Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, July 24, 2014

KESENDIRIAN DAN KESEPIAN LANSIA


dari www.hidupkatolik.com Rabu 28 November 2012 jam 16.07 WIB

Di penghujung malam, setelah usai seluruh rentetan upacara ”ibadat Sabda” peringatan seribu hari mendiang istrinya, Pak Dwijo (65 tahun) duduk sendirian di teras rumahnya. Anak-anak, para menantu, dan cucu-cucunya yang datang dari luar kota sudah tertidur kelelahan.

Suasana hening saat itu membawanya pada momen dialog soliter yang intens dengan dirinya. Dia semakin menyadari dan menghayati (lebih dari menerima) kenyataan bahwa kondisi dan situasi hidupnya ke depan adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi dan dijalani apa adanya. Keempat anaknya sudah berkeluarga dan sudah lama mengganjur kehidupan jauh dari rumah, sementara sang istri yang dulu senantiasa mendampinginya kini telah berpulang mendahului.

Kini, fakta yang menemaninya sehari-hari adalah anak-anak tetangga yang seusia cucu-cucunya. Semua itu kenyataan yang harus disyukuri, tidak perlu digugat dengan pengandaian-pengandaian yang tidak realistis. Ketika terdengar kokok ayam di kandang untuk kedua kalinya, Pak Dwijo perlahan berdiri, menebarkan pandangannya ke arah tanaman-tanaman hias yang tumbuh subur di pekarangan samping rumahnya. Di bawah keteduhannya, terlihat lima angsa peliharaannya bergerombol menengadahkan kepala ke arahnya.

Di sisa suasana keheningan menjelang pagi itu, Pak Dwijo merasakan terpaan angin pagi yang sejuk, mendengar sayup-sayup suara napas luruh para anak, menantu, cucu-cucu, dan anak-anak tetangga yang masih pulas dalam tidurnya. Menghayati suasana semesta serta menyadari kebersamaan hidup dengan tanaman, unggas, para tetangga, serta kehadiran orang-orang dekat (meski hanya sesaat), semakin menyadarkan Pak Dwijo, bahwa hidup seseorang sesungguhnya tidak pernah mutlak sendirian, sepanjang waktu. Karenanya, rasa kesepian jauh dari kehidupan Pak Dwijo.

Namun demikian, kenyataannya ada sebagian kaum lansia yang karena satu dan lain hal kurang/tidak bisa mencecap dan menghayati hidup seperti itu, bahkan hingga akhir hayatnya. Tidak sedikit kaum lansia yang dilanda kesepian, hanya karena secara fisik sendirian. Kesepian adalah perasaan terkucil, penuh kesedihan, karena orang merasa hidup seorang diri.

Mengapa ada sebagian kaum lansia yang mudah dilanda kesepian? Salah satunya, karena mereka cenderung ”memberlakukan” ukuran, kriteria, dan standar yang pada dasarnya bersimpangan, atau bahkan berlawanan dengan kondisi-kondisi yang umumnya menyertai fase kehidupan mereka. Adalah kenyataan yang cukup objektif, bahwa seiring dengan semakin memuncaknya usia, terjadilah berbagai proses penurunan (degenerasi) terutama secara biologis/fisik. Sedangkan degenerasi psikologis dan sosial, sebagian terjadi karena efek tidak langsung dari degenerasi biologis.

Sebagian karena hal-hal lain, seperti ditinggalkan anak-anak karena masing-masing sudah berkeluarga dan tinggal di rumah/kota yang terpisah, tidak bekerja lagi/pensiun (sehingga interaksi dengan teman terputus/berkurang), berkurangnya berbagai kegiatan (sehingga jarang bertemu dengan banyak orang), semakin kurang dilibatkan para kaum lanjut usia dalam berbagai aktivitas bersama (seringkali lansia kurang dihargai, tersisih dari kehidupan masyarakat, dan ditelantarkan), meninggalnya pasangan hidup, saudara, famili, sahabat, dll.

Di satu sisi, memimpikan kembalinya situasi seperti kondisi sebelumnya, dan di sisi lain menyesalkan kondisi yang dialami, justru akan semakin merentang-panjangkan kesenjangan yang dirasakan. Perasaan kesepian dalam batas tertentu masih bisa dikategorikan ”wajar”, sebagai bagian dari masa krisis perkembangan. Ketika orang mulai merasa (secara subjektif) memasuki usia lanjut, sering terjadi ”tawar-menawar” antara sikap menyangkal dan menerima.

Kegagalan untuk bersikap menerima inilah yang sering kemudian berbuntut menjadi perasaan terpuruk yang berkarib dengan deraan kesepian. Bila kondisi ini terus berlangsung, maka secara potensial dengan mudah dapat memicu munculnya penghayatan akan perasaan kesepian yang seakan merupakan dampak langsung dari kesendirian.

Selain faktor ’generic’ di atas, para peneliti bidang gerontologi menemukan bahwa kerentanan terhadap munculnya kesepian pada lansia sering juga berkaitan dengan kondisi tanpa anak, kesehatan yang rendah, kecenderungan introvert, rendahnya kecerdasan emosi dan kepercayaan diri, kondisi sosial ekonomi yang terbatas, status pensiun yang diasosiasikan dengan perasaan kehilangan prestise, hubungan sosial, kewibawaan, dsb.

Bila perasaan kesepian terus ”dipelihara” dalam pikiran dan batin, implikasinya bisa merugikan, baik bagi kesehatan fisik (cepatnya degenerasi, menurunnya imunitas tubuh), psikologis (mudah marah, depresi), maupun sosial (isolasi, anti sosial).

Apa yang sebaiknya dilakukan taktala orang mulai merasa memasuki zona usia lanjut agar bisa terhindar atau minimal tidak berlama-lama tersandera oleh perasaan kesepian? Ada satu pepatah klasik menyebutkan: Menjadi tua itu pasti, namun untuk tetap sehat itu pilihan. Pun tentang perasaan kesepian, kita bisa membangun keyakinan: Untuk membebaskan diri dari perasaan kesepian, itu adalah pilihan.

Sebagaimana tindakan memilih pada banyak hal, maka: (1) Motivasi, upaya, tekad, kemauan dari diri sendiri (internal) harus lebih diutamakan perannya, (2) Pilihan akan semakin terjamin realisasinya bila didukung pula oleh faktor eksternal.

Berkaitan dengan yang pertama, siapapun yang merasa sedang dan telah memasuki zona usia lanjut, perlu menghindarkan diri dari “kekosongan agenda” aktivitas agar tetap dinamis menjalani kehidupan. Misalnya, dengan mengembangkan dan merevitalisasi minat-minat pribadi (sosial-kemasyarakatan, pertanian, beternak, memelihara binatang kesayangan, seni, membaca, menulis, melukis, dsb), berupaya mempertahankan/menjalin interaksi sosial dengan teman, tetangga atau sanak keluarga (bisa melalui perjumpaan langsung: silaturahmi, kerja bakti, klub aktivitas khusus maupun melalui media telepon, komunitas pendengar radio untuk acara-acara khusus, media virtual misalnya dengan e-mail, chatting, dsb).

Melakukan aktivitas yang sifatnya spiritual-transendental juga perlu dilakukan. Misalnya, secara teratur melakukan penghayatan terhadap momen-momen kehidupan sehari-hari, membiasakan diri berpikir dan bersikap positif menghadapi kenyataan, menyadari keberadaan diri di tengah dan bersama entitas semesta alam raya (cara dan metode bisa memilih yang paling sesuai dengan diri sendiri).

Berbagai aktivitas itu dapat mengafirmasikan bahwa hidup ini sesungguhnya tidak sendirian. Berkaitan dengan faktor eksternal, peran keluarga, pasangan hidup (bila masih ada), sanak saudara, tetangga, dan lingkungan sangat penting untuk mendukung dan ’menjaga’ kaum lansia agar tetap merasa berguna dan dihargai keberadaannya. Tentang peran keluarga, perlu dirujuk advis dari Ashauer, seorang konsultan senior dari Home Helpers di Amerika Serikat, yakni sedapat mungkin kaum lansia tinggal satu rumah dengan anak dan cucu, (Three generation in one roof) agar kaum lansia bisa terminimalisir dari perasaan kesendirian yang dapat menyeretnya ke perasaan kesepian.

H.M.E. Widiyatmadi MPsi

0 comments:

Post a Comment