Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, May 25, 2014

SURAT ENSIKLIK TERANG IMAN (8)


Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN  UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION OF THE ENCYCLICAL LUMEN FIDEI (The Light of Faith)
@COPYRIGHT 2014 – KATOLISITAS


Surat Ensiklik
TERANG IMAN

dari Sri Paus
FRANSISKUS
Kepada Para Uskup Imam dan Diakon
Kaum Religius dan Umat Awam
Tentang IMAN


BAB DUA: JIKA KAMU TIDAK PERCAYA, KAMU TIDAK AKAN MENGERTI (bdk. Yes 7:9)

Iman dan kebenaran

23. Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan mengerti (bdk. Yes 7:9). Versi Yunani dari Alkitab Ibrani, terjemahan Septuaginta yang dibuat di Aleksandria, memberikan gambaran kata-kata di atas yang diucapkan oleh nabi Yesaya kepada Raja Ahas. Dengan cara ini, persoalan pengetahuan tentang kebenaran menjadi pusat bagi iman. Namun demikian, teks Ibrani, membacanya berbeda, nabi itu berkata kepada raja: “Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan teguh jaya”. Di sini ada permainan kata-kata, didasarkan pada dua bentuk kata kerja’amān :”Kamu akan percaya” (ta’amînû) dan “Kamu akan teguh jaya” (tē’āmēnû). Karena ketakutan dengan kekuatan musuh-musuhnya, raja itu mencari keamanan yang dapat ditawarkan oleh sebuah aliansi dengan kerajaan Asyur yang besar. Sebaliknya, nabi itu memberitahukan raja untuk percaya sepenuhnya kepada batu yang kokoh dan tetap teguh yang adalah Allah Israel. Karena Allah dapat dipercaya, adalah wajar untuk memiliki iman kepada-Nya, untuk berdiri teguh pada sabda-Nya. Dia adalah Allah yang sama yang nantinya disebut oleh Yesaya, dua kali dalam satu ayat, Allah yang adalah Amin, “Allah kebenaran” (bdk. Yes 65:16), pondasi yang tetap bertahan bagi kesetiaan perjanjian itu. Mungkin kelihatannya, dengan menerjemahkan “teguh jaya” sebagai “mengerti”, Alkitab versi Yunani tersebut, secara mendalam telah mengubah makna teks dengan bergerak menjauh dari gagasan alkitabiah akan kepercayaan kepada Allah, menuju kepada sebuah gagasan Yunani akan pemahaman intelektual. Namun terjemahan ini, yang sementara tentu mencerminkan sebuah dialog dengan budaya Helenistik, adalah tidak asing dengan semangat yang mendasari teks Ibrani itu. Pondasi yang kokoh, yang Yesaya janjikan kepada raja itu memang didasarkan pada sebuah pemahaman tentang perbuatan Allah dan kesatuan yang Dia berikan kepada kehidupan manusia dan kepada sejarah umat-Nya itu. Nabi ini menantang raja, dan kita, untuk memahami cara-cara Tuhan, dengan melihat di dalam kesetiaan Allah, rencana yang bijaksana yang mengatur zaman ke zaman. Santo Agustinus mengambil perpaduan dari ide-ide “pengertian” dan “menjadi teguh jaya” ini dalam Pengakuan-Pengakuan-nya (Confessions) ketika ia berbicara tentang kebenaran yang atasnya seseorang dapat bersandar agar dapat berdiri teguh: “Selanjutnya aku akan dibentuk dan ditempatkan dengan kokoh dalam cetakan kebenaran-Mu”.[17] Dari konteks tersebut kita tahu bahwa perhatian Agustinus adalah untuk menunjukkan bahwa kebenaran Allah yang dapat dipercaya ini adalah, sebagaimana Alkitab jelaskan, kehadiran-Nya sendiri yang setia sepanjang sejarah, kemampuan-Nya untuk terus memelihara waktu dan zaman, dan untuk mengumpulkan menjadi satu, untaian yang tersebar dari hidup kita.[18]

24. Membaca dalam terang ini, teks nubuat itu mengarah kepada satu kesimpulan: kita membutuhkan pengetahuan, kita membutuhkan kebenaran, karena tanpa ini kita tidak bisa berdiri teguh, kita tidak bisa bergerak maju. Iman tanpa kebenaran tidak menyelamatkan, hal itu tidak menyediakan sebuah pijakan yang pasti. Ia [iman tanpa kebenaran]tetap menjadi sebuah cerita yang indah, proyeksi dari kerinduan kita yang mendalam untuk kebahagiaan, sesuatu yang mampu memuaskan kita sampai-sampai kita bersedia untuk menipu diri kita sendiri. Entah itu, atau iman direduksi menjadi sebuah perasaan yang tinggi sekali, yang membawa penghiburan dan kegembiraan, namun tetap menjadi kurban karena fantasi dari roh kita dan perubahan musim, yang tidak mampu mempertahankan sebuah perjalanan yang mantap di sepanjang kehidupan. Seandainya yang semacam itu adalah iman, Raja Ahas akan menjadi benar untuk tidak mempertaruhkan hidup dan keamanan kerajaannya pada sebuah perasaan. Tapi justru karena hubungannya yang mendasar dengan kebenaran, sebaliknya iman mampu menawarkan sebuah terang yang baru, yang lebih unggul dari perhitungan- perhitungan raja itu, karena iman melihat lebih lanjut dalam kejauhan dan memperhitungkan tangan Allah, yang tetap setia kepada perjanjian dan janji-janji-Nya.

25. Saat ini lebih dari sebelumnya, kita perlu diingatkan tentang ikatan antara iman dan kebenaran ini, mengingat krisis kebenaran dalam zaman kita. Dalam budaya kontemporer, kita sering cenderung untuk mempertimbangkan satu-satunya kebenaran nyata adalah [kebenaran]dari teknologi itu: kebenaran adalah apa yang berhasil kita bangun dan ukur dengan pengetahuan ilmiah kita, kebenaran adalah apa yang berhasil dan apa yang membuat hidup lebih mudah dan lebih nyaman. Dewasa ini, hal ini muncul sebagai satu-satunya kebenaran yang pasti, satu-satunya kebenaran yang bisa dibagikan, satu-satunya kebenaran yang dapat berfungsi sebagai sebuah dasar untuk diskusi atau untuk karya bersama. Namun di ujung lain dari timbangan tersebut, kita bersedia untuk memperbolehkan kebenaran-kebenaran subjektif dari perorangan, yang terdapat dalam kesetiaan kepada keyakinan-keyakinannya yang terdalam, namun demikian ini adalah kebenaran- kebenaran yang berlaku hanya untuk pribadi orang itu dan tidak dapat untuk diusulkan kepada orang lain dalam upaya untuk melayani kepentingan bersama. Tapi Kebenaran itu sendiri, kebenaran yang secara komprehensif akan menjelaskan kehidupan kita sebagai individu dan dalam masyarakat, dipandang dengan kecurigaan. Tentunya kebenaran semacam ini – kita dengar itu dikatakan – adalah apa yang diklaim oleh gerakan-gerakan totaliter yang besar di abad terakhir, sebuah kebenaran yang mengenakan pandangan dunianya sendiri agar menghancurkan kehidupan-kehidupan nyata dari orang per orang. Pada akhirnya, apa yang tersisa pada kita adalah relativisme, di mana pertanyaan tentang kebenaran universal itu – dan akhirnya hal ini berarti pertanyaan tentang Allah – tidak lagi relevan. Akan menjadi logis, dari sudut pandang ini, untuk mencoba memutuskan ikatan antara agama dan kebenaran, karena ikatan itu tampaknya terletak pada akar fanatisme, yang membuktikan penindasan bagi siapa pun yang tidak mempunyai keyakinan-keyakinan yang sama. Meskipun demikian, dalam hal ini, kita dapat berbicara tentang sebuah amnesia yang sangat besar dalam dunia kontemporer kita. Persoalan tentang kebenaran adalah benar-benar sebuah persoalan memori/ kenangan, kenangan yang mendalam, karena hal itu berhubungan dengan sesuatu yang lebih awal dari diri kita sendiri dan dapat berhasil dalam mempersatukan kita dengan cara yang melampaui kesadaran individu kita yang kecil dan terbatas. Ini adalah sebuah persoalan tentang asal-usul dari semua yang ada, yang dalam cahayanya kita dapat sekilas melihat tujuan itu dan dengan demikian, makna dari jalan yang kita tempuh bersama.

0 comments:

Post a Comment