Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Saturday, November 30, 2019

Ayat Diet



Pada umumnya orang akan maklum bahwa penyakit dapat bersahabat dengan kaum lansia. Bahkan ada penyakit-penyakit yang dianggap sebagai bagian degeneratif bagi lansia seperti kolesterol, asam urat, dan gula darah. Kaum lansia pun tidak akan heran dan merasa wajar kalau mengalami penyakit yang disebut degeneratif. Tetapi, sekalipun mengatakan “Sudah lansia, kok. Biasa aja kena diabet dan kolesterol”, tidak sedikit yang mengalami perasaan berat untuk menjalani yang disebut diet.

Soalnya Sudah Terlanjur Biasa

Diet adalah tindakan tidak menyantap yang menjadi musuh bagi penyakit yang diderita. Dari pengalaman saya, hal itu akan enak saja kalau itu bukan menjadi kebiasaan. Sebagai orang yang menderita hipertensi sejak usia 21 tahun, saya diminta untuk mengurangi daging bahkan menjauhi jeroan. Di hadapan dokter saya dengan tegas dan mantap bilang “Ya, siap laksanakan”. Tentu saja itu bukan soal bagi saya. Dalam sejarah hidup saya baru bisa menyantap daging ayam ketika usia sudah tigapuluhan tahun. Pada masa puasa Katolik saya justru makan daging ayam sehari dua kali. Bagi saya ini adalah perjuangan berat karena yang namanya daging dan segala organ binatang adalah hal yang amat jauh dari selera lidah. Tetapi masa puasa adalah masa menjalani mati raga. Tujuan utama mati raga masa puasa adalah untuk membuat makin mesra dengan Tuhan dan makin enak bergaul dengan siapapun. Di dalam pergaulan terutama dalam bertamu, saya merasa kerap membuat kecewa tuan rumah. Saya selalu tidak menyantap lauk daging dalam jamuan makan. Dengan demikian kalau dokter hanya minta untuk mengurangi makan daging, tidak makan pun tidak soal bagi saya.

Yang menjadi soal adalah kalau diet itu berkaitan dengan santapan yang menjadi kebiasaan. Saya mengalaminya ketika dalam tubuh saya positif terkena penyakit gula darah. Ketika dokter bertanya “Sering makan gudeg?”, saya jawab “Ya”. “Sekarang jangan” dokter omong dengan enteng tetapi membuat rasa dalam dada seperti tersayat karena gudeg sungguh menjadi firdaus bagi lidah saya. “Bakmi?” “Ya”. Bakmipun dinyatakan sebagai iblis, padahal itu sahabat karib yang selalu siap jadi penghibur harian. Sesudah itu dokter memberikan ukuran-ukuran nasi yang harus disantap. Padahal untuk saya nasi goreng menjadi favorit yang sepiring penuh pun belum memberi kepuasan. Dengan demikian saya sungguh mengalami diet karena saya harus menjauhi menu atau berbagai menu yang sudah menjadi kebiasaan santapan. Dan itu menjadi amat berat karena menyangkut menu-menu yang menjadi favorit bahkan persediaan harian. Tanpa itu rasanya belum makan. Sekalipun sudah ikut makan dalam sebuah pesta dan bahkan pesta prasmanan dan menyantap tidak sedikit, ketika pulang melihat warung bakmi dan nasi goreng saya mudah berhenti jajan mengikuti ajakan lidah berjumpa dengan pasangan tercintanya. Di sinilah saya menjadi bagian dari kaum diet yang punya kata mutiara “Aduuuuh ..... nasib orang yang harus diet”.

Untung Ada Lentera Iman

Kebetulan saya memiliki kebiasaan membawa apapun, baik-jelek mulia-memalukan, menjadi omongan dalam hati dengan Tuhan. Dari omongan beraroma keluhan muncul cahaya kecil yang mengingatkan saya pada kata-kata Kitab Suci.

Lukas 9:23

Jujur saja, bagi saya untuk makan dengan berbagai aturan sungguh menjadi hal yang ribet. Maka, ketika dokter menjelaskan ukuran gram dan ini itu untuk nasi dan lain-lainnya, saya berkata “Apa untuk orang diabet tidak ada menu yang bebas saya makan tanpa memikirkan aturan?” Dokter meminta saya untuk menghubungi bagian gizi. Dari bagian gizi saya mendapatkan leaflet yang berisi berbagai macam menu yang bisa dimakan dan yang berbahaya bagi orang diabet. Ternyata yang menjadi larangan amat sedikit dibandingkan yang bebas bisa disantap. Saya menemukan untuk yang kena gula darah ada banyak macam sayuran dan buah yang bebas disantap. Saya berpikir asal banyak menyantapnya pastilah sudah membuat kenyang. Namun ada hal yang berkaitan dengan diri saya dalam hal makan. Sejauh ini saya tidak doyan sayuran dan buah-buahan. Dalam hal buah saya hanya doyan pisang ambon yang kata ahli gizi mengandung kadar gula cukup tinggi.

Ketika saya merasa amat enggan untuk memulai makan sayur, tiba-tiba saya teringat kata-kata Yesus “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23) Dengan mengingat ayat ini saya menyadari bahwa makan sayur dan buah adalah jalan salib riil. Tetapi ini untuk ikut Yesus. Yesus menjalani salib sampai wafat, dan itu adalah jalan mengalami kemuliaan kebangkitan. Maka nekadlah saya menyantap sayuran tiga kali sehari. Lauknya biasa.  Meskipun dengan pelan, tetapi saya berjuang untuk sampai terasa kenyang. Enam hari badan saya terasa lemas. Tetapi pada hari ketujuh ada kesegaran mulai menyusup tubuh. Dan ..... tak terasa saya mengalami kesegaran. Itu menjadi kebiasaan baru dalam hidup saya. Sayuran adalah santapan harian. Nasi hanya masuk dalam mulut sebulan sekali atau dua kali. Dalam bulan-bulan berikut saya merasa jauh lebih segar dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Inikah anugrah kebangkitan?

Kejadian 2:16-17

Padahari Kamis tanggal 28 November 2019 saya mendapatkan tamu. Dari omong tentang diet berkaitan dengan penyakit yang diderita, dia mengatakan kerap gagal menjalaninya. Saya mencoba men-sharing-kan pengalaman saya dengan terang Lukas 9:23. Tetapi dia tetap berkata bahwa itu hanya dilakukan oleh orang-orang khusus. Untuk kebanyakan orang diet hanya terjadi pada saat perasaan sakit datang. Tetapi ketika merasakan enak, diet berhenti dan kembali makan yang seharusnya menjadi pantangan.

Saya bertanya kepada tamu itu “Soalnya kamu mau ikut Tuhan tidak?” yang langsung dijawab “Ya jelas”. “Kalau mau ikut Tuhan ya harus berani tidak ikut bujukan setan yang hanya akan menjerumuskan pada yang salah” kata saya. Tiba-tiba pikiran saya melayang ke peristiwa ketika Tuhan menciptakan manusia. Di dalam Kitab Suci dikatakan TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,  tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian 2:16-17) Ternyata yang menjadi larangan itu sedikit sekali dibandingkan dengan yang bebas untuk disantap. Setiap diet selalu hanya untuk menu tertentu. Yang boleh dimakan masih jauh berlipat banyak. Saya juga mengatakan bahwa kita adalah manusia dan bukan binatang. Binatang selalu hanya bisa makan makanan tertentu dan berkemampuan tertentu. Manusia bisa belajar dan berlatih banyak hal termasuk dalam makan. Dengan diet kita mendapatkan kesempatan untuk menjadi manusia baru dengan kebiasaan baru. Yang mengancam kebaruan demi damai sejatera adalah setan yang menggunakan pucuk lidah untuk selera tertentu. Untuk ikut Tuhan kita harus memaksa pucuk lidah kita taat pada kehendak-Nya dalam perkembangan situasi hidup kita yang kena penyakit tertentu.

Puren, 30 November 2019

0 comments:

Post a Comment