Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, November 3, 2019

Seperti Dulu


Kanyata rama taksih kados tigang dasa wulu taun kapengker, nggih?” (Ternyata rama masih seperti 38 tahun yang lalu, ya?) demikian kalimat terakhir yang dikatakan oleh seorang pengacara mengomentari sambutan yang baru saja saya sampaikan. Itu terjadi pada Rabu malam 30 Oktober 2019 di Lingkungan Manjung, Paroki Maria Assumpta Klaten. Pada waktu itu saya ikut menghadiri misa yang dipimpin oleh Rm. Ipung, seorang pastor dari Paroki Gondang. Ini adalah Misa Peringatan 1 Tahun Bapak Paidi, ayah Bapak Rabimin yang biasa menjadi peserta program Novena Domus Pacis. Di tengah-tengah acara istirahat, ketika para hadirin menikmati sajian konsumsi, saya diminta memberikan sambutan sesudah sambutan dari seorang tokoh masyarakat yang bertindak sebagai wakil keluarga.

Pada Mulanya Terasa Biasa

Terhadap komentar bahwa saya masih seperti 38 tahun yang lalu, saya hanya tersenyum. Itu adalah macam komentar yang kerap saya dengar muncul dari orang yang sudah kenal saya dan lama tidak berjumpa. Saya memang pernah menjadi pastor Klaten pada tahun 1981-1982. Bahwa saya “masih seperti dulu” mudah saya dengar dari beberapa kalangan yang pernah mengalami kebersamaan kegiatan dengan saya. Yang bisa saya tunjuk adalah mantan anggota kor kanak-kanak Kalasan (1978-1980), muda-mudi Kring Ambarrukmo (1974), umat Paroki Salam (1983-1988), umat Paroki Ignatius Magelang (1990-1998), umat Paroki Muntilan (1990-2010), dan para relawan-relawati penggerak anak dan remaja (1994-2010).

Sejauh saya tangkap, komentar “masih seperti dulu” terjadi ketika mereka melihat penampilan saya. Itu dapat merupakan tampilan saya dalam berbicara di hadapan umum. Tetapi tampilan itu juga terjadi ketika berjumpa baik ketika mereka bertamu di Domus Pacis Puren maupun kala ada even tertentu seperti melayat. Komentar “masih seperti dulu” sering juga terungkap dalam kata-kata “rama tidak berubah”.

Padahal Sudah Amat Berubah

Tiba-tiba komentar yang muncul di Manjung pada Rabu malam 30 Oktober 2019 menyeruak renungan pagi saya pada Kamis 31 Oktober 2019. Bayangan-bayangan orang-orang yang memberi komentar senada juga menggerayangi rasa hati. Kemudian bergema pertanyaan “Benarkah aku masih seperti dulu?” Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Yang tampak dalam layar benak saya adalah seorang Bambang calon imam yang berjalan sana-sini masuk dalam kelompok-kelompok suara ketika ada latihan Kor Kanak-kanak Kalasan. Tampak juga seorang pemuda bersepeda mendatangi rumah-rumah penggerak Kring Ambarrukmo. Bahkan tampilan Rm. Bambang yang meloncat-loncat ketika melatih para penggerak anak dan remaja juga terlihat jelas. Itulah Rm.Bambang nun di masa dulu. Biar pincang tetapi lincah. Bahkan ketika berada di Manila, Filipina, selama dua tahun (1998-1990) dia biasa berjalan kaki ke tempat-tempat berjarak jauh. Sepeda biasa dan sepeda motor bukan barang sulit utuk dikendarai. Mobil manual bukan matic pun disopiri ketika berkelana antar paroki, antar keuskupan, bahkan antar pulau.

Tetapi kini? Hal-hal yang di atas sudah jauh dari realitas saya. Kaki sudah tidak dapat menopang untuk berjalan. Memang, kadang-kadang kalau terpaksa saya dapat berjalan tetapi dengan bantuan krug (tongkat penyangga). Tetapi sejak jatuh dua kali dan harus operasi dan opname, kini saya lebih diwarnai oleh mobilitas dengan kursi roda. Sepeda genjot langsung sudah di luar kemampuan. Badan sudah jauh lebih gembrot dibandingkan ketika dulu masih aktif. Kacamata sudah menebal dengan silinder. Bahkan mata kanan sudah tidak dapat diandalkan untuk melihat. Hal lain yang tampak jelas adalah rambut yang sudah didominasi dengan warna putih. Itu baru hal-hal yang tampak. Belum lagi kalau dilihat dari realitas penyakit yang ngendon dalam tubuh. Penyakit-penyakit ini telah mengubah kebiasaan menu makan saya. Nasi goreng, bakmi, dan gudeg yang dulu menjadi warna utama, kini diganti dengan sayuran dan buah yang dulu jauh dari selera saya.

Mengapa Saya “Seperti Dulu”?

Bagi orang yang sudah masuk ke dalam golongan kaum tua bahkan lanjut usia menjaga tampilan agar tampak “masih seperti dulu” barangkali memang banyak menjadi kerinduan. Di kalangan kaum perempuan tua dan lansia banyak yang menggunakan alat-alat kosmetik khusus untuk menyembunyikan tanda-tanda ketuaan dan kelansiaan. Menyemir rambut menjadi hal yang jamak terjadi tidak hanya di antara kaum perempuan. Laki-laki tua dan lansia juga tidak sedikit yang tampil dengan rambut mudanya sebagai hasil penyemiran. Pada pokoknya upaya menggarap tubuh dan organ-organnya agar tampak “masih seperti dulu” menjadi hal yang melanda banyak kaum tua dan lansia agar tak hanya tampak masih muda tetapi juga bisa tampil bersaing dengan kaum muda. Barangkali kebanggaan rambut putih sebagai tanda kebijaksanaan sudah tidak masuk paradigma kehidupan orang jaman now.

Mengingat saya ikhlas-ikhlas saja dengan kondisi saya dengan tiga bulan lagi berumur 69 tahun, saya terdorong untuk berpikir apa yang membuat saya mendapatkan kesan “masih seperti dulu” dari pada umumnya yang dulu pernah bergaul dan mengenal. Saya kemudian teringat kata orang-orang yang sempat memberikan penjelasan mengapa saya “masih seperti dulu”. Secara spontan saya kerap mengucapkan kata-kata “Kalau kamu bilang aku masih seperti dulu, itu artinya kamu katarak”. Mendengarkata-kata itu mereka malah tertawa terbahak-bahak. Saya kemudian bilang “Sekarang saya sudah expired”.  Kemudian saya menyebut hipertensi, asam urat, kolesterol, trigliserida, dan diabetes sebagai tim penyakit yang numpang di tubuh. Saya juga bicara tentang kursi roda yang menjadi sahabat mobilitas. Mata sudah tidak setajam dulu. Kesulitan menggunakan WC dan kamar mandi yang tidak seperti fasilitas Domus Pacis Puren juga saya ceriterakan. Dan masih ada beberapa untuk memperteguh kondisi tubuh saya yang tidak setegar dulu. Terhadap kata-kata itu, saya kerap menghadapi komentar langsung semacam “Tetapi rama tetap bersemangat seperti dulu” ..... “Tetapi rama tetap segar” ..... “Tetapi lucunya tidak hilang” ..... “Tetapi keceriaannya tidak hilang”.

Dari komentar-komentar semacam itu saya menangkap yang menghadirkan kesan “masih seperti dulu” dalam diri saya amat berkaitan dengan suasana relung hati. Saya memang merasa lebih bahagia dibandingkan dengan ketika masih menjalani dinas. Saya tidak merasa kehilangan kedudukan dengan pensiun dan tinggal di rumah tua. Makin masuk ke usia lanjut tidak membuat saya mengalami rasa sepi terpisah dengan sanak-saudara dan teman-teman yang dulu pernah bersama-sama aktif. Sekalipun 92,00% lebih banyak mengalami kesendirian di dalam kamar, sehingga amat sangat berlawanan dengan kebiasaan pergi sana-sini di kala masih dinas, saya tidak merasa menjadi orang terisolasi. Entah bagaimana, saya lebih bisa secara leluasa omong apapun dengan Tuhan dalam hati. Banyak hal yang masuk dalam pikiran, perasaan, dan keinginan justru menjadi bahan omongan dengan Tuhan dalam hati. Kebetulan saja saya mendapatkan pencerahan dari spiritualitas Santa Theresa dari Kalkuta yang menempatkan keheningan sebagai poros kehidupan beriman. Kebetulan saja saya diwarnai oleh proses kerohanian Jawa NENG (dari kata Jawa meneng yang berarti diam), NING (dari wening yang berarti hening), NUNG (dari dunung yang berarti paham), NANG (dari menang atau wenang yang berarti kemampuan bertindak). Dengan demikian suasana diam dalam kamar memungkinkan saya mengalami keheningan.

Tentu saja berkaitan dengan kesendirian diam dalam kamar yang berkembang menjadi keheningan, hal ini terjadi karena dalam banyak hal saya mengomongkannya dengan Tuhan. Di sini saya sangat diwarnai oleh kata-kata Tuhan Yesus “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:6) Berdoa secara tersembunyi bagi saya adalah omong-omong atau kontak dengan Tuhan dalam hati. Asal terbiasa membawa apapun dalam hati, saya yakin bahwa saya sudah berada dalam bimbingan Roh Kudus, karena pada dasarnya setiap orang adalah “bait Roh Kudus” (1Kor 6:19). Dengan sikap seperti ini saya juga merasa dapat meneladan Bunda Maria yang kalau berhadapan dengan peristiwa “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19) Dengan suasana hati seperti ini tampaknya saya dapat miliki iklim yang membuat saya berkiblat pada Tuhan dan menghayati Injil atau sukacita ilahi (band Mrk 1:15). Dalam keadaan apapun, enak dan tak enak serta baik dan buruk, saya mendapatkan hati ceria. Dan kalau hati dikuasai keceriaan, maka saya dimungkinkan menghayati amanat Tuhan "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk 16:15)

Mungkinkah keceriaan batin adalah landasan utama yang membuat orang memiliki tampilan “sama seperti dulu”?

Puren, 1 November 2019

0 comments:

Post a Comment