Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, May 15, 2014

SURAT EKSIKLIK TERANG IMAN (5)


Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS


Surat Ensiklik
TERANG IMAN

dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN


Kepenuhan iman Kristiani

15. “Abraham bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku; ia telah melihatnya dan bersukacita” (Yoh 8:56). Berdasarkan kata-kata Yesus ini, iman Abraham telah merujuk kepada Diri-Nya; dalam arti hal tersebut telah meramalkan misteri-Nya. Maka Santo Augustinus memahami itu ketika ia menyatakan bahwa para patriakh telah diselamatkan oleh iman, bukan iman akan Kristus yang telah datang melainkan akan Kristus yang masih akan datang, sebuah iman yang menekankan ke arah masa depan Yesus.[13] Iman Kristiani berpusat pada Kristus; itu merupakan pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan dan bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati (bdk. Rom 10:9). Semua jalur benang dari Perjanjian Lama bertemu menjadi satu pada Kristus; Dia menjadi “Ya” yang definitif untuk semua janji-Nya, dasar utama “Amin” kita kepada Allah (bdk. 2 Kor 1:20). Sejarah Yesus adalah manifestasi lengkap keandalan Allah. Jika bangsa Israel terus mengingat perbuatan-perbuatan besar kasih Allah, yang telah membentuk inti dari pengakuan imannya dan memperluas pandangannya dalam iman, kehidupan Yesus sekarang muncul sebagai wadah dari campur tangan Allah secara definitif, manifestasi tertinggi dari kasih-Nya untuk kita. Sabda yang Allah katakan kepada kita dalam Yesus bukanlah hanya satu sabda di antara banyak [sabda], melainkan Sabda-Nya yang kekal (bdk. Ibr 1:1-2). Allah tidak dapat memberikan jaminan lebih besar daripada Kasih-Nya, sebagaimana Santo Paulus ingatkan pada kita (bdk. Rom 8:31-39). Dengan demikian, iman Kristiani adalah iman akan sebuah kasih yang sempurna, akan kekuatannya yang menentukan, akan kemampuannya untuk mengubah dunia dan untuk mengungkap sejarahnya. “Kita mengenal dan percaya akan kasih Allah kepada kita” (1 Yoh 4:16). Dalam kasih Allah yang dinyatakan dalam Yesus, iman menyadari pondasi itu yang padanya bersandar semua realitas dan tujuan akhirnya.
16. Bukti yang paling jelas dari keandalan kasih Kristus dapat ditemukan dalam kematian-Nya demi kita. Jika seseorang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya adalah bukti terbesar dari kasih (bdk. Yoh 15:13), Yesus mempersembahkan hidup-Nya sendiri bagi semua [orang], bahkan bagi musuh-musuh-Nya, untuk mengubah hati mereka. Hal ini menjelaskan mengapa para penginjil dapat melihat waktu penyaliban Kristus sebagai puncak dari tatapan iman; pada saat itu kedalaman dan luasnya kasih Allah bersinar keluar. Saat itulah kemudian Santo Yohanes mempersembahkan kesaksiannya yang sungguh-sungguh, saat ia bersama-sama dengan Ibu Yesus memandang kepada Dia yang telah ditikam (bdk. Yoh 19:37): “Orang yang melihat hal ini sendiri telah memberikan kesaksian, supaya kamu juga percaya. Kesaksiannya adalah benar, dan ia tahu bahwa ia mengatakan kebenaran” (Yoh 19:35). Dalam The Idiot karya Dostoevsky, Pangeran Myshkin melihat sebuah lukisan yang dibuat oleh Hans Holbein Muda, yang menggambarkan Kristus yang wafat di dalam kubur, dan [ia]berkata: “Melihat pada lukisan itu mungkin dapat menyebabkan seseorang kehilangan imannya”.[14] Lukisan itu adalah sebuah gambaran mengerikan dari efek- efek yang menghancurkan dari kematian pada tubuh Kristus. Namun justru dalam merenungkan kematian Yesuslah maka iman bertambah kuat dan menerima sebuah terang yang mempesonakan; lalu ia [iman]dinyatakan sebagai iman akan kasih setia Kristus bagi kita, sebuah kasih yang mampu merangkul kematian untuk membawa kita kepada keselamatan. Kasih ini, yang tidak undur terhadap kematian agar dapat menunjukkan kedalamannya, adalah sesuatu yang dapat kupercayai; pemberian diri total Kristus mengatasi setiap kecurigaan dan memungkinkan aku untuk mempercayakan diriku sendiri kepada-Nya sepenuhnya.

17. Kematian Kristus memperlihatkan keandalan yang sempurna dari kasih Allah yang terpenting dalam terang kebangkitan-Nya. Sebagai Seorang yang bangkit, Kristus adalah saksi yang dapat dipercaya, patut diimani (bdk. Why 1:5; Ibr 2:17), dan sebuah pendukung yang kuat untuk iman kita. “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaanmu”, kata Santo Paulus (1 Kor 15:17). Seandainya kasih Bapa tidak menyebabkan Yesus bangkit dari kematian-Nya, seandainya kasih itu belum mampu mengembalikan tubuh-Nya untuk hidup kembali, maka itu tidak akan menjadi sebuah kasih yang benar-benar dapat diandalkan, yang mampu menerangi juga kegelapan dari kematian. Ketika Santo Paulus menggambarkan hidup barunya di dalam Kristus, ia berbicara tentang “iman di dalam Putera Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20). Jelas, “iman di dalam Putera Allah” ini berarti iman Paulus di dalam Yesus, tetapi iman itu juga mengambil dasar jaminan bahwa Yesus sendiri adalah layak untuk diimani, atas dasar bukan hanya bahwa Ia telah mengasihi kita bahkan sampai mati, tetapi juga atas dasar status keputraan ilahi-Nya. Tepatnya karena Yesus adalah Putera-Nya, karena Dia secara keseluruhan didasarkan dalam Allah Bapa, Dia mampu menaklukkan kematian dan membuat kepenuhan hidup bersinar keluar. Budaya kita telah kehilangan arti kehadiran nyata dan aktivitas Allah di dunia kita. Kita berpikir bahwa Allah dapat ditemukan di luar sana, pada tingkatan lain dari realitas, jauh terpisahkan dari hubungan-hubungan relasi kita sehari-hari. Tapi jika ini terjadi, jika Allah tidak bisa bertindak di dunia ini, kasih-Nya tidak akan menjadi benar-benar kuat, benar-benar nyata, dan dengan demikian bahkan tidak benar, sebuah kasih yang mampu mengantarkan kebahagiaan yang dijanjikannya. Keadaan ini tidak akan membuat perbedaan sama sekali apakah kita telah percaya kepada-Nya atau tidak. Sebaliknya, umat Kristiani, mengakui iman mereka dalam kasih Allah yang nyata dan kuat yang benar-benar bertindak dalam sejarah dan menentukan tujuan akhirnya: sebuah kasih yang dapat dijumpai, sebuah kasih yang sepenuhnya terungkap dalam sengsara, kematian dan kebangkitan Kristus.

18. Kepenuhan ini yang Yesus bawa kepada iman, memiliki aspek yang menentukan lainnya. Dalam iman, Kristus bukan hanya yang di dalam-Nya kita percaya, manifestasi tertinggi dari kasih Allah itu; Dia juga adalah Seorang yang dengan-Nya kita bersatu, justru dengan maksud untuk percaya. Iman tidak hanya memandang kepada Yesus, tetapi melihat hal-hal sebagaimana Yesus sendiri melihat mereka, dengan mata-Nya sendiri: itu adalah sebuah partisipasi dalam cara Ia melihat. Di banyak area dalam hidup kita, kita percaya kepada orang lain yang tahu lebih banyak daripada yang kita sendiri ketahui. Kita percaya kepada arsitek yang membangun rumah kita, apoteker yang memberikan kita obat untuk penyembuhan, pengacara yang membela kita di pengadilan. Kita juga perlu seseorang yang bisa dipercaya dan berpengetahuan luas sehubungan dengan Allah. Yesus, Putera Allah, Dialah yang menyatakan Allah kepada kita (bdk. Yoh 1:18). Hidup Kristus, cara-Nya mengenal Bapa-Nya dan hidup dalam hubungan yang lengkap dan konstan dengan Bapa-Nya, membuka rangkaian pandangan yang baru dan yang mengundang bagi pengalaman manusia. Santo Yohanes menyatakan pentingnya sebuah hubungan pribadi dengan Yesus bagi iman kita dengan menggunakan berbagai bentuk kata kerja “percaya”. Selain “percaya bahwa” apa yang Yesus katakan kepada kita adalah benar, Yohanes juga berbicara tentang “percaya” Yesus dan “percaya akan” Yesus. Kita “percaya” Yesus ketika kita menerima Sabda-Nya, kesaksian-Nya, karena Dia berkata benar. Kita “percaya akan” Yesus ketika kita secara pribadi menyambut-Nya ke dalam hidup kita dan melakukan perjalanan ke arah-Nya, dengan melekat kepada-Nya dalam kasih dan mengikuti jejak-Nya sepanjang jalan-Nya. Untuk memampukan kita mengenal, menerima dan mengikuti-Nya, Putera Allah mengambil daging kita [menjadi manusia]. Dengan cara ini Dia juga melihat Bapa-Nya dengan cara manusiawi, dalam kerangka sebuah perjalanan yang menjadi jelas dalam waktu. Iman Kristiani adalah iman akan inkarnasi dari Sang Sabda dan kebangkitan Tubuh-Nya; itu adalah iman akan Allah yang berada begitu dekat dengan kita sehingga Dia masuk ke dalam sejarah manusia. Jauh dari memisahkan kita dengan realitas, iman kita kepada Putera Allah yang menjadi manusia dalam Yesus dari Nazaret memungkinkan kita untuk memahami makna terdalam dari realitas dan untuk melihat betapa besar Allah mengasihi dunia ini dan terus membimbingnya ke arah Diri-Nya sendiri. Hal ini menuntun kita, sebagai umat Kristiani, untuk menjalani hidup kita di dunia ini dengan komitmen dan intensitas yang semakin besar.

0 comments:

Post a Comment