Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, May 11, 2014

SURAT ENSIKLIK TERANG IMAN (3)

Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS


Surat Ensiklik
TERANG IMAN

dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN

BAB SATU - KITA TELAH PERCAYA AKAN KASIH (bdk. 1 Yoh 4:16)

Abraham, bapa kita dalam iman

8. Iman membuka jalan di hadapan kita dan mendampingi langkah kita sepanjang masa. Karena itu, jika kita ingin memahami apa iman itu, kita perlu mengikuti rute yang telah diambil oleh iman, jalur yang ditapaki oleh mereka yang percaya, seperti yang disaksikan pertama- tama dalam Perjanjian Lama. Di sini, sebuah tempat unik dimiliki oleh Abraham, bapa kita dalam iman. Sesuatu yang mengganggu terjadi dalam hidupnya: Allah berbicara kepadanya; Ia menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang berbicara dan memanggil namanya. Iman dihubungkan dengan pendengaran. Abraham tidak melihat Allah, tetapi dia mendengar suara-Nya. Oleh karena itu, iman menyangkut aspek pribadi. Allah bukanlah allah dari suatu tempat, atau dewa yang dihubungkan dengan waktu sakral tertentu, melainkan Allah dari seorang pribadi, Allah dari Abraham, Ishak, dan Yakub, yang mampu berinteraksi dengan manusia dan menetapkan perjanjian dengannya. Iman adalah tanggapan kita kepada sebuah sabda yang menarik kita secara pribadi, kepada sebuah “Engkau” yang memanggil kita sesuai nama kita.

9. Firman yang disampaikan kepada Abraham mengandung makna sebuah panggilan dan sebuah janji. Pertama, sebagai sebuah panggilan untuk meninggalkan kampung halamannya, sebuah panggilan menuju hidup yang baru, awal dari suatu eksodus yang mengarahkan dia kepada sebuah masa depan yang tak terbayangkan. Pandangan yang diberikan oleh iman kepada Abraham akan selalu dihubungkan dengan kebutuhan untuk melangkah maju: iman “melihat” dalam arti bahwa ia sendiri melakukan perjalanan, dalam arti bahwa ia memilih untuk masuk ke dalam wawasan yang dibukakan oleh sabda Allah. Sabda ini juga mengandung sebuah janji: Keturunanmu akan besar jumlahnya, engkau akan menjadi bapa dari sebuah bangsa yang besar (bdk. Kej 13:16; 15:5; 22:17). Sebagai tanggapan dari sabda yang mendahuluinya, iman Abraham akan selalu menjadi sebuah tindakan peringatan. Namun peringatan ini tidak terpaku pada kejadian di masa lampau tetapi, sebagai kenangan akan sebuah janji, yang mampu membuka masa depan, yang mencurahkan terang ke jalan yang harus diambil. Kita melihat bagaimana iman, sebagai peringatan akan masa depan, memoria futuri, oleh karena itu, terkait erat dengan pengharapan.

10. Abraham diminta untuk mempercayakan dirinya pada sabda ini. Iman memahami bahwa sesuatu yang nampak tidak kekal dan fana seperti kata- kata, bila diucapkan oleh Allah yang adalah kesetiaan, menjadi sepenuhnya pasti dan tidak tergoyahkan, menjamin keberlanjutan perjalanan kita sepanjang sejarah. Iman menerima sabda ini seperti sebuah batu karang yang kokoh yang di atasnya kita dapat membangun, sebuah jalan besar nan lurus yang dapat kita lalui. Dalam Alkitab, iman diekspresikan oleh kata dalam bahasa Ibrani ’emûnāh, yang diturunkan dari kata kerja ’amān yang akar katanya berarti “untuk menegakkan”. Istilah ’emûnāh dapat menunjukkan kesetiaan Allah sekaligus juga iman manusia. Manusia yang beriman menimba kekuatan dengan meletakkan dirinya dalam tangan Allah yang setia. Bermain dengan kata yang mempunyai dua arti ini – yang juga ditemukan dalam istilah-istilah yang sinonim dalam bahasa Yunani (pistós) dan Latin (fidelis) – Santo Sirilus dari Yerusalem memuji martabat seorang Kristen itu yang menerima nama Allah sendiri: keduanya disebut “setia”.[8] Seperti yang dijelaskan oleh Santo Agustinus: “Manusia dikatakan setia saat ia percaya kepada Allah dan janji- janji-Nya; Allah dikatakan setia saat Ia memberikan kepada manusia apa yang telah Ia janjikan”.[9]

11. Unsur terakhir dari kisah Abraham adalah penting untuk memahami imannya. Sabda Allah, sekalipun membawa kebaruan dan kejutan, tidaklah sama sekali asing bagi pengalaman Abraham. Dalam suara yang berbicara kepadanya, sang patriakh mengenali sebuah panggilan yang mendalam yang sudah selalu hadir di inti dirinya. Allah mengikat janji-Nya pada aspek kehidupan manusia itu yang selalu nampak paling “penuh dengan janji”, yaitu, untuk menjadi orangtua, memperanakkan kehidupan baru: “Isterimu Sara akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak” (Kej 17:19). Allah yang meminta kepercayaan penuh dari Abraham menyatakan diri-Nya sebagai sumber segala kehidupan. Iman, karena itu, dihubungkan dengan ke-Bapa-an Allah, yang menghidupi segala ciptaan; Allah yang memanggil Abraham adalah Sang Pencipta, Dia-lah yang “menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada” (Rm 4:17), Dia yang “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan… telah menentukan kita dari semula untuk menjadi anak- anak-Nya” (Ef 1:4-5). Bagi Abraham, beriman kepada Allah membuat jelas di kedalaman dirinya, imannya memampukan dia untuk mengakui mata air kebaikan di awal mula dari segala sesuatu dan untuk menyadari bahwa hidupnya bukanlah produk dari benda mati atau kebetulan, tetapi buah dari sebuah panggilan pribadi dan sebuah kasih pribadi. Allah yang misterius yang memanggilnya bukanlah dewa yang asing, melainkan Allah yang adalah awal mula dan dasar dari segala yang ada. Ujian besar bagi iman Abraham, pengurbanan anaknya Ishak, dapat menunjukkan sejauh mana kasih purba ini mampu menjamin kehidupan bahkan setelah kematian. Sabda yang dapat melahirkan seorang putra bagi dia yang “seperti sudah mati”, di dalam “kemandulan” rahim Sarah (bdk. Rm 4:19), juga dapat memenuhi janjinya akan masa depan melampaui segala ancaman atau bahaya (bdk. Ibr 11:19; Rm 4:21).

0 comments:

Post a Comment