Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, August 28, 2017

ENERGI



Ini soal swasembada pangan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bupati H Ibnu Subiyanto Akt menjelaskan swasembada pangan sebagai konsep untuk menciptakan kemakmuran daerah. Kebutuhan pangan tidak hanya beras saja. Jika semua kebutuhan pangan manusia dikerucutkan, maka hanya akan ada dua yang paling pokok, yaitu karbonhidrat dan protein. Kedua aspek ini merupakan energi bagi manusia. Yang lain-lain adalah suplemen.

(disimpulkan dari SKH Kedaulatan Rakyat Selasa Kliwon 2 Juni 2009 halaman 4)

Dari Dunia

            Bagi saya yang amat menarik adalah bahwa soal pangan berkaitan erat dengan terjadinya energi bagi manusia. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], kata energi berarti “tenaga, daya kekuatan yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses aktivitas”. Energi adalah kunci manusia agar dapat sungguh hidup, karena orang sungguh hidup kalau dapat melakukan kegiatan. Barangkali karena sakitnya orang yang koma hanya dapat bernapas. Akan tetapi, bernapas pun membutuhkan energi. Yang menjadi soal adalah bagaimana orang mendapatkan energi yang mampu membuat sehat. Energi pernapasan untuk orang koma dapat datang dengan pertolongan alat medis yang membantu aliran oksigen. Tetapi orang yang sungguh sehat harus memiliki energi yang datang dari dua aspek, yaitu karbonhidrat dan protein. Ini berasal dari pangan yang berupa beras atau jagung, daging, telur, dan sayuran. Energi yang dibicarakan berkaitan erat dengan kehidupan manusia dari segi biologis atau fisik. Padahal kehidupan manusia untuk sungguh dapat menghayati kesejahteraan lahir dan batin, sehingga kehidupan dipenuhi rasa syukur yang penuh, berkaitan dengan empat kebutuhan: biologis, intelektual, psikologis, dan spiritual[2].

            Berbicara tentang energi manusia, sebagai salah satu dari warga Paguyuban Murid-Murid Kristus, saya memusatkan diri pada kebutuhan spiritual. Ini adalah kehidupan dalam bimbingan Roh Kudus untuk ikut Kristus di tengah-tengah perkembangan situasi hidup dan budaya. Inilah kehidupan beriman yang terungkap dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan duniawi (idelogis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Secara kongkret hidup beriman membutuhkan “energi rohani”. Dengan merujuk adanya dua aspek untuk energi biologis manusia, yaitu karbonhidrat dan protein, saya mencari-cari kemungkinan dua aspek yang menciptakan energi rohani bagi manusia. Dari merenung dan berdoa, saya menemukan dua aspek yang paling tidak untuk diri saya memberikan energi kesegaran hidup rohani. Dua aspek rohani itu adalah keheningan dan paguyuban.
  
Hening

            Ibu Theresa dari Calcuta menempatkan keheningan menjadi dasar dari segala kehidupan beriman. Dengan hening orang bisa beriman. Dengan iman orang bisa berdoa. Dengan doa orang bisa mencinta. Dengan cinta orang bisa melayani. Dan dengan melayani orang mengalami kedamaian. Kedamaian adalah suasana hening batin. Maka keheningan adalah kerangka dasar hidup beriman. Sebagai murid Kristus yang hidup dalam konteks budaya Jawa, saya juga menemukan bahwa keheningan menjadi pusat dari segala upaya kesempurnaan. Dalam budaya Jawa, orang yang melatih diri untuk kesempurnaan rohani, dia harus mampu mengembangkan yang disebut “neng, ning, nung, nang”.

Kata neng selengkapnya berbunyi meneng yang berarti diam. Orang yang mau mencari kesempurnaan harus mampu menjalani praktek diam. Kaum pertapa menjalani tindakan diam dengan menyingkir ke tempat sepi. Suasana diam biasa diupayakan sebagai prasyarat untuk menjalani upaya mencari kesempurnaan atau kesucian. Inilah mengapa di dalam rumah-rumah retret (dari kata Latin retrahere yang berarti mengundurkan diri atau menyepi) suasana diam amat diupayakan.

Ning dari kata wening yang berarti hening. Dalam suasana diam, orang akan dengan mudah mengembangkan keheningan dalam hati. Dengan hati yang hening, orang akan mampu menimbang-nimbang segala yang terjadi dalam hidupnya. Dengan menimbang-nimbang peristiwa-peristiwa tersebut orang akan menemukan makna atau hal pokok yang terkandung di dalamnya. Tetapi dengan hening orang juga mengalami hubungan dengan Tuhan sehingga mendapatkan terang iman pada pengalaman hariannya. Di sini murid Kristus akan mendapatkan terang iman lewat Kitab Suci dan/atau tradisi Gereja. Proses hening akan membuat pengalaman duniawi seseorang menjadi pengalaman iman.

Nung itu dunung yang berarti memahami. Kesadaran akan peristiwa atau kejadian-kejadian kongkret yang mendapatkan terang iman membuat orang memahami kehidupan nyata saat ini dan kehidupan macam apa yang sebaiknya dikembangkan. Dengan demikian orang dapat merencanakan program dan kemungkinan-kemungkinan tindakan untuk langkah ke depan. Dunung adalah buah visioner dan konseptual dari hening.

Nang berasal dari menang. Ini adalah kemenangan mencapai ujung dari proses mencari kesempurnaan. Berbagai rencana program dan kegiatan yang dilandasi oleh keheningan batin akan dapat dilaksanakan di dalam kehidupan kongkret. Inilah kemenangan rohani, yaitu kemampuan melaksanakan yang sudah diprogramkan dan direncanakan. Kemenangan, yaitu kemampuan pelaksanaan, merupakan buah operasional dari pengembangan keheningan diri.

Dari permenungan itu, saya menyadari bahwa yang paling pokok adalah keheningan diri. Suasana diam hanya berguna kalau membantu berkembangnya keheningan. Tetapi orang dapat merasakan kegalauan batin walau dalam keadaan sepi, dan sebaliknya orang dapat tetap memiliki keheningan batin dalam suasana yang ramai dan riuh rendah. Segala program-kegiatan dan pelaksanaannya akan terjadi dengan baik kalau orang tetap memiliki keheningan diri. Dengan hening orang akan sungguh mengalami bahwa yang berdoa dan aktif mengolah hidup di hadapan Allah adalah Roh Kudus[3]. Dengan keheningan diri orang akan sungguh-sungguh menjadi baik Allah dan Roh Kudus diam di dalam diri kita[4].

Paguyuban

            Di dalam kehidupan menggereja, paguyuban menjadi dimensi inti dari kehidupan para murid Kristus. Sebagai ikatan umat beriman yang menekankan hubungan personal, paguyuban menjadi bagian Gereja kongkret[5] atau juga disebut Gereja Inti[6]. Paguyuban memang menjadi tanda kehadiran Tuhan Yesus yang paling strategis, sebab Dia sendiri berkata “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”[7]. Santo Paulus kemudian melihat paguyuban iman ini sebagai “tempat kediaman Allah, di dalam Roh”[8]. Pentingnya penghayatan hidup beriman dengan wajah paguyuban sangat menonjol untuk realita pengikut Kristus di Asia termasuk Indonesia. Gereja yang berwajah Asia adalah Gereja sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Tuhan Yesus Kristus[9].

            Bobot rohani dalam sebuah paguyuban merupakan fenomena kultural sekurang-kurangnya di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hubungan antar manusia memiliki dua dimensi kehidupan, yaitu patembayatan (komunio) dan paguyuban (komunitas). Di dalam patembayatan hubungan antar manusia di tentukan dalam jaringan struktural atas dasar status sosial yang dimiliki oleh seseorang. Di sini peranan organisasi amat ditekankan. Lain halnya dengan paguyuban. Jaringan hubungan personal menjadi ciri utama. Di sini setiap orang mendapatkan penghargaan sebagai pribadi. Semangat padha-padha (kesemartabatan) mendapatkan penekanan. Pemenuhan kebutuhan bagi yang membutuhkan dijalankan dengan semangat gotong-royong (kerjasama tanpa imbalan uang). Segalanya ditata dengan kemasan yang bernuansa religius. Setiap warga yang baik tidak akan mengadakan perhelatan lebih dari sekali dalam satu tahun. Pelanggaran terhadap prinsip ini disebut ora ilok (melanggaran tabu). Semua pelanggaran tatanan bersama dipercaya akan membuat sing mbaureksa (roh penjaga dusun) marah. Paguyuban memang menjadi aspek penentu enetrgi rohani di samping keheningan batin.


[1] Chulsum Umi, S.Pd dan Novia Windy, S.Pd. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko, 2006.
[2] Mangkunegoro IV, KGPAA. Wedatama.
[3] Band Rom 8:26.
[4] Lih 1 Kor 3:16.
[5] Band KDPL I.1.3
[6] Band O’Halloran. Small Christian Community.
[7] Mat 18:20.
[8] Ef 2:22.
[9] Band FABC 1990.

0 comments:

Post a Comment