Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, March 27, 2018

MENGHAYATI MISTERI PASKAH

diambil dari https://catatanseorangofs.wordpress.com/2010/04/15
MENGHAYATI MISTERI PASKAH  *) 
Tuhan sungguh bangkit, halelluya! Selamat Paskah kepada Saudara-saudari sekalian! 
Di tengah-tengah hiruk pikuknya dunia modern ini dan betapa kemelutnya situasi ekonomi, politik, hukum, sosial serta budaya bangsa dan negara kita dewasa ini, baiklah kita mengambil sedikit waktu untuk merenungkan arti dan realitas ‘misteri Paskah’ dalam kehidupan seorang Kristiani. Sadarkah kita masing-masing bahwa panggilan Kristiani kita adalah untuk menghayati atau menjalani hidup ‘misteri Paskah’? Apakah kita melihat bahwa panggilan untuk ‘mati’ bersama Kristus sebenarnya merupakan sebuah undangan yang memberi kehidupan? Apakah kita mempunyai visi kebangkitan yang membuat ‘mati sehari-hari terhadap diri kita sendiri’ sebagai anugerah, sebagai karunia dari Allah, sebagai pengalaman yang membebaskan? Menghayati ‘misteri Paskah’ dalam dunia seperti ini berarti menjadi ‘tanda lawan’: berpikir, bersikap dan berperilaku bertentangan dengan budaya yang berlaku (counter-culture). Dapatkah atau mampukah kita mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari kita? Sebagai seorang Kristiani (yang Katolik, kalau mau ditambahkan sedikit embel-embel), apakah ‘mati terhadap diri sendiri’ telah membuat kita masing-masing menjadi seorang insan yang lebih bebas-merdeka, menjadi seorang pribadi yang kehidupan sehari-harinya lebih berpusat pada Kristus? Dalam tradisi Fransiskan yang kita profesikan, bagian mana dari realitas ‘kematian-kebangkitan’ ini memainkan perannya? Apa saja yang telah diwariskan oleh Bapak Serafik kita dalam tulisan-tulisannya? Apakah artinya semua itu bagi kita masing-masing sebagai seorang Kristiani dan sebagai seorang Fransiskan sekular? 
Dalam tulisan ini, kalau saya katakan ‘kematian’, maka hal ini bukan berarti akhir dari kehidupan fisik, melainkan berarti suatu transformasi karena dipengaruhi oleh visi akan kehidupan yang lebih agung. Sejalan dengan itu, ‘kebangkitan’ bukanlah bangkit dari keadaan yang busuk dan tak berguna, melainkan pengalaman hidup yang mendalam: hidup dan mengalami Kerajaan Allah, di sini dan pada saat ini. Tentu saja arti paling dalam dari ‘misteri Paskah’ adalah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus sendiri, tetapi dalam kesempatan ini dipakai juga untuk menunjukkan ‘kematian sehari-hari terhadap diri sendiri’, suatu pertobatan yang terus-menerus, penerimaan hidup ini – meskipun dengan segala pertanyaan yang menyertainya, dan juga ketidakpastian masa depan yang dihadapi. 
Tentu saja contoh yang paling sempurna diberikan oleh kehidupan Tuhan Yesus sendiri. Sabda-Nya yang kita baca dan renungkan dalam Injil tidak hanya berbicara mengenai realitas kehidupan yang dihayati-Nya, tetapi juga mengundang kita untuk menghayatinya bersama dengan Dia“Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena siapa saja yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi siapa saja yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Luk 9:23-24). “Sesungguhnya aku berkata kepadamu: Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). 
Menjadi orang Kristiani berarti mengikut jejak Yesus Kristus. Sadarkah kita akan implikasi dari pernyataan ini? Apabila kita menghadiri Misa Kudus, bukankah ini berarti menghadiri ‘perayaan misteri Paskah’? Bukankah liturgi merupakan sebuah sumber yang kuat bagi kita untuk merangkul cara hidup sehari-hari yang ‘mati terhadap diri sendiri’, agar dapat bangkit bersama Kristus dalam pengalaman penghayatan hidup Kerajaan Allah di bumi ini? Bacalah dan renungkanlah kembali AD OFS, khususnya Fasal 2 Artikel 8. 
Ada yang mengatakan, bahwa kehidupan Fransiskus dari Assisi tidak lebih dan tidak kurang adalah sebuah kehidupan Kristiani. Nah, kalau begitu apa bedanya dengan sebagian besar umat Kristiani lainnya? Bedanya adalah dalam hal intensitas dan imajinasi dalam penghayatan hidup Kristianinya. Bagi Fransiskus ‘misteri Paskah’ sungguh merupakan sebuah realitas; begitu nyata dalam kehidupannya sehingga tubuhnya sendiri pun ditandai dengan stigmata suci Tuhan Yesus Kristus sendiri. Dalam bagian-bagian awal riwayat hidupnya yang ditulis oleh Beato Thomas dari Celano, kita dapat membaca betapa kuat hasrat Fransiskus untuk dapat mengidentifikasikan dirinya dengan Yesus, untuk dapat menghayati ‘misteri Paskah’, untuk merangkul realitas ‘kematian-kebangkitan’ itu. Pada tahap-tahap awal hidup pertobatannya ini Fransiskus mengalami penghinaan, penolakan, penganiayaan, cemoohan, kehilangan hak waris dari orangtuanya dan lain sebagainya. Akhirnya Fransiskus pun bahkan mati terhadap berbagai sifat dan sikap yang biasanya melekat pada seorang anggota keluarga borjuis …… dia mencium seorang kusta: suatu tindakan yang sebelumnya tak mampu dilakukannya, meskipun bukan berarti bahwa dulu – sebelum peristiwa tersebut – dia membenci orang kusta. 
Seluruh hidup Fransiskus merupakan sebuah pendakian menanjak menuju transformasi total ke dalam Kristus yang tersalib. Hidupnya tahap demi tahap menjadi suatu keikutsertaan dalam ‘misteri salib yang agung dan ajaib’ (lihat LegMaj, Lampiran Pasal X:8 – dalam terjemahan bahasa Indonesia terdapat pada hal. 101; Omnibus, hal. 786-787). Cara Fransiskus menghayati ‘misteri Paskah’ adalah dari hari ke hari ‘mati’, dari menit ke menit ‘mati’, sehingga Kristus dapat hidup lebih penuh dalam dirinya. Berikut ini yang ditulis oleh Thomas dari Celano, “Fransiskus sudah mati bagi dunia, tetapi Kristus hidup dalam dia. Kenikmatan-kenikmatan dunia baginya adalah salib yang menyiksa, karena ia membawa salib Kristus, yang telah berakar dalam di hatinya” (2Cel 211). Bagi Fransiskus ‘mati’ bukan berarti ‘mati demi mati itu sendiri’, melainkan ‘mati’ sebagai sebuah sarana untuk bersatu dengan Tuhan, sebuah keikutsertaan dalam kehidupan Kristus sendiri. Fransiskus adalah seorang pencinta. Karena Fransiskus begitu mengasihi Yesus Kristus, tidak ada ‘kematian’ yang begitu sulit atau berada di luar jangkauannya; matanya selalu terpaku pada Tuhan Yesus yang tersalib. Visi ini dan cintakasih inilah yang merupakan kekuatan motivasi dalam kehidupan Fransiskus. Setelah setiap tindakan asketismenya – setiap tindakan ‘mati’ terhadap dirinya sendiri – Fransiskus mengalami sebuah hidup dalam Kristus yang lebih mendalam; dia menjadi lebih mengakar dalam Kristus sehingga dengan demikian mampu menghayati hidup Kerajaan Allah di bumi ini. 
Ada banyak contoh dalam kehidupan Fransiskus yang menunjukkan penghayatannya akan ‘misteri Paskah’, namun yang terlebih penting adalah tulisan-tulisannya bagi kita perihal realitas ini. Dia telah mewariskan kepada kita sebuah undangan yang sekaligus merupakan sebuah tantangan. Dia memberikan isyarat kepada kita, bahwa kita harus ‘mati’ untuk dapat ‘bangkit’. Seperti Tuhan dan Gurunya (Yesus), Fransiskus mengundang kita untuk menyangkal diri kita sendiri. Dia menjanjikan Kerajaan Allah dan keselamatan dari Allah, apabila kita juga mempunyai keberanian untuk menghayati ‘misteri Paskah’ dengan mengikuti jejak Tuhan Yesus Kristus. 
Undangan Fransiskus bagi orang-orang untuk hidup pertobatan dapat ditelurusi dalam Anggaran Dasar Tanpa Bulla (AngTBul), teristimewa dalam bab I, III dan IX. Penekanan kerendahan hati dan kemiskinan sebagai cara untuk memeluk ‘misteri Paskah’ dapat dilihat dalam AngTBul V, VI, VII dan XI. Kalau kita melihat apa yang ditulis dalam AngTBul, ‘mati terhadap diri sendiri’ menuntut suatu pertobatan hati, sebuah hati yang berubah, suatu pengolahan sikap-sikap dan nilai-nilai sebagai tanda lawan, dan visi di mana Tuhan disembah di atas segala-galanya
Fransiskus percaya bahwa ‘kematian’ dalam segala bentuknya membuka telinga hati kepada Allah, membebaskan kita dari diri kita sendiri, mempertajam visi kita dan penghargaan kita atas nilai segala kehidupan, serta memberikan kita sukacita dan damai di hati yang tidak dapat direbut oleh siapa pun karena memang berakar dalam Allah kita: “Dan hendaklah mereka menjaga diri, jangan sampai mukanya tampak sedih dan muram seperti orang munafik; tetapi hendaklah mereka nampak bersukacita dalam Tuhan dan riang gembira serta penuh rasa terima kasih sebagaimana mestinya” (AngTBul VII:16). 
Bagi Fransiskus tidak cukuplah kalau para anak rohaninya saja yang menghayati ‘misteri Paskah’ ini. Dia menugaskan saudara-saudaranya juga untuk memanggil orang-orang lain pula guna menghayati realitas ‘kematian-kebangkitan’ ini: “…… minta dan mohon dengan rendah hati, semoga kita semua bertekun dalam iman yang benar dan dalam pertobatan, sebab kalau tidak demikian, tidak seorang pun dapat diselamatkan” (AngTBul XXXIII:7). Kita lihat bahwa AngTBul mencerminkan realitas yang dihayati dalam hidup Fransiskus sendiri: memeluk/merangkul ‘mati terhadap diri sendiri’ setiap hari. Hidup pertobatan dilihat oleh Fransiskus bukan sebagai sebuah beban, tetapi suatu pembebasan dan keikutsertaan dalam hidup Yesus Kristus sendiri. Sebagai Fransiskan, apakah kita memperkenankan budaya dan masyarakat mendikte dan mengontrol nilai-nilai dan visi Fransiskan kita? Apakah kita juga suka tergelincir ke dalam enaknya kebanggaan, kesuksesan, kepemilikan harta atau pun ilmu pengetahuan dan lain sebagainya? Sudah lupakah kita bagaimana untuk ‘mati’? 
Bagi Fransiskus misteri ‘kematian’ bersama Kristus agar dapat bangkit bersama dengan-Nya kepada hidup yang baru adalah sesuatu yang sungguh riil dan dia menghadapinya dengan penuh semangat. Dia tidak melihat hidup pertobatan sebagai sekadar suatu tindakan batiniah dan niat baik, tetapi sebagai suatu cara konkret untuk mengungkapkan tindakan mengikuti Kristus. Banyak nasihat yang diberikannya kepada para saudara dina berpusat pada tema ini. Lihat misalnya Petuah-petuah (Pth) V, khususnya ayat 8: Warisan dan sukacita yang kita miliki adalah hidup penuh rasa syukur, mati setiap hari dengan memikul salib secara penuh kemauan serta cintakasih. Dalam Pth VI Fransiskus juga memberikan petuah kepada kita masing-masing untuk ‘mati’, untuk memeluk/merangkul salib – dalam mengikuti jejak Yesus Kristus, bukan hanya sekali saja, tetapi sebagai pilihan harian untuk mengikuti Dia dalam pengalaman ‘kematian-kebangkitan’ ini. Sekarang marilah kita lihat Pth X dan XIV. Dapatkah kita menghayati nilai-nilai yang diajukan oleh Fransiskus dalam kedua petuah ini? 
Bagi Fransiskus penyangkalan diri secara total penting sebagai sebuah sarana untuk mengidentifikasikan diri dengan Yesus Kristus secara total. Oleh karena itu tidak ada batas bagi ‘mati’ yang disarankan olehnya kepada kita: semua harus diberikan, segala bentuk ‘kematian’ yang dimungkinkan harus dipeluk/dirangkul. Dia menulis kepada seluruh Ordo: “Karena itu janganlah menahan sesuatu pun yang ada padamu bagi dirimu sendiri, agar kamu seutuh-utuhnya diterima oleh Dia, yang memberikan diri-Nya seutuhnya bagi kamu” (SurOrd 29). Kita tidak usah melekat atau lengket pada apa pun, tidak usaha takut pada ‘kematian’ macam apa pun, kalau kita berpengharapan untuk diterima oleh Tuhan Yesus. Oleh karena panggilan kita sebagai Fransiskan adalah untuk memberi kesaksian tentang Kabar Baik Tuhan kita Yesus Kristus lewat kata-kata dan perbuatan, maka kita pun seharusnya menyadari perlunya untuk menghayati kata-kata Bapak Fransiskus ini: “Bertekunlah dalam ketertiban dan ketaatan yang suci serta penuhilah apa yang telah kamu janjikan kepada-Nya dengan niat yang baik dan teguh” (SurOr 10). Untuk tertib dan taat, seseorang harus tahu bagaimana rasanya ‘mati’, suatu pengalaman penyerahan diri, kebebasan untuk melepaskan segala kepentingan diri sendiri. 
Fransiskus melihat Ekaristi bukan saja sebagai peringatan akan sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus, tetapi juga sebagai suatu keikutsertaan dalam misteri ini. Dia mengkontemplasikan kehadiran-nyata Kristus dalam Ekaristi sebagai kehadiran terus-menerus di atas bumi ini dari penebusan yang terlaksana pada kurban salib. Dia menulis kepada seluruh Ordo: “Karena itu aku mohon kepada kamu semua, Saudara-saudara, dengan mencium kakimu dan dengan kasih sebesar-sebesarnya, agar kamu, sesuai dengan kemampuanmu, menyatakan segala hormat dan khidmat kepada Tuhan dan Darah Mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus; di dalam Dia, segala sesuatu yang ada di surga dan di bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah Yang Mahakuasa” (SurOr 12-13). 
Dalam Surat kedua kepada kaum Beriman (2SurBerim), Fransiskus mengundang kaum beriman untuk menghayati ‘misteri Paskah’. Dia mengingatkan mereka akan perayaan Paskah Tuhan, penderitaan-Nya di taman Getsemani, kematian-Nya terhadap kehendak sendiri dan penerimaan-Nya akan kehendak Bapa. Fransiskus mengingatkan kita bahwa kurban Tuhan Yesus di kayu salib adalah demi kita semua, dan pengosongan diri-Nya bersifat total dan lengkap. Fransiskus meyakinkan kembali para pembaca suratnya itu bahwa sebagai orang-orang Kristiani, panggilan mereka adalah untuk ‘mengikuti jejak langkah Tuhan kita Yesus Kristus’ melalui cara ‘mati terhadap diri sendiri’. Ketika berbicara mengenai ‘kematian terhadap hasrat kedagingan’ dan menghayati suatu hidup pertobatan, Fransiskus berkata: “Dan semua orang, pria maupun wanita, apabila melakukan hal-hal itu dan bertekun hingga akhir, maka Roh Tuhan akan tinggal pada mereka dan akan memasang tempat tinggal dan kediaman di dalam mereka. Maka mereka akan menjadi anak-anak Bapa surgawi, yang karya-Nya mereka laksanakan” (2SurBerim 48-49). Bukankah dalam hal ini Fransiskus menjamin pengalaman kebangkitan, di sini dan sekarang? 
Banyak lagi yang dapat diketemukan dalam tulisan-tulisan Fransiskus perihal ‘misteri Paskah’ dalam pengertian tulisan ini. Dengan begitu banyak cara Fransiskus mencoba meyakinkan para pembaca tulisan-tulisannya, bahwa menghayati ‘misteri Paskah’ adalah rahasia untuk memperoleh keselamatan, janji akan Kerajaan Allah, pengalaman memerdekakan diri sendiri bagi Allah, pengalaman realitas ini merupakan  pengasah visi yang membawa seseorang untuk sampai pada ketergantungan penuh pada Allah dan mendorong rasa hormat terhadap segala sesuatu. Dia telah menulis dengan banyak cara untuk menerangkan bahwa para pengikutnya harus memeluk/merangkul salib, untuk mengalami bukan saja harus bersedia ‘mati’, tetapi siap untuk begitu dengan penuh rasa cinta. Setiap hari kita dipanggil untuk ‘mati’ dengan berbagai cara yang berbeda-beda: ‘mati terhadap hasrat-hasrat alamiah kita’ dengan melakukan ulah-tapa dan puasa, ‘mati terhadap kemauan kita’ dengan mendengarkan orang lain, memberi serta bersikap penuh ketaatan, ‘mati terhadap diri sendiri’ dengan berserah-diri di luar batas akal. Pesan Fransiskus adalah sebuah undangan untuk menjadi ‘tanda lawan’, untuk menjadi terpisah dari orang banyak, untuk mengembangkan sikap-sikap yang tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat
Apabila ‘mati terhadap diri sendiri’ ini merupakan bagian vital dari warisan dan misi Fransiskan, barangkali kita perlu merefleksikannya, baik secara pribadi maupun sebagai persaudaraan, untuk menemukan dan menemukannya kembali. 
Pada akhir hidupnya, Fransiskus berpesan: “Saudara-saudaraku, kita harus mulai melayani Tuhan Allah kita, sebab hingga kini sedikit saja yang telah kita lakukan” (LegMaj XIV:1). Barangkali ada semacam ‘kematian’ tertentu dalam hal setiap kali kita ‘mulai lagi’, dalam arti tidak terjebak dalam rasa puas diri atas hasil yang telah dicapai dan lain sebagainya. Barangkali kita perlu melihat setiap hari sebagai permulaan dari proses ‘kematian’ kita. Barangkali kita perlu menemukan – tidak sekadar dengan intelek kita, tetapi dengan kehidupan kita sendiri – arti dari ‘kehidupan baru lewat kematian’. Kepada kita telah diwariskan undangan untuk ‘mati’, untuk menghayati pengalaman ‘kematian’ yang tetap. Apakah kita mempunyai cukup visi dan pengalaman ‘kebangkitan’ untuk menerima undangan ini? Apakah cintakasih kita cukup besar sehingga mampu memeluk segala macam ‘kematian’? Apakah kita cukup berakar dalam Tuhan untuk menjadi ‘tanda lawan’ dalam masyarakat, menjadi orang-orang yang hidup bagi Kerajaan Allah yang akan datang dan yang sudah ada di muka bumi? 
Cilandak, 16 April 2010  
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

*) Disalin dengan sedikit perbaikan dari Memorandum Minister Persaudaraan OFS Santo Ludovikus IX (Sdr. Frans Indrapradja OFS) nomor Min/09/2000 tanggal 7 Mei 2000. Sumber utama tulisan adalah tulisan Sr. Joanne Brazinski OSF, The Paschal Mystery in the Writings of Saint Francis, Majalah TAU edisi May 1981).

0 comments:

Post a Comment