkan bangsa Indonesia. Kebangkitan diganti dengan perjuangan kemapanan sehingga banyak pikiran dan gerakan berbeda dapat dipandang sebagai ancaman. Kebersamaan nasional diganti dengan perjuangan politik, etnis, golongan tertentu untuk kepentingan sendiri.


Kemerdekaan Domus Pacis

Di sini saya bertanya pada diri sendiri “Bagaimana aku sendiri menghayati kemerdekaan?” Saya bukan politikus, bukan anggota legislatif, bukan orang yudikatif, bukan aparat eksekutif, dan bukan pengusaha. Saya hanya warga negara, hanya warga Katolik, hanya imam. Bahkan sebagai imam pun saya hanya warga Domus Pacis. Dengan demikian pertanyaan kemerdekaan itu menjadi “Bagaimana aku menghayatinya di Domus Pacis?”

Pengalaman “tidak merdeka”?
Jujur saja, ketika masuk Domus Pacis pada Juli 2010, dalam hal fasilitas terutama makan saya termasuk yang merasakan hidup terpaksa. Karena terpaksa, hal ini berarti tidak memiliki kebebasan (tidak merdeka, ta?). Saya juga mengalami kebanyakan karyawan bekerja terkesan seenaknya sendiri, sehingga para rama secara praktis kurang terurus dengan memadahi (tertindas?). Hanya para rama yang dapat pergi dan masih melayani misa di tengah umat yang mendapatkan keleluasaan. Seandainya ada hal-hal tambahan (pemberian-pemberian) untuk kepentingan semua rama, sebagian besar cepat musnah karena ada yang membawa (perampas? penjajah?). Dari para karyawan hanya satu yang sungguh memiliki komitmen kerja, dan dia memang orang yang dulu dicari oleh rama. Karyawan lainnya adalah orang-orang yang hadir atas dasar belaskasih (model karitatif) yang oleh rama pengurus ditolong dengan menempatkannya di Domus Pacis. Mereka pada umumnya tidak memiliki kompetensi dalam tugasnya. Akan tetapi karena sudah beberapa lama berada di Domus Pacis, bahkan ada yang sudah lama sekali, ada yang kemudian tampak merasa berkuasa menentukan segalanya (penjajah?). Suasana seperti inilah yang barangkali membuat Domus Pacis tidak memiliki percikan cahaya yang menarik bagi para rama sepuh pada umumnya. Bahkan para rama yang pernah mengenyam Domus Pacis (pada umumnya ketika harus tinggal di sini menunggu kesembuhan sesudah opname di Panti Rapih) ada yang memandangnya sebagai “rumah tahanan”. Yang berada di Domus Pacis pada umumnya adalah para rama yang “terpaksa” harus tinggal di situ. Domus Pacis bukanlah rumah kemerdekaan. Domus Pacis, yang secara harfiah berarti rumah kedamaian, kerap diartikan sebagai rumah menunggu kedamaian abadi (tempat menanti kematian). Kebanyakan rama sepuh tidak mau berada di Domus Pacis.

Merdeka!
Tampaknya para rama Domus Pacis (pasti terutama saya) ketika mengalami makan pagi tanggal 21 Mei 2012 merasakan suasana yang amat beda sekali dengan biasanya. Petugas masak lama diganti oleh petugas baru. Dan sejak saat itu suasana makan dan rasa makanan berubah dan secara praktis terasa enak hingga saat ini. Bagaikan kehidupan liturgis Katolik, suasana dan perasaan makan (sekurang-kurangnya bagi saya) menjadi puncak dan sumber kehidupan Domus Pacis yang rama-ramanya mayoritas kaum tua. Kebetulan pada waktu itu saya nyeletuk “Merdeka!” ha ha ha ......
Saya memang amat merasakan hati plong, rasa lega dan bebas, pada hari itu. Mengapa? Tentu saja karena saya sudah ngampet selama 22 bulan. Dalam hal ini suasana ngampet terisi dengan proses membuat goncang Domus Pacis untuk perubahan yang membawa sejahtera para rama dan semua penghuni Domus (termasuk tanaman, burung, dan anjing). Dalam renungan ini saya sungguh tercerahkan dengan dwitunggal daya kemerdekaan yang saya ketemukan dalam renungan 17 Agustus 1945. Inilah “kebangkitan” (Kebangkitan Nasional) dan “persekutuan” (Sumpah Pemuda). Dua hal ini bagi saya amat mempengaruhi kemerdekaan di Domus Pacis. Para rama, yang tadinya terpisah satu sama lain karena segalanya hanya di kamar masing-masing, dapat berproses bersekutu membangun komunitas. Berawal dari duduk-duduk dua atau tiga rama di teras dan dari kebersamaan dua atau tiga rama dalam Perayaan Ekaristi Kapel Domus, muncullah kebersamaan makan siang setiap hari Selasa. Dari sini berkembanglah makan bersama pada hari-hari khusus, yaitu hari ulang tahun salah satu rama Domus. Hubungan batin para rama makin erat dan ini membawa perubahan sistem kerja para karyawan, sehingga disepakatilah ada hari libur khusus karyawan (Idul Fitri, Natal, Paska). Pada saat karyawan libur Idul Fitri 28 Agustus - 1 September 2011, muncullah kamar makan tetap dan mulailah kebiasaan makan bersama tiga kali sehari. Di Kamar makan ini para rama dapat menerima dan menjamu tamu pribadi atau komunitas.
Ternyata kehidupan komunitas juga membuat para rama saling berinteraksi secara alami dan berkembanglah suasana refleksi alami yang bermuara pada berbagai langkah pengembangan kehidupan penghuni dan peran para rama dalam ambil bagian karya pastoral sesuai keterbatasannya. Buletin elektrik Domus Voice menjadi salah satu saksi dinamika para rama Domus Pacis. Pengembangan Iman Kaum Tua mulai tumbuh dan dikembangkan. Dengan pergantian petugas masak 21 Mei 2012 mekanisme dan sistem kerja para karyawan juga makin berkembang. Kondisi Rama Harjaya dan Rama Harto, yang dahulu menjadi soal ketenagaan ketika libur karyawan, kini tidak membuat keributan. Para tenaga Domus Pacis dapat mengatur diri. Bahkan relasi rama-rama Domus juga ikut berperan dalam memikirkan dan mencari solusi dalam hal ini. Suasana yang secara alami reflektif, transformatif dan inovatif telah menjadi daya yang membuat Domus Pacis segar dan siap baru dan diperbarui (dimensi kebangkitan?). Dwitunggal kemerdekaan (kebangkitan dan persekutuan) inilah yang kini menjadi tantangan para penghuni Domus Pacis untuk menjaganya agar tetap menjadi jiwa kehidupan bersama. Tanpa dwitunggal kemerdekaan, Domus Pacis akan dapat mengalami soal-soal multidimensional yang secara nasional seperti Indonesia saat ini.

0 comments:

Post a Comment