Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, May 8, 2014

SURAT ENSIKLIK TERANG IMAN (1)



Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS



Surat Ensiklik
TERANG IMAN

dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN

1. Terang Iman: demikianlah cara tradisi Gereja berbicara mengenai karunia besar yang dibawa oleh Yesus. Di dalam Injil Yohanes, Kristus berkata mengenai diriNya: “Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan” (Yoh 12:46). Santo Paulus menggunakan gambaran yang sama: “Sebab Allah yang telah berfirman, ‘Dari dalam gelap akan terbit terang!’, Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita” (2 Kor 4:6). Kaum pagan, yang lapar akan terang, telah menyaksikan perkembangan kultus dewa matahari, Sol Invictus, yang diseru-serukan setiap hari saat matahari terbit. Namun demikian, meskipun matahari lahir baru setiap pagi, jelaslah bahwa matahari tidak dapat memancarkan sinarnya kepada seluruh keberadaan umat manusia. Matahari tidak dapat menerangi semua realita; cahayanya tidak dapat menembus bayangan kematian, tempat di mana mata manusia tertutup dari cahayanya. “Tidak seorangpun – tulis Santo Yustinus Martir – yang pernah siap untuk mati demi imannya akan matahari”.[1] Sadar akan luasnya cakrawala yang telah dibentangkan oleh iman mereka, umat Kristen menyebut Yesus sebagai matahari yang sejati, “yang sinarnya mengaruniakan kehidupan”.[2] Kepada Martha, yang menangisi kematian saudaranya Lazarus, Yesus berkata: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (Yoh 11:40). Mereka yang percaya, melihat; mereka melihat dengan terang yang menerangi seluruh perjalanan hidup mereka, karena terang itu datang dari Yesus yang bangkit, bintang fajar yang tak pernah terbenam.

Sebuah terang ilusi?

2. Namun demikian saat kita berbicara mengenai terang iman, kita seringkali dapat mendengar keberatan- keberatan dari banyak orang di zaman ini. Di zaman modern, terang tersebut mungkin dianggap telah cukup untuk masyarakat zaman dulu, tetapi dirasa menjadi tidak berguna untuk masa sekarang, untuk sebuah kemanusiaan yang telah sampai pada zaman, yang bangga akan rasionalitasnya dan begitu gelisah untuk menyelidiki masa depan dengan cara-cara yang baru. Maka untuk sejumlah orang, iman nampak sebagai terang ilusi yang mencegah umat manusia dari langkah yang berani dalam penyelidikan pengetahuan. Nietzsche saat muda menyemangati saudarinya Elisabeth untuk mengambil risiko, untuk menjalani “jalur baru… dengan segala ketidakpastian seseorang yang harus mencari jalannya sendiri”, dengan menambahkan bahwa, “di sinilah di mana jalur-jalur kemanusiaan berpisah jalan: jika kamu menginginkan kedamaian bagi jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah, tetapi jika kamu ingin menjadi pengikut kebenaran, maka carilah”.[3] Kepercayaan akan menjadi tidak selaras dengan pencarian. Dari titik ini Nietzsche kemudian membangun kritiknya terhadap ajaran Kristiani karena menghilangkan arti sepenuhnya dari eksistensi manusia dan menanggalkan hal-hal baru dan petualangan dari kehidupan. Maka iman akan menjadi terang ilusi, sebuah ilusi yang menghalangi jalan yang menuju pembebasan kemanusiaan untuk masa depannya.
3. Dalam prosesnya, iman jadi diasosiasikan dengan kegelapan. Dulu ada orang-orang yang mencoba menyelamatkan iman dengan membuat ruang baginya sebelah menyebelah dengan terang akal budi. Ruangan tersebut akan terbuka di saat terang akal budi tidak dapat menembus, di mana kepastian tidak mungkin lagi. Iman kemudian dimengerti entah sebagai loncatan dalam gelap, yang harus dilakukan saat tidak ada terang, didorong oleh emosi yang buta, atau sebagai terang yang subjektif, yang mungkin dapat menghangatkan hati dan membawa penghiburan pribadi, tetapi bukan sebagai sesuatu yang dapat ditawarkan kepada orang lain sebagai suatu terang yang objektif dan yang dapat dibagikan, yang menunjukkan jalan. Walaupun demikan, lambat namun pasti, akan menjadi nyata bahwa terang akal budi saja tidak cukup untuk menerangi masa depan; pada akhirnya masa depan tetaplah merupakan bayang-bayang dan penuh dengan ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui. Akibatnya, manusia mengabaikan pencarian akan sebuah terang yang besar, [yaitu]Kebenaran itu sendiri, agar dapat puas dengan terang- terang yang lebih kecil yang menerangi saat ini yang sedang bergulir cepat walaupun terbukti tidak sanggup untuk menunjukkan jalan. Namun dengan tidak adanya terang semuanya jadi membingungkan; menjadi tidak mungkin untuk membedakan yang baik dari yang jahat, atau jalan yang menuju tujuan kita dari jalan-jalan lain yang hanya membawa kita berputar- putar tiada akhir, yang tanpa tujuan.

0 comments:

Post a Comment