Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, March 12, 2018

PERMENUNGAN LANSIA YANG KEHILANGAN SEPAROH DAYA-LIHATNYA

diambil dari http://www.gkj.or.id Jum`at, 19 September 2014 08:45:08 - oleh : admin3


Aku melihat mereka seperti pohon-pohon yang berjalan-jalan

(Permenungan seorang lansia yang kehilangan separoh daya-lihatnya)
Oleh: Pdt  (Em)  Sularso Sopater.
Kisah penyembuhan seorang buta di Betsaida.
Yesus dan murid-muridNya tiba di Betsaida, demikian disebut dalam Injil Markus 8: 22-26. Kisah ini memuat rincian yang menarik, yang memicu permenungan. Sama-sama menuturkan penyembuhan seorang buta oleh Yesus Sang Penyembuh sekaligus Juru Selamat, ada beberapa perbedaan dengan kisah penyembuhan Bartimeus di Yerikho (Markus 10: 46-52). Bartimeus, pengemis yang buta itu, sangat aktif dan gigih dalam usahanya memohon kesembuhan dari Yesus; tanpa memedulikan kejengkelan orang banyak ia berteriak berulang-ulang dengan suara nyaring: "Yesus, Anak Daud kasihanilah aku!". Akhirnya Yesus memanggil Bartimeus, lalu bertanya: "Apa yang kau kehendaki Kuperbuat bagimu?". Bartimeus menjawab: "Rabuni, aku ingin dapat melihat!". Yesus menjawab: "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!" Saat itu juga ia dapat melihat, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalananNya. Bartimeus disembuhkan oleh sabda Yesus yang penuh kuasa ilahi.
Si buta dari Betsaida, digambarkan amat berbeda dibandingkan dengan Bartimeus. Ia nampaknya pasif dan penurut. Ia dibawa oleh orang banyak kepada Yesus, "supaya Ia menyentuh dia" (Markus 8: 22). Bagi seorang buta, yang tidak bisa melihat, sentuhan seorang penyembuh sangat bermakna. Lebih dari itu, Yesus bahkan "memegang tangan orang buta itu, dan membawa dia keluar desa" (ay.23).Yesus ingin bercakap-cakap dengan dia, tanpa diganggu oleh hiruk pikuk suara orang banyak. Dalam perjalanan ke luar desa,  dengan pegangan tangan Yesus, iman si buta di tumbuhkan dengan pengharapan akan menerima pertolongan secara khusus. Di tempat sepi di luar desa, Yesus "meludahi mata orang itu dan meletakkan tanganNya atasnya" (ay.23)  Bagi si buta, percikan ludah dan tekanan tangan Yesus, dirasakan penuh sebagai "sentuhan penyembuhan ilahi". Yesus lalu bertanya kepadanya: "Sudahkah kau lihat sesuatu? . Ia menjawab : "Aku melihat orang-orang seperti pohon-pohon, namun aku melihat mereka berjalan-jalan" (ay. 24). Pada layar monitor mata si buta, yang sebelumnya selalu hitam gelap, mulai muncul gambar kabur batang-batang pohon yang tegak berdiri - seperti yang ia ketahui dari rabaan tangannya sebagai orang buta-namun mereka berjalan-jalan. Si buta menerima penyembuhan bertahap, penyembuhan separoh, belum sempurna. Matanya masih kelewat kabur dan, penglihatannya belum jelas, belum sempurna.
Langkah berikutnya: Yesus meletakkan lagi tanganNya pada mata orang itu maka orang itu sungguh-sungguh melihat dan telah sembuh, sehingga ia dapat melihat segala sesuatu dengan jelas (ay. 25). Yesus mengalirkan kekuatan penyembuhan ilahi lagi, untuk menciptakan lagi bagian-bagian organ penglihatan yang tadinya rusak, sehingga pulih sempurna, dan ia dapat melihat dengan jelas. Kisah penyembuhan orang buta di Betsaida yang dituturkan dengan rincian khusus ini, mendorong suatu kesimpulan bahwa untuk setiap kasus yang berbeda, Yesus menempuh cara penyembuhan yang berbeda pula. Mengenai penempatan perikop ini, di depan perikop "Pengakuan Petrus", beberapa penafsir menangkap sinyal tentang gambaran pertumbuhan bertahap pemahaman para murid tentang bagaimana mereka mengenal Yesus. Mula-mula mereka tak mengenal Yesus (=buta), lalu mengenal sepotong-sepotong (=penglihatan kabur) baru kemudian mengenal dengan jelas (=melihat dengan jelas). Itulah pengalaman para murid, yang diwakili oleh Petrus (Markus 8: 27-30)

Permenungan

Krisis kehilangan separoh daya lihat                    
Si Buta dari Betsaida disembuhkan secara bertahap, sebaliknya saya kehilangan daya lihat secara bertahap. Tanggal 20 Maret 2013 saya jatuh sakit berat, hingga harus dirawat di rumah sakit. Penyakit diabetes  yang saya derita sejak usia 53 tahun, saat saya berusia 79 tahun meminta kurban. Penyakit yang bersifat degeneratif  itu, pada perkembangannya akan merusak organ-organ tubuh yang lain. Pada kasus saya, ia merusak separoh syaraf mata kiri saya, hingga ada "awan hitam yang selalu menggantung di mata kiri bagian atas". Dokter mata saya menggambarkan  kasus saya itu, ibarat putusnya kabel-kabel listrik, sehingga separoh rumah jadi gelap. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa kerusakan syaraf ini bersifat permanen, karena sel-sel syaraf dalam tubuh manusia itu tidak dapat membaharui diri, seperti sel-sel tubuh yang lain. Jadi saya kehilangan daya lihat secara permanen, dengan kata lain menjadi cacat mata seterusnya, dalam sisa hidup saya.
Saya menyerap penjelasan rinci dokter mata itu dengan saksama dan mencernanya dengan hati sendu. Faktanya saya memang tidak mampu melihat, seperti sebelum jatuh sakit. Segala sesuatu nampak kabur. Siang hari yang terang benderang, nampaknya diseimuti kabut. Pada spectrum penglihatan saya, ada sektor yang gelap. Membaca surat kabar, hanya nampak judul-judul berita, yang dicetak dengan huruf-huruf besar. Ketika  memasuki ruangan yang gelap, ada saat pandangan sangat kabur, hingga harus berhenti sejenak ketimbang membentur sesuatu yang tak jelas nampak. Kesemuanya menyebabkan frustasi, yang kalau tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan keputus-asaan.
Upaya mengelola frustasi
Kehilangan separoh daya lihat bagi saya, benar-benar merupakan bencana. Terutama karena membaca berkaitan dengan fungsi utama saya sebagai pendeta yang bertugas sebagai dosen. Saya masih harus menyelesaikan bimbingan beberapa mahasiswa S-3. Di samping itu masih ada tugas sebagai "pembaca ahli" dalam Tim Revisi Alkitab PL Bahasa Jawa. Bagaimana harus menyikapi kenyataan yang datang tak terduga ini.
Saya teringat akan  kasus seorang sahabat yang berprofesi sebagai dokter ahli bedah jantung, yang mengalami frutasi hebat, tatkala ia mengalami diskualifikasi, karena diketahui bahwa ketajaman penglihatannya menurun. Sangat berat ia menerima kenyataan itu, pada saat kariernya sedang menanjak. Saya teringat kisah lain yang dituturkan oleh seorang teman, tentang frustasi hebat yang dialami oleh seorang prajurit penembak jjtu, yang kehilangan penglihatannya dalam suatu operasi militer; demikian dahsyat frustasinya hingga ia berusaha membakar rumah dinasnya sendiri.
Saya ingin mengelola (baca: mengendalikan) frustasi saya secara lebih moderat, mengingat status saya sebagai  seorang lansia yang sudah dianugerahi usia 80 tahun. Seorang sahabat menghadiahi sebuah buku The Miracle of Endorphin, karangan Dr Shigeo Haruyama, terbitan Mizan, Bandung. Menurut Dr Haruyama, endorphin atau hormone kebahagiaan dalam tubuh manusia, amat penting. Utamanya dalam pengelolaan stres, yang menjadi musuh manusia yang paling besar. Rasa frustasi sebagai suatu bentuk stress, bila dapat dikelola dengan baik, tidak akan berakibat buruk (=distress) tetapi akan berakibat baik (=eustress). Semuanya tergantung dari  reaksi manusia , dalam bentuk cara memikirkan  maupun cara memahami masalah yang dihadapi. (hal 189)  Jika manusia bersikap menolak, misalnya : marah, otaknya akan mengeluarkan hormone noradrenalin; jika manusia takut; otaknya akan mengeluarkan hormone adrenalin. Kedua senyawa ini beracun. Tetapi jika manusia mau menerima kenyataan lalu berfikir positif, maka otaknya akan mengeluarkan hormone beta- endorphin atau hormone kebahagiaan, yang akan memengaruhi kondisi kesehatannya. (hal. 95,96)
Dengan kesadaran  diri, semenjak jatuh sakit berat itu, saya menangkap sinyal-sinyal alami, bahwa tubuh saya mengalami perubahan karena "dimakan usia". Tatkala saya tak mampu berjalan harus dipapah untuk duduk di  kursi roda, ke mana-mana harus dibantu orang lain, mata kabur dan tak sanggup membaca, saya merasa bahwa akhir hidup saya sudah dekat. Sebagai pencinta tanaman saya memahami ada waktu tumbuh dan mekar, tetapi pasti datang waktu untuk layu dan kering juga. Anak-anak saya (dan teman-teman dekat saya) - menurut kesan saya - kurang nyaman mendengar ungkapan perasaan hati saya seperti itu. Apa boleh buat, saya yang mengalami proses degenerasi fisik itu, harus bersikap jujur dn realistis. Dan saya mulai berfikir berangkat dari kenyataan konkret ini, dan mencari-cari apa yang masih dapat dilakukan dengan "sisa berkat" Sang Bapa Pengasih. Saya merasa berkatNya sudah terlimpah selama 79 tahun hidup saya yang harus saya syukuri, kini saya perlu belajar "menghitung-hitung" anugerahNya yang masih mengalir dalam perpanjangan "bonus tambahan usia" sambil menunggu saat kepulangan saya ke Rumah Bapa di Surga, seperti dijanjikan Sang Juru Selamat Yesus Kristus. Berdasarkan keyakinan akan pemeliharaan Tuhan yang kasih setiaNya tak berkesudahan dan selalu baru setiap pagi, saya mengembangkan pola berfikir secara positif. Nampaknya sampai saat ini, dalam proses "sedang menjadi layu", sikap hidup ini menolong saya untuk menerusi sisa hidup secara "minimalis". Kiranya Roh Kudus menguatkan hambanya.
Mencari celah-celah di antara "pohon-pohon yang nampak berjalan-jalan"
Tanggal 18 Maret 2013 saya masih menyetir sendiri mobil saya ke Lembur Pancawati, Ciawi, untuk menghadiri pertemuan tahunan para Pensiunan PGI, Saya masih mampu menyelip dengan lincah di antara truk-truk tronton yang membawa muatan berat ke arah Sukabumi. Sekeluar dari rumah sakit, mata saya kabur berat. Setelah dioperasi katarak mata kiri saya tetap gelap. Setelah dipotret dokter menemukan bahwa syaraf mata saya telah "mati" separoh, dan ini diartikan sebaga cacat permanen. Tanggal 9 Mei 2013, surat ijin mengemudi saya habis masa berlakunya. Dengan berat hati saya putuskan untuk tidak memperpanjang SIM itu, karena amat berbahaya untuk memaksakan diri tetap nyopir di antara para pengendara motor yang gesit, lincah tetapi tidak tertib berlalulintas. Saya bakal kehilangan kebebasan bergerak, walaupun  itulah pilihan "yang pahit" namun aman untuk saya. Mulai saat itu saya harus "merumahkan diri". Untuk bepergian saya  minta pertolongan orang lain, bahkan ke gereja pun saya menjadi sangat tergantung kepada orang lain. Untung ada anak, menantu, cucu dan sahabat-sahabat yang bersedia menolong.
Mata kabur sangat megganggu ketika saya harus berurusan dengan mesin ATM. Biasanya saya mampu melakukan pembayaran tagihan tilpun, listrik dsb atau menarik uang tunai. Kini saya harus minta tolong putri bungsu saya untuk berurusan dengan ATM, yang menuntut kecermatan dan kecepatan menekan tombol-tombol angka. Ia juga selalu mendampingi saya ketika berurusan dengan petugas-petugas bank, untuk menjadi "mata bantuan" dalam berurusan dengan aneka huruf kecil pada dokumen-dokumen perbankan.
Berlangganan surat kabar juga saya hentikan, karena yang dapat dibaca dengan nyaman hanyalah judul-judul berita, yang dicetak dengan huruf-huruf sangat besar. Untuk gantinya saya mengutamakan mendengar berita lewat radio dan TV. Membaca buku dan majalah kini bagi saya merupakan hal yang mejadi beban. Bila sangat perlu, saya menggunakan kaca pembesar. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk mengakhiri semua tugas membimbing mahasiswa, karena tak mampu lagi membaca buku-buku ilmiah, yang biasanya tebal-tebal, dan dipenuhi dengan catatan- catatan kaki dengan huruf-huruf sangat kecil. Demikian juga saya sudah tidak berani berkhotbah  digereja, karena tidak dapat mempersiapkannya secara bertanggung jawab.
Oleh adanya computer, saya banyak terbantu, karena huruf-huruf dapat diperbesar atau dijadikan tebal. Ini berguna dalam urusan surat menyurat lewat email atau mengetik karangan-karangan sederhana. Namun dalam mengoperasikan computer secara penuh, saya tetap mengalami hambatan, karena saya tidak mampu membaca petunjuk-petunjuk yang dimunculkan dilayar dengan huruf-huruf kecil dan tipis. Saya sangat dibantu oleh anak-cucu saya dalam memakai computer, apalagi sebenarnya saya adalah seorang "gaptek" yang selama dinas aktif saya selalu dibantu oleh seorang sekretaris yang terampil.
Dalam urusan hidup sehari-hari saya sering benar-benar tercenung, karena tidak dapat melihat secara tajam. Berurusan dengan alat-alat listrik, soal memasang sekrup betul-betul teramat sulit. Mata tidak mampu melihat lubang untuk memasukkan sekrup itu. Banyak kali rabaan ujung-ujung jari dapat berfungsi menjadi pengganti mata. Yang hampir tidak mungkin dilakukan adalah memasukkan benang di lubang jarum, guna memasang kancing yang lepas, atau menisik kain yang robek.
Di kebun mata kabur saya juga tidak mampu melihat pisang yang mulai ada yang masak di tandannya. Beberapa kali codot mendahului menikmati pisang-pisang itu, sebelum saya mampu melihatnya. Satu kali saya pernah minta tolong kepada seseorang yang kebetulan lewat, untuk memastikan bahwa tandan pisang itu sudah mulai masak, hingga pohon boleh ditebang. Saya juga tidak mampu lagi melihat buah sukun atau surikaya yang tersembunyi dibalik daun-daun yang rimbun. Saya harus belajar, bahwa orang-orang lain menunjukkan berkat-berkat Tuhan, berupa buah-buahan dari pohon-pohon tanaman  saya.
Penutup
Si Buta dari Betsaida, yang disembuhkan Tuhan Yesus, di wanti-wanti untuk langsung pulang ke rumahnya dan dilarang masuk ke desa itu (ay. 26). Tuhan Yesus tidak ingin orang banyak di desa itu dengan gempar menyambutNya sebagai Sang Penyembuh penyakit jasmani, karena itu bukan tugas utamaNya. Ia datang justru sebagai Juru Selamat yang menebus dosa dan menyelamatkan manusia, seperti pengakuan Petrus (ay.29), setelah mata imannya dicelikkan secara bertahap juga.
Mata jasmaniah saya menjadi kabur, namun mata batiniah saya justru dicelikkan, terutama setelah "keserakahan batiniah" saya secara bertahap disingkirkan, melalui konsolidasi sikap berserah penuh kepada pemeliharaan kasih Bapa Surgawi. Aneka ragam masalah karena mata yang kabur, yang didoakan dengan berserah penuh, dijawab olehNya dengan mengutus orang-orang yang membantu memecahkan masalah itu, seolah-olah "malaikat penolong" utusan Tuhan. Orang-orang itu adalah anak, menantu, cucu, teman dan sahabat, tetangga bahkan orang yang tak saya kenal sebelumnya. Dari masalah transportasi, pengurusan JPKS yang ruwet, gorong-gorong yang mendadak tersumbat, mengatasi kebocoran atap garasi yang khronis, kemacetan computer, penggantian lampu neon di plafond, kekosongan PRT, dsb. Mata batiniah saya dicelikkan untuk secara jelas melihat bahwa benar "kasih setia Tuhan itu tak berkesudahan, takhabis-habisnya rahmatNya, selalu baru setiap pagi, besar kesetiaanNya" (band. Ratapan 3: 22-23),
Sebulan terakhir ini saya tinggal di rumah seorang diri, karena PRT setia yang telah 14 tahun melayani saya minta berhenti untuk menjaga ibunya yang uzur di desanya. Saya ditemani dua ekor anjing dan seekor kucing. Kucing ini sangat akrab dengan saya, karena setiap hari saya sediakan makanannya. Ia menunggui saya di waktu saya makan, menanti-nanti remah-remah makanan kalau ada yang diberikan. Ia menanti-nanti sambil berbaring melingkar dan menempelkan punggungnya di tumit kaki saya. Dalam hati saya timbul ilham, bahwa saya perlu mencontoh kucing saya, untuk menempelkan  diri kepada Bapa Surgawi Sang Pemelihara hidupku, yang dalam proses "menjadi layu" ini. Bagi saya yang paling penting adalah percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Juru Selamat saya, yang bersabda "Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. ... Aku akan membawa kamu ke tempatKu, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada" (Band. Yoh, 14: 2-3).

1 comments:

Melchior suroso said...

Mohon dukungan doa untuk saya sudah 5 tahun sakit stroke dan insomnia. Melchior Suroso

Post a Comment