Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, April 9, 2013


MUKJIZAT NENG

Tulisan ini saya ketengahkan dalam Blog Domus sebagai sharing pengalaman saya sesudah tidak memiliki tugas resmi dan banyak mengalami hidup sendiri dalam kamar. *Rama Bambang

Pembicaraan berikut sebenarnya berkaitan dengan tema “Mukjizat” Domus Voice[1] dalam Bulan Kitab Suci September 2012. Biasanya saya mengikuti kegiatan Bulan Kitab Suci seminggu sekali di Lingkungan Santo Fransiscus Assisi Puren, Paroki Pringwulung. Tetapi pada tanggal 18 September 2012 saya jatuh di kamar mandi dan harus opname 31 hari di Rumah Sakit Panti Rapih. Saya hanya bisa berbaring dan duduk di tempat tidur selama 30 hari karena kaki harus ditarik dengan alat pemberat 3 kg. Di sinilah saya berpikir-pikir tentang mukjizat apa yang saya alami sebagai warga Domus Pacis.
  
Ora Krasa Sepi?[2]

Pada Minggu 16 September 2012 seorang teman bertanya “Kowé ora krasa sepi nèng omah kaya ngana?”[3] Yang dimaksud apa saya tidak kesepian di rumah tua Domus Pacis. Selanjutnya dia berkata “Aku ki nèk ora ana acara rasané dadi nglangut. Padahal kowé acarané mesthi di bawah 50%.”[4] Saya hanya tersenyum pada sharing teman tersebut. Dalam benak saya memang muncul pelayanan-pelayanan misa (terutama ujub) yang paling banyak hanya 14 kali sebulan. Biasanya antara 5-8 kali. Bahkan ada bulan tanpa permintaan. Kalau dihitung, rata-rata 14 kali waktu pelaksanaan misa dan pergi-pulangnya, paling-paling ini hanya menyita 56 jam. Padahal sebulan rata-rata ada 720 jam. Dengan hitungan ini 92,2222% hidup saya tidak berada di tengah-tengah kerumunan umat. Saya juga membayangkan bahwa saya terutama berada di kamar. Memang, mulai akhir Agustus 2011 para rama Domus selalu makan bersama. Seandainya kumpul di kamar makan tiga kali sehari dihitung 6 jam (karena pada saat tertentu dapat lama berndobosria[5] ha ha ha ....), maka kumpul bareng serumah bisa 180 jam. Dengan demikian suasana kesendirian ada 67,2222% dalam hidup saya.

Saya jadi teringat dua bulan pertama menjadi penghuni Domus Pacis sejak 1 Juli 2010. Saya membuka file Domus Voice edisi pertama. Di situ saya menulis “Jujur saja, pada dua bulan pertama ada rasa “kosong batin” melanda diri saya. Saya dapat gembira bersama Rama Agung untuk omong-omong, dengan rama Joko untuk gojegan[6], bersama rama Harta dengan mengejeknya. Tetapi mengapa ada “kelengangan batin”? Eeeee, hal ini akhirnya kusadari pada 18 Juli 2010 kira-kira jam 6 sore. Ketika itu hujan lebat sehingga hari rasanya sudah gelap gulita. Saya mengendarai Honda Supra X 125D roda 3 dengan mantol menuju Gedung Gereja Wirobrajan. Dalam suasana hati terasa berat karena harus menyibak tebalnya tirai kelebatan hujan, tiba-tiba saya menyadari mengapa hati biasa terlela oleh kekosongan dan kelengangan. Saya “sekarang” tidak memiliki fasilitas mobil dan menjalani pelayanan sendiri tanpa teman-teman tim sebagaimana ketika masih berada di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Situasi dan kondisi perutusan sudah berubah.”

Rama kok Seperti Ini Sejak Saya Kecil

Pada Rabu 12 September 2012 saya ikut menghadiri peresmian Kantor Majalah Salam Damai milik Keuskupan Agung Semarang. Seseorang yang berasal dari Kalasan mendekati saya. Ternyata dia adalah salah satu anak yang dulu ikut kor kanak-kanak ketika saya ikut aktif di Paroki Kalasan pada tahun 1978-1980. Saat itu dia masih SD kelas 5 dan ketika saya tahbisan Januari 1981 dia SMP kelas 1. Dalam omongannya dia amat menekankan kata-kata “Rama kok masih seperti ketika saya kecil, ta?” Dia kini sudah beranak tiga. Saya menyahut “Ah, kamu baru umur 40an tahun kok sudah katarak.” Dia membantah “Sungguh, rama. Rama tampak tetap segar dan gembira.”

Sebenarnya komentar bernada “masih seperti dulu, segar, gembira” kerap saya dengar bila berjumpa dengan orang-orang tempo dulu. Kalau dengan orang-orang gaulan masa kini yang kerap muncul adalah nada komentar “rama itu selalu ceria”. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa kehadiran saya di Domus Pacis juga membawa suasana gembira sehingga Domus tidak seperti panti jompo tempat menanti kematian atau juga tidak seperti tempat tahanan yang menghadirkan suasana frustrasi. Di Domus Pacis saya memang mengalami dinamika yang membuat saya rasa-rasanya makin bergairah dalam hidup sebagai imam bersama para imam lain. Bersama teman imam yang kondisi sebenarnya cukup “menjijikkan”, ternyata saya juga dapat menemukan kegembiraan karena yang buruk itu di mata saya jadi hal lucu yang membuat hati dan mulut tertawa riang. Terhadap watak yang amat saya benci, ternyata hati saya berkembang menjadi pabrik roh yang mendaur ulang berbagai kebencian menjadi rasa toleran bercampur bumbu rasa kasihan. Maka kalau saya berkisah pada orang lain, semua yang buruk dan tak menyenangkan menjadi ceritera yang lucu dan menimbulkan gelak tawa yang menebar aura kegembiraan.

Ternyata ada Rahmat MeNENG

Terhadap komentar-komentar seperti di atas sebenarnya saya selalu teringat pada sosok Rama Agoeng dan Rama Yadi yang secara duniawi menjadi topangan kekokohan hati menghadapi situasi dan kondisi Domus Pacis pada tahun pertama keberadaan saya. Bersama merekalah perjuangan pengembangan Komunitas Rama-rama Domus Pacis terjadi. Namun demikian saya memang harus juga melihat yang terjadi dalam diri saya. Di atas sudah saya katakan bahwa paling tidak 67,222% hidup saya ada dalam kesendirian dalam kamar. Ini belum ditambah dengan kenyataan bahwa perjalanan ke sana-sini juga biasa dalam kesendirian. Kehidupan saya di Domus Pacis memang amat berbeda dengan 27 tahun berada dalam kehidupan gerakan Komisi Karya Misioner Keuskupan Agung Semarang. Meskipun demikian, hati riang gembira saya di Domus Pacis rasanya melampaui perjalanan imamat sebelumnya. Hal inilah yang barangkali membuat orang melihat saya masih seperti dulu. Bahkan beberapa kali saya berjumpa dengan orang-orang yang mengatakan bahwa saya “awet muda” (tentu saja saya selalu tertawa karena nyatanya saya sekarang sudah berjalan pakai krug bahkan juga menikmati kursi roda).

Terhadap kenyataan seperti itu saya juga teringat yang terjadi pada masa pertama sebagai penghuni Domus Pacis. Di dalam Domus Voice Agustus 2011 saya menulis “Situasi dan kondisi perutusan sudah berubah. Sejak saat itulah saya selalu mempersembahkan segala perubahan itu dalam setiap doa batin saya baik dalam doa khusus maupun dalam ucapan-ucapan spontan batin kepada Yesus. Eeeee ..... Pada hari ke 59 di Domus Pacis saya merasa sudah akrab dan enak dengan situasi dan kondisi saya.” Dalam kutipan itu saya menebalkan kata-kata yang saya anggap amat penting. Sebenarnya saya sudah terbiasa dengan doa batin. Saya sudah mulai mengembangkan secara serius sejak tahun 1982. Hal ini berkembang dengan pentingnya pengembangan kebiasaan hening sebagaimana selalu menjadi pokok pengembangan kerohanian dalam gerakan misioner Tim Edukasi Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Dengan merujuk ke Beata Theresa dari Calcuta Tim Edukasi selalu mendengungkan “Dengan hening aku berdoa, dengan doa aku beriman, dengan iman aku mengasih, dengan kasih aku melayani, dengan melayani dengan melayani kualami kedamaian”[7]. Keheningan adalah pusat dari segala derap pengembangan hidup dalam bimbingan Roh.

Dalam hal menjaga dan mengembangkan keheningan, ada hal yang amat mentakjubkan terjadi dalam diri saya justru dengan tinggal sebagai penghuni Domus Pacis. Dengan renungan dalam Domus Voice kali ini saya menyadari bahwa kesendirian yang amat mewarnai hidup saya telah menjadi jalan saya merasakan rahmat ilahi yang amat mentakjubkan. Kesendirian itu tidak membuat saya merasakan yang namanya kesepian. Kesendirian itu membuat saya mengalami diam yang frekuensinya amat besar sekali dalam hidup saya. Suasana diam dalam kamar membuat saya biasa merasa-rasakan dan memikir-mikir apa pun yang terlintas dan terbayang dalam benak saya. Saya juga makin tajam mencermati hati dan perasaan-perasaan yang menggembirakan, menggelisahkan dan menyusahkan. Bahkan tayangan telivisi yang saya lihat dan acara radio yang saya dengar juga mudah masuk dalam hati dan menjadi permenungan-permenungan bahkan kontemplasi spontan alamiah. Saya sering merasa diam-diam dapat merasakan aura pertapaan sebagaimana diciptakan di Pertapaan Trapis Rawaseneng. Keprajaan (keduniawian) imamat saya ternyata mendapatkan anugerah pola rohani seperti para pertapa. Mengapa? Karena saya merasa ada karya ilahi yang menjadikan suasana sendiri menjadi keadaan meNENG (diam)[8]. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya dan religiositas Jawa, suasana diam (tentu saja dengan biasa menyebut “Gusti”[9] berkali-kali) membuat saya secara spontan mengalami weNING (hening, jernih). Ternyata dengan weNING saya mendapatkan daya batin menimbang apa pun yang masuk dalam hati sehingga saya jadi duNUNG (paham, memahami). Saya mendapatkan pemahaman untuk yakin punya weNANG (wibawa batin) atau meNANG (kemampuan) yang menjadi dorongan untuk bersikap atau bertindak sesuai dengan situasi kongkret demi kepentingan umum. Inilah sikap atau tindakan yang walau sedikit akan ikut memayu hayuning bawana (membawa keindahan atau kebaikan dalam hidup bersama di rumah, dalam kerja/kegiatan dan dalam pergaulan umum). Dalam hal ini, saya sungguh bersyukur karena dominasi kesendirian hidup di Domus Pacis telah diubah oleh Tuhan menjadi keindahan meNENG. Apakah ini bukan mukjizat seperti air menjadi anggur dalam peristiwa pesta perkawinan di Kana dalam Yoh 2:1-12?


[1] Buletin elektronik yang memuat tulisan apa adanya dari rama-rama Domus Pacis. Ini dimulai pada Agustus 2011 hingga Desember 2012. Domus Voive diedarkan lewat email kepada relasi para rama Domus Pacis sebagai sharing pengalaman.
[2] Tidak kesepian?
[3] Apa kamu tidak merasa kesepian berada di rumah seperti itu?
[4] Kalau tak punya acara aku selalu merasa lengang. Padahal acaramu dengan orang lain pasti tak ada separo hidupmu.
[5] Ngobrol sana-sini.
[6] Berkelakar.
[7] Tim Edukasi MMM PAM. Terlibat Biar Hebat Olah Lagu dan Dramatisasi Bahan Keterlibatan Anak dan Remaja untuk Pengembangan Umat. Kerjasama dengan Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2008 hlm. 14.
[8] Bdk. Jalu Suwangsa. Katak pun Ingin Memuliakan Penciptanya. Manunggaling Manungsa dengan Penciptanya. Yogyakarta, Penerbit Kepel, 2011 hal. 111-116.
[9] Kata “Gusti” berasal dari bahasa Jawa yang berarti Tuhan.

0 comments:

Post a Comment