Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, May 18, 2017

MONSINYUR ROBERTUS, ‘OPEN’

dari grup email UNIO KAS 4 Mei 2017
 
Tolong baca dengan benar: open! (Huruf ‘e’ dibaca seperti ketika kita menyebut tempat: Kopeng). Open bukan dalam arti: buka atau terbuka (bahasa Inggris), melainkan bahasa Jawa: seneng ngopeni! Open adalah sifat positif dari seseorang. Open berkaitan dengan keutamaan luhur tradisi Jawa: gemi lan nastiti.  Para orang tua bisanya mendidik anak-anaknya untuk ‘gemi’. Di antaranya dengan pembiasaan
nyelengi’, menabung. Menabung bukanlah sekedar mengumpulkan uang untuk masa depan, tetapi sebuah olah spiritual supaya terbentuk pribadi yang gemi. Maka, gemi berarti pandai menyimpan sesuatu dengan menghindari penggunaan yang tidak perlu/ berlebihan, sehingga tetap tampil prasaja/ bersahaja.
Monsinyur Robertus adalah seorang yang open, suka ngopeni barang  yang memang dibutuhkan, memeliharanya supaya tetap berfungsi optimal dan awet. Kami teman-teman seangkatan di Seminari Mertoyudan dan di Seminari Tinggi Kentungan sangat ingat bagaimana beliau berpakaian. Yang dipakai hanyalah baju yang itu-itu saja. Warna sekitar broken white, atau abu-abu (‘ben yen reget ra katon/ biar kalau kotor tak kentara). Motif pun hampir selalu lorek-lorek (motif garis lembut). Kadang-kadang saja memakai batik pemberian. Saya mengamatinya sampai hari-hari menjelang tahbisan uskup (hari-hari ini), baju beliau pun masih tetap sama (warna dan motifnya) sejak puluhan (30 tahun) lalu. So simple, begitu sederhana. Kalau baju robek, atau lepas kancing, beliau sigap dengan benang dan jarum untuk ‘dondom’/ sulam kembali. Ini mengingatkan saya pada Monsinyur Johanes Pudjasumarta waktu menjadi pamong di Mertoyudan, dengan baju yang ‘keblendokan’(tercurah)  mangsi/tinta pen, namun tetap dipakainya terus menerus.

Ketika para frater yang lain telah mempunyai radio baru (setelah Tahun Orientasi Pastoral) yang kinclong, Frater Rubiyatmoko tetap ngopeni radio yang tak berbentuk samasekali. Sebab radionya adalah rangkaian ‘handmade’ (circuit block) yang telanjang tanpa casing. Entah beliau peroleh dari bak sampah di mana. Speakernya ditempatkan di kura-kura plastik, bekas mainan anak-anak. Sehingga kami sering mengolok-olok: Radio Bulus. Frater Rubiyatmoko sungguh open. Sepeda onthel inventaris, selalu diisak-isik, dilap, supaya tetap bersih. Sepeda pinjaman tersebut selalu ‘diuthak-uthik’, disetel supaya tetap nyaman dikendarai ketika hampir setiap hari harus ‘nglajo’ dari Kentungan ke IKIP Sanata Dharma Mrican.

Ngopeni sangat erat dengan keutamaan lain yang menyertai: nastiti dan ngati-ati. Nastiti berarti piawai dan teliti dalam mengelola sesuatu. Biasanya berkaitan dengan uang dan anggaran. Artinya cukup berhati-hati dalam memperhitungkan pemasukan dan pengeluaran supaya berimbang (Ingat: gemi). Namun sesungguhnya, ngopeni itu tidak hanya sekedar bagaimana memperlakukan barang. Melainkan juga berkaitan dengan penggembalaan.

Tepatlah motto: Quaerere et salvum facere! Persis itulah yang disebut: open. Selalu mengarahkan diri  dalam aksi/tindakan dan passion untuk  menemukan yang hilang, supaya mengalami keselamatan. Membayangkan bahwa setiap imam dan umat menghidupi semangat Bapak Uskup, betapa Gereja KAS akan semarak dan menjadi berkat. Gereja akan signifikan secara internal, dan relevan di tengah masyarakat.  (Agus S. Gunadi Pr)
__._,_.___

Posted by: Agus Suryana Gunadi <agus.suryana.gunadi@gmail.com>

0 comments:

Post a Comment