Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, July 9, 2017

Ketika Melayat Rm. Yatno


"Wau rasane pripun?" (Bagaimana tadi rasanya?) tanya Rm. Harto ketika makan malam Kamis 6 Juli 2017. Pertanyaan ini berkaitan dengan peristiwa siang hari pada hari itu. Kecuali Rm. Tri Hartono dan Rm. Tri Wahyono, pada Kamis itu para rama pergi ke Seminari Tinggi Kentungan. Rm. Agoeng berangkat di pagi sesudah makan. Rm. Yadi berangkat siang untuk ikut misa tetapi tidak bersama rama-rama. Rm. Rio, Rm. Harto, Rm. Gito, dan Rm. Bambang bersama Pak Tukiran dan Bu Rini berangkat memakai mobil. Karena harus membawa 4 buah kursi roda, mobil granmax tidak mencukupi. Rm. Bambang kemudian membawa mobil ayla dengan mengambil 1 kursi roda masuk dalam bagasi. Bu Rini menyopiri granmax untuk para rama dan Pak Tuliran kecuali Rm. Bambang yang dengan ayla juga membawa Rm. Rio. Semua menuju Kentungan untuk melayat Rm. Yatno yang wafat pada Selasa malam jam 11.35 di RS Siloam Jakarta sesudah operasi baypass jantung.

Peristiwa wafat Rm. Yatno memang termasuk yang istimewa dan langka bagi para rama praja Keuskupan Agung Semarang. Ribuan pelayat memadati kompleks Seminari Tinggi di dalam dan di luar. Urutan para pelayat untuk menghormat langsung di peti jenasah, paling tidak sejak rombongan rama Domus masuk pada jam 11.30, harus dihentikan ketika misa requiem akan segera berlangsung. Urutan menghormat di peti jenasah ini terulang sesudah misa yang terus berlangsung dan belum selesai ketika rombongan Domus harus menyusup-nyusup minta jalan untuk pulang pada jam 15.00 lebih. Selain umat Katolik, para pelayat beragama dan berkeyakinan lain juga amat banyak yang hadir. Maklumlah beliau termasuk pendiri FPUB (Forum Persaudaraan Umat Beriman) di Yogyakarta. Beliau juga termasyhur sebagai pejuang orang kecil sampai akhir hayatnya sebagaimana dimuat dalam surat kabar Tribun Jogja dan Kompas. Tetapi kepadatan dan penuhnya tempat duduk baik di kapel maupun di luar kapel tak membuat Rm. Gito, Rio, Rm. Harto, dan Rm. Bambang untuk mendapatkan tempat terdepan karena hadir dengan kursi rodanya.

Kembali ke pertanyaan Rm. Harto "Wau rasane pripun?" pada makan malam hari itu. Pertanyaan itu terjadi karena sehabis misa ada tamu khusus ikut hadir melayat. Sri Sultan hadir disertai pimpinan Polri dan tentara DIY hadir. Beliau mendapat kesempatan khusus melihat jenasah didampingi Mgr. Rubiatmoko dan Mgr. Riana serta beberapa tokoh. Sesudah itu tamu-tamu khusus ini duduk berjajar di bangku kapel terdepan. Mgr. Rubi berada di samping kiri Sri Sultan sesudah salah satu pejabat teras DIY. Banyak orang berdiri melihat para pejabat itu dan amat banyak yang mengambil foto. Para rama Domus berada di luar barisan orang-orang itu sehingga hanya kadang-kadang mampu mengintip Sultan lewat sela-sela jajaran banyak orang itu. Pada saat itu Rm. Bambang berkata kepada Rm. Harto "Kula ajeng ndemok Kanjeng Sultan" (Saya ingin menyentuh Sri Sultan). Kemudian dengan kursi rodanya yang didorong oleh Bu Rini, Rm. Bambang menyibak orang-orang yang berjejal melihat Sultan. Ketika sampai di depan Sultan, Rm. Bambang berkata "Kula kepingin ndemok Kanjeng Sultan. Kepareng, nggih" (Saya ingin menyentuh Yang Terhormat Sultan. Diperkenankan, ya) dan ternyata Sultan mengulurkan tangan menyalaminya. Ketika bersalaman Rm. Bambang berkata "Kula pembantunipun niku" (Saya pembantu dia) sambil telapak tangan kiri terjulur mengarah ke Mgr. Rubi yang ternyata tersenyum.

0 comments:

Post a Comment