Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, May 13, 2014

SURAT ENSIKLIK TERANG IMAN (4)

Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.

AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS


Surat Ensiklik
TERANG IMAN

dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN


Iman bangsa Israel

12. Sejarah bangsa Israel dalam Kitab Keluaran mengikuti jejak iman Abraham. Iman sekali lagi lahir dari karunia yang awali: Israel percaya kepada Allah, yang berjanji untuk membebaskan umat-Nya dari kesusahan mereka. Iman menjadi suatu panggilan untuk sebuah perjalanan panjang yang menuju kepada penyembahan Tuhan di Sinai dan pewarisan sebuah tanah terjanji. Kasih Allah dilihat seperti kasih seorang bapa yang membawa anaknya sepanjang perjalanan (bdk. Ul 1:31). Pengakuan iman Israel terbentuk atas dasar perbuatan- perbuatan Allah dalam membebaskan umat-Nya dan dalam bertindak sebagai penunjuk jalan mereka (bdk. Ul 26:5-11), sebuah dasar yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Terang Allah menerangi Israel melalui kenangan akan perbuatan- perbuatan Allah yang ajaib, yang diingat dan dirayakan dalam penyembahan, dan diturunkan dari orang tua kepada anak-anak. Di sini kita melihat bagaimana terang iman dihubungkan dengan cerita kehidupan yang nyata, dengan kenangan penuh rasa syukur atas perbuatan Allah yang ajaib dan pemenuhan terus-menerus atas janji-janji-Nya. Arsitektur gaya Gothik memberikan gambaran yang jelas akan hal ini: dalam katedral- katedral yang megah, cahaya turun dari surga melalui kaca- kaca jendela yang menggambarkan sejarah penyelamatan. Terang Allah datang kepada kita melalui kisah pewahyuan diri-Nya, dan oleh karena itu menjadi mampu untuk menerangi perjalanan kita sepanjang waktu dengan mengenangkan anugerah-anugerah-Nya dan menunjukkan bagaimana Ia memenuhi janji-janji-Nya.

13. Sejarah bangsa Israel juga menunjukkan kepada kita godaan untuk tidak percaya yang kepadanya bangsa tersebut menyerah lebih dari sekali. Di sini kebalikan dari iman ditunjukkan dengan penyembahan berhala. Sementara Musa berbicara dengan Allah di Sinai, bangsa Israel tidak tahan dengan misteri Allah yang tersembunyi, mereka tidak dapat bersabar menunggu saat untuk melihat wajah-Nya. Iman pada dasarnya menuntut pengingkaran akan kepemilikan langsung yang nampaknya ditawarkan oleh penglihatan kita; iman adalah sebuah undangan untuk berpaling ke sumber terang tersebut, sementara menghormati misteri wajah Allah yang akan tersingkap sendiri pada waktunya. Martin Buber sekali waktu mengutip sebuah definisi tentang penyembahan berhala dari seorang Rabi dari Kock: penyembahan berhala ialah “saat sebuah wajah mengacu pada sebuah wajah yang bukan sebuah wajah”.[10] Daripada beriman kepada Allah, sepertinya lebih baik menyembah berhala, yang wajahnya dapat kita lihat langsung dan asal muasalnya kita ketahui, karena itu adalah hasil kerja tangan kita. Di hadapan sebuah berhala, tidak ada risiko bahwa kita akan diminta untuk meninggalkan zona aman kita, karena berhala-berhala “memiliki mulut, tetapi mereka tidak dapat bicara” (Mzm 115:5). Berhala-berhala ada, kita mulai melihat, sebagai sebuah alasan untuk menempatkan diri kita di pusat realitas dan menyembah hasil kerja tangan kita sendiri. Saat manusia kehilangan arah dasar yang menyatukan keberadaannya, manusia terpecah-pecah dalam keinginan- keinginannya yang berlipat ganda; dengan menolak untuk menunggu waktu yang dijanjikan, kisah hidupnya terpecah belah menjadi banyak sekali peristiwa-peristiwa yang tidak berhubungan. Oleh karena itu, berhala selalu bersifat politeisme, sebuah peralihan dari dewa yang satu ke dewa yang lain tanpa tujuan.
Berhala tidak menawarkan sebuah jalan melainkan banyak jalan yang tidak jelas arah tujuannya dan yang membentuk sebuah labirin yang besar sekali. Mereka yang tidak memilih untuk percaya kepada Allah harus mendengar hiruk pikuk dari dewa-dewi yang tidak terhitung jumlahnya yang berseru-seru: “Percayalah kepada saya!” Iman, walaupun terikat kepada pertobatan, adalah kebalikan dari berhala; iman berpisah dengan berhala, untuk berpaling kepada Allah yang hidup dalam suatu perjumpaan pribadi. Percaya berarti menyerahkan diri kepada sebuah kasih yang penuh pengampunan yang selalu menerima dan memaafkan, yang menguatkan dan mengarahkan hidup kita, dan yang menunjukkan kuasanya dengan kemampuannya untuk meluruskan kebengkokan dalam sejarah kita. Iman mengandung kesediaan untuk membiarkan diri kita terus menerus diubah dan diperbaharui dengan panggilan Allah. Di sinilah terdapat sebuah paradoks: dengan terus menerus berpaling kepada Tuhan, kita menemukan sebuah jalan yang pasti yang membebaskan kita dari kerusakan moral yang dipaksakan atas kita oleh para berhala.

14. Dalam iman bangsa Israel kita juga berjumpa dengan figur Musa, sang perantara. Bangsa itu tidak dapat melihat wajah Allah; Musa-lah yang berbicara dengan Yahwe di gunung itu dan lalu memberitahukan kepada mereka kehendak Tuhan. Dengan kehadiran seorang perantara di tengah mereka, bangsa Israel belajar untuk berjalan bersama dalam persatuan. Tindakan iman pribadi mendapat tempatnya dalam komunitas, dalam kebersamaan “kami” bagi bangsa itu yang, dalam iman, menjadi seperti sebuah pribadi – “anak lelaki sulungku”, seperti digambarkan Allah tentang Israel (bdk. Kel 4:22). Di sini perantaraan bukanlah sebuah halangan, melainkan pintu masuk: melalui perjumpaan kita dengan orang lain, pandangan kita terangkat kepada sebuah kebenaran yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Rousseau pernah sekali meratap bahwa ia sendiri tidak dapat melihat Allah: “Berapa banyak orang yang berdiri antara Allah dengan aku!”[11] … “Bukankah itu sungguh sangat sederhana dan alamiah bahwa Allah seharusnya akan mencari Musa untuk berbicara dengan Jean Jacques Rousseau?”[12] Atas dasar konsep pengetahuan yang individualistis dan sempit, seseorang tidak dapat menghargai pentingnya pengantaraan, kapasitas ini untuk mengambil bagian dalam cara pandang orang lain, pengetahuan bersama ini, yang merupakan pengetahuan yang tepat untuk kasih. Iman adalah anugerah gratis dari Allah, yang meminta kerendahan hati dan keberanian untuk percaya dan untuk berpasrah; iman memampukan kita untuk melihat jalan terang yang mengarahkan kita ke perjumpaan antara Allah dan umat manusia: sejarah penyelamatan.

0 comments:

Post a Comment