Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, April 5, 2019

Minggu Prapaskah V/C – 7 Apr 2019 (Yoh 8:1-11)

https://unio-indonesia.org/2019/04/01; ilustrasi dari album Blog Domus



KASUS DI BAIT ALLAH
Rekan-rekan yang baik!
Kebanyakan para ahli tafsir beranggapan bahwa kasus perempuan zinah dalam Yoh 8:1-11 yang dibacakan pada hari Minggu Prapaskah V/C pada awalnya tidak termasuk Injil Yohanes meskipun mereka setuju asalnya dari tradisi mengenai kehidupan Yesus juga. Peristiwa ini tidak termuat di dalam naskah-naskah tertua Injil Yohanes dalam bahasa Yunani. Juga dari segi gaya bahasa ada perbedaan. Misalnya, Yohanes biasa menyebut “orang banyak” dengan kata Yunani “okhlos”, bukan “laos” seperti di sini. Kata untuk “pagi-pagi” biasanya “prooi”, tapi di sini dipakai “orthrou”. Nama “Bukit Zaitun” tidak dijumpai dalam Injil Yohanes kecuali di sini. Juga ahli Taurat tidak disebut musuh Yesus selain di sini.
Baru pada abad ke-4 kisah perempuan zinah itu mulai didapati di dalam naskah-naskah Kitab Suci Yunani. Tetapi kisahnya agaknya sudah dikenal sebelumnya di kalangan Gereja Latin di Barat dan termasuk bahan bacaan selama liturgi. Oleh karenanya tidak mengherankan bila menjadi bagian Injil. Biasanya tempatnya di antara Yoh 7:52 dan 8:12, boleh jadi untuk menyiapkan pembaca agar mengerti kata-kata Yesus nanti dalam Yoh 8:15 “Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorang pun.” Tapi ada pula beberapa naskah yang menaruhnya sebagai tambahan di bagian belakang Injil Yohanes. Karena teks ini telah lama diterima sebagai bagian dari Injil Yohanes dalam liturgi, wajarlah bila kita mendalaminya seperti bagian Injil juga.
BUKIT ZAITUN, BAIT ALLAH, PENYALIBAN
Peristiwa yang sedang dibicarakan ini terjadi di dalam minggu terakhir kehidupan Yesus. Selama waktu itu dari pagi hingga sore ia berada di Yerusalem tetapi malam hari dilewatkannya di Bukit Zaitun, di sebelah timur kota, bersama murid-muridnya. Seperti disebutkan dalam Mrk 11:11, setelah meninjau Bait Allah, Yesus bersama dua belas muridnya ke Betania pada sore hari, yaitu sebuah perkampungan di sisi timur Bukit Zaitun. (Bukan Betania di seberang sungai Yordan yang disebut dalam Yoh 1:28.)
Latar di atas membuat peristiwa yang dibacakan hari ini berhubungan erat dengan penyaliban dan kebangkitan Yesus. Dia yang tidak menjatuhkan hukuman kepada pendosa yang dihadapkan kepadanya itu sama dengan dia yang nanti wafat di kayu salib menanggung dosa-dosa orang lain dan kemudian bangkit – tidak lagi tertindih dosa dan hukuman. Yang bersedia menerima warta ini bakal ikut mendapat kekuatan untuk tidak membiarkan diri terus ditindih dosa dan hukuman, dengan kata lain, untuk sungguh bertobat.
Peristiwa yang dibacakan hari ini terjadi di dalam Bait Allah, pusat kekayaan spiritual. Ke sanalah orang-orang berkiblat, di situlah orang bertanya, di tempat inilah diberikan jawaban dari Tuhan. Dan jawaban ini berujud manusia yang dapat dikenali, dapat diajak berdialog, dapat dibayang-bayangkan. Tetapi juga bisa dijauhi, dimusuhi, dan dibunuh. Kehadiran Tuhan seperti ini membuat orang perlu berpikir lebih dalam.
MENULIS DI TANAH?
Dalam ayat 6 dipakai kata Yunani “kategraphen” yang artinya “ia mencatat”, bukan sekedar menulis, yang memang muncul dalam ayat 8 sebagai “egraphen”. Dalam kedua ayat itu ada keterangan “di tanah”, artinya, bisa dilihat siapa saja, tidak ditutup-tutupi. Pertanyaan kita, apakah Yesus betul-betul mencatat dan menulis sesuatu? Dan apa itu? Tidak dilaporkan apa yang ditulis Yesus di tanah. Ada yang menafsirkan bahwa dalam ayat 6 dan 8 ia menuliskan kata-kata yang nanti diucapkannya dalam ayat 7, yaitu “Siapa saja di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Ada pelbagai upaya tafsir. Ada yang merujuk pada tatacara Romawi yang mewajibkan ketua pengadilan menulis terlebih dahulu keputusan yang bakal diucapkannya. Bila begitu maka kata-kata dalam ayat 7 itulah keputusan yang dimintakan para ahli Taurat dan orang Farisi. Walaupun tidak lebih dari sekadar dugaan belaka, penjelasan ini menarik.
Kedua kata kerja Yunani dalam ayat 6 tadi ada dalam bentuk yang biasanya dipakai membicarakan kejadian yang sedang berlangsung di masa lampau. (Istilah tatabahasa Yunani ialah bentuk imperfekt). Tapi bentuk ini juga tak jarang menandakan tindakan yang tidak utuh terjadi, bahkan sering digunakan untuk membicarakan perbuatan yang hanya diniatkan belaka. Dalam pemakaian seperti itu maka ayat 6 sebetulnya mengatakan “(Yesus membungkuk,) SIAP mencatat di tanah” dan ayat 8 “(Lalu ia membungkuk lagi) MAU menulis”. Jadi ia belum mencatat atau menulis apapun. Dalam tatabahasa Yunani bentuk ini dinamai “imperfekt konatif” (“imperfekt coba-coba”). Contoh lain, Luk 5:6, ketika tangkapan ikan banyak, “jala mereka HAMPIR koyak (dierreesseto)”. Jala tidak koyak betul-betul sehingga ikan-ikannya tidak lepas kembali! Menurut Yoh 21:11 jala memang tidak koyak. Mrk 15:23, sebelum menyalibkan Yesus, disebutkan “mereka BERMAKSUD memberinya (edidoun) anggur yang dicampur mur, tetapi Yesus menolaknya.” Anggur tidak benar-benar diberikan, karena jelas dikatakan di situ Yesus menolaknya. Ada banyak lagi contoh imperfekt konatif seperti itu.
Secara ringkas, tidak bisa dikatakan bahwa Yesus benar-benar mencatat atau menulis sesuatu. Juga tidak bisa dikatakan Yesus tidak menggubris para ahli Taurat dan orang Farisi yang datang kepadanya. Sebaliknya, pencerita malahan menyarankan bahwa Yesus siap mencatat dan menulis bila memang ada yang patut dituliskan saat itu. Penjelasan ini ada hubungannya dengan perubahan postur tubuh Yesus. Dari duduk mengajar, Yesus membungkuk mencatat dan menulis. Apa artinya? Dengan perubahan postur tubuh itu ia hendak menunjukkan bahwa ia mau mencatat dan menuliskan kebijaksanaan para ahli Kitab dan orang Farisi bila mereka memang memiliki sesuatu yang dapat diajarkan. Tapi para ahli Taurat dan orang Farisi itu tidak berani menerima peralihan peran itu. Bahkan mereka “terus menerus bertanya kepadanya” (ayat 7).
Pada saat itulah Yesus bangkit berdiri lalu berkata, “Siapa saja di antara kamu tidak berdosa hendaklah ia yang pertama yang melemparkan batu kepada perempuan ini” (ayat 7). Segera sesudah berkata demikian ia membungkuk lagi dan siap menulis di tanah, supaya bisa dilihat semua yang hadir. Sekali lagi ia meminta mereka mengajarkan apa yang bisa ia tuliskan, ia siap untuk itu. Apa yang terjadi? Satu per satu mereka pergi meninggalkan tempat itu, mulai dari yang paling senior. Yesus tidak menyaingi para ahli Taurat dan orang Farisi atau mengecilkan peran mereka. Ia justru minta mereka menunjukkan apa mereka dapat mengajarkan sesuatu yang patut dicatat dan ditulis bagi orang banyak. Ternyata tak ada seorang pun yang tampil. Mengapa? Di hadapan orang yang tulus hati ini, suara hati ahli Taurat dan orang Farisi itu sendiri tidak mengizinkan mereka mengajarkan hukuman atau tindakan keras yang mempersyaratkan kebersihan diri sendiri dulu.
AJAKAN AGAR GANTI HALUAN
Dalam cerita ini dua kali Yesus berbicara mengenai “dosa”. Yang pertama kepada para ahli Taurat dan orang Farisi (ayat 7), yang kedua kalinya kepada perempuan yang dihadapkan kepadanya (ayat 11). Dua kali pula Yesus “bangkit berdiri” dan mulai menyapa masing-masing pihak (ayat 7 dan 10). Begitulah cara pencerita menunjukkan Yesus memberi perlakuan yang sama baik kepada perempuan tadi maupun kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Ironis, kaum terpandang itu sebetulnya tidak lebih baik dari pada orang yang mereka anggap pendosa yang patut dihukum mati. Pernyataan Yesus bahwa siapa yang tak berdosa hendaknya melempar batu pertama mengikis habis perbedaan yang boleh jadi disembunyi-sembunyikan. Di hadapan utusan Tuhan yang sedang menampilkan kewibawaannya mengajar di Bait Allah ini semua orang sama, sama berdosanya. Pengadilan dengan pikiran manusia saja tidak mencukupi. Semua orang membutuhkan kerahiman Tuhan.
Yesus meminta kepada para penuduh agar melihat apakah mereka sendiri tanpa dosa. Mereka perlu memeriksa diri, menengok ke belakang. Kepada perempuan itu Yesus mengatakan “mulai sekarang” jangan lagi berdosa. Ada pandangan ke masa depan. Pembaca yang menyelami kisah ini akan melihat bahwa baik para ahli Taurat dan orang Farisi maupun perempuan itu sama-sama diajak melepaskan jalan hidup mereka yang lama, yang menindih diri mereka sendiri, agar dapat menempuh arah baru.
Pengalaman perempuan itu membawanya ke jalan baru yang dijanjikan Tuhan dalam nubuat yang diucapkan di dalam bacaan pertama Yes 43:16-21. Setelah membebaskan umat-Nya dari pembuangan di Babel, Tuhan memperkenalkan diri sebagai Dia yang pernah menuntun keluar umat-Nya (keluar dari Mesir) lewat laut dan menghancurkan pengejar-pengejar mereka (ayat 16-17). Ditegaskan agar mereka kini tak usah lagi mengungkit-ungkit perkara lama (ayat 18) tetapi hendaknya melihat hal baru yang dibuat Tuhan, yakni jalan di padang gurun (ayat 19) di situ ia membuat air memancar di padang gurun untuk memberi minum umat pilihan-Nya (ayat 20). Mereka akan memberitakan kemasyhuran-Nya bersama-sama dengan ciptaan lain yang ikut menerima kebaikannya (ayat 21). Dalam bacaan kedua (Fil 3:8-14) Paulus bersaksi, setelah menemukan Kristus Kebenaran Sejati itu, ia menganggap semua hal lain tidak banyak artinya lagi. Ia merasa telah ditangkap oleh kebenaran itu. Ia juga telah melupakan yang ada di belakang dan sekarang mau berlomba-lomba mendekat ke hadirat Yang Ilahi. Perempuan tadi pergi dan berganti cara hidup, para penuduhnya juga satu demi satu meninggalkan pandangan mereka sendiri, Paulus juga melepaskan dirinya yang lama. Mereka semua ini telah bertemu dengan Dia yang menerangi relung-relung gelap dan meluruskan hati. Inilah peristiwa menggembirakan yang boleh diharapkan dalam menyongsong Minggu Suci sepekan lagi.
Salam hangat,
A.Gianto
Tambahan. Ada beberapa pertanyaan dari pembaca mengenai Yoh 8:1-11:
TANYA: Bagaimana sih kok pendosa zinah dilepas begitu saja dan habis perkara? Apa tidak aneh?
JAWAB: Memang akan kurang masuk akal bila petikan itu dibaca sebagai peristiwa pengadilan. Tetapi peristiwa yang dikisahkan bukan pengadilan .(Tidak seperti pengadilan Yesus di hadapan Mahkamah Agama nanti yang memang pengadilan). Penghakiman tidak dijalankan di Bait Allah. Yang dilakukan di situ ialah ibadat, perlindungan, dan pengajaran dalam ujud dialog atau simposium atau seminar para ahli agama. Nah dalam suatu seminar seperti itu tampillah guru-guru ternama seperti Yesus, ahli Taurat & orang Farisi, dan perempuan pezinah yang mereka datangkan sebagai narasumber otentik bagi studi kasus mereka. Dalam kesempatan ini ada juga banyak pengikut dan murid yang dalam Yoh 8:2 disebut “orang banyak/rakyat”. Mereka belajar dari kepintaran guru-guru tadi. Karena situasi ini bukan situasi pengadilan dan bukan tindak lanjut penggerebekan tempat zina, tidak ada risiko bahwa perempuan itu akan betul-betul dilempari batu menurut hukum rajam seperti termaktub dalam Ul 22:21-24. Namun demikian, seminar itu bukan sekadar anggar kata mengenai perzinahan dengan tiga profesor kondang yang bila selesai ya bubar, lalu orang ambil piagam untuk dapatkan kredit guna kenaikan pangkat. Peristiwa itu langsung berdampak pada sikap hidup masing-masing peserta. Yesus berhasil menghadapkan ahli Taurat dan orang Farisi ke suara batin mereka sendiri seperti dijelaskan dalam ulasan di atas. Dan ini terjadi di Bait Allah, bukan di ruang pengadilan. Hal ini penting disadari penafsir. Dalam pengadilan yang sungguh, juga di kalangan orang Yahudi dulu, perasaan hakim, penuduh, pembela tidak bisa berperan langsung. Para anggota Sanhedrin yang mendakwa Yesus menghujat memang tidak bisa lain kecuali mendakwa menurut hukum mereka. Jadi peristiwa kali ini bukan kisah pengadilan pezinah melainkan kisah penjernihan suara hati manusia dalam rangka menyiapkan diri memahami peristiwa paskah Yesus nanti. Maka hal yang disebut dalam ayat 2 bahwa peristiwa ini terjadi di Bait Allah dan dalam rangka pengajaran amat penting bagi penafsiran warta petikan ini.
TANYA: Apa “melempari dengan batu” (Yoh 8:5 dan 7) itu sama dengan praktek “hukum rajam”?
JAWAB: Ancaman dirajam sampai mati termaktub dalam Taurat, juga dalam kasus perzinahan, lihat Ul 22:21-24, bandingkan Yehezkiel 16:40 23:47. Beberapa tindak pidana lain juga dikenai sanksi rajam sampai mati: menyembah berhala: Ul 13:10 17:5; menghujat Tuhan Im 24:14 bdk. Yoh 10:33; mengorbankan anak: Im 20:2; praktek jalangkungan & nini thowokan Im 20:27; melanggar hari Sabat: Bil 15:32-36 dan beberapa kasus lain. Namun apakah ancaman hukuman mati dengan rajam bisa divoniskan begitu saja dan sungguh dieksekusikan adalah perkara lain. Pertama-tama boleh dicatat bahwa bagi orang Yahudi dari zaman ke zaman hukum kasuistik (“bagi perkara X, hukumnya Y”) dalam Taurat lebih berfungsi sebagai sumber “berteologi” dan tidak diberlakukan begitu saja sebagai pasal-pasal hukum KUHP. Mereka memiliki semacam KUHP yang rinci yang dijabarkan dari Taurat, dan kemudian dikenal antara lain dengan nama Misyna. Hukum-hukum yang ada di dalamnya perlu dipelajari dengan komentar para yurist mereka. Di situ ada aturan-aturan rumit cara mempidana orang. Ada peraturan yang tidak memudahkan orang bisa dikenai hukuman begitu saja. (Misalnya hanya bila tertangkap basah, mesti ada lebih dari satu saksi, dst.) Juga ada beberapa aturan pelaksanaan atau eksekusi dengan tenggang waktu cukup lama agar memungkinkan pengampunan pada hari raya tertentu.
Dalam pelbagai masyarakat di pelbagai kebudayaan, ancaman atau sanksi hukuman yang amat keras sering tidak dijalankan harfiah. Ini memiliki dampak pada teologi. Nabi-nabi Perjanjian Lama dulu berbicara mengenai ketaksetiaan Israel yang ipso facto mestinya mendatangkan kehancuran umat (=putusan hukuman mati), tetapi belas kasihan Tuhan menyelamatkan umat dari kehancuran total. Di Firdaus difirmankan, bila makan buah pengetahuan baik dan buruk akan mati seketika. Tetapi Hawa dan suaminya tidak mati seketika walaupun makan buah itu. Kesimpulan teologis yang bisa ditarik pembaca: Tuhan berbelaskasihan sehingga hukuman yang ditetapkan-Nya sendiri diubah-Nya menjadi “nasib” ular, wanita dan lelaki dan pengusiran dari Firdaus pada akhir Kej 3. Tetapi, sebelum itu, perhatikan Kej 3:21, Tuhan yang baru saja menjatuhkan firman kutukan tadi itu tiba-tiba berubah menjadi penuh perhatian kembali kepada manusia. Ia membuatkan manusia dan istrinya pakaian dari kulit binatang dan “mengenakannya kepada mereka”, artinya, ia mengukur persis persis bahu, dada, lengan, pinggul ke bawah, sehingga pakaian kulit binatang itu tidak kedodoran.
TANYA: Ada yang pernah mendengar penjelasan sbb.: “…..batu yang dilempar itu bukan batu besar, tapi batu kecil-kecil. Batu tersebut tidak ditujukan ke badan/tubuh si wanita, melainkan dilempar ke depannya. Orang yang yang melempar batu menyatakan setuju wanita itu harus dihukum mati dan dibawa ke penguasa Romawi agar hukuyman disahkan. Jadi batu itu sebagai alat menghitung (seperti voting).” Bagaimana pendapat Romo tentang tafsiran ini?
JAWAB: Tafsir itu akibat kerancuan degan praktek “membuang undi” dalam meramal atau mengundi barang yang dadunya bisa dibayangkan besarnya seperti kerikil…! Memang lembaga peradilan Yahudi pada zaman Yesus tak berhak menjatuhkan hukuman mati. Bila menurut hukum mereka memang harus dikenai pidana mati,maka perlu dibawa dan disahkan oleh penguasa Romawi  (lihat juga Yoh 18:31). Tidak dikenal praktek pungut suara di Bait Allah, kalau toh mau dijajaki pendapat para tetua maka akan dilakukan di mahkamah,tidak di Bait Allah.
Salam, 
A. Gianto

0 comments:

Post a Comment