Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, March 1, 2013

SIAP TUA DENGAN NEGATIVE THINKING


Ketika akan merayakan Pesta Perak Imamat 22 Januari 2006, saya dengan teman seangkatan menjalani retret beberapa hari sebelumnya di Pertapaan Rawaseneng. Teman seangkatan tersebut adalah Rama Heruyanto dan Rama Kartasudarma. Selain bermenung secara pribadi, kami melakukan temu sharing dua kali sehari dan sekali sehari pertemuan dibimbing oleh Rama Abas.

Dalam salah satu pertemuan bersama Rama Abas, saya terkejut oleh kata-kata Rama Heru ketika melaporkan salah satu sharing kami. Sharing itu berkaitan dengan hal-hal yang dapat kami rintis untuk penghayatan imamat ke depan. Ketika melapor pokok-pokok sharing saya, Rama Heru kurang lebih mengatakan: "Rama Bambang merasa pesimis memandang imamat ke depan. Dia khawatir akan penerimaan para rama muda terhadapnya." Waktu itu saya diam saja walau tidak ada pesimisme dalam diri saya.

Pada tahun 2005 Mgr. Haryo memang sudah mengatakan bahwa mulai dengan tahun 2006 saya akan dipindahkan dari lembaga Karya Misioner yang berbasis di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM). Saya memang sudah merasa mulai out of date dalam karya ini sejak tahun 2004. Beberapa teman tim kerja misioner kerap melontarkan ketidakpuasannya terhadap kinerja saya. Dalam hal menyongsong kepindahan, saya melakukan surve sambil lalu berkaitan dengan kemungkinan karya ke depan. Saya kerap mampir bertandang ke rama-rama yang relatif masih muda. Saya bertanya "Bagaimana kalau suatu saat saya menjadi satu komunitas pastoran dan karya denganmu?" Pada umumnya ngomong sekitar "mangga", "manut Bapak Uskup". Tetapi ada dua rama yang sungguh saya perhatikan ucapannya. Yang satu berterus terang di hadapan saya "Wah, aku ora isa nek duwe pastor pembantu senior. Ngene wae, suk manggona neng kene bareng aku. Apa pun takopeni. Tapi nyuwuna tugas lain. Sehingga kowe ora melu dadi penentu kebijakan karo aku. Nek aku butuh, aku isa njaluk tulung tetapi antar kita tak ada kesamaan bidang karya." Sedangkan kata-kata rama yang lain saya dengar dari info seorang awam teman dekat saya "Wah, nek karo Rama Bambang aku emoh."

Terus terang saya memang bersiap membuat antisipasi kepindahan karya bahkan tempat sesudah menyelesaikan tugas di lembaga misioner sejak 1983. Saya membayangkan bagaimana kalau saya jadi pastor pembantu? Saya membayangkan bagaimana kalau tinggal bersama dengan rama-rama jaman kini? Saya membayangkan bagaimana kalau saya harus tinggal sendiri? Saya membayangkan bagaimana kalau tempat tinggal saya banyak trapnya (karena kondisi jalan saya yang pakai krug)? Saya membayangkan bagaimana kalau sudah tidak bermobil? Karena dalam perjalanan ternyata kepindahan diundur-undur hingga akhir Juni 2010, saya pun membayangkan bagaimana kalau tinggal di rumah tua? Kalau tinggal di rumah tua, bagaimana kalau saya menjadi orang yang dilupakan dan tak ada yang mengunjungi? Bahkan saya pun membayangkan bagaimana kalau di rumah tua fasilitas dan kesejahteraan terasa tak memadahi? 

Bayangan-bayangan itu kerap saya lontarkan kepada para petinggi Keuskupan dan jajarannya dengan ungkapan-ungkapan berbau kelakar. Menjadi sembrono pari kena (kelakar dengan intensi jelas). Tak jarang muncul komentar "mbok aja negative thinking". Dalam kenyataan saya memang ditempatkan di Rumah Tua Domus Pacis. Memang ada rumusan tugas, tetapi Keuskupan tidak memberi target. Maka secara praktis saya mengalami semacam pensiun dini, karena untuk imam praja masa pensiun dimulai pada saat berusia 65 tahun, padahal saya lahir pada 30 Januari 1951. Saya tinggal di Domus Pacis mulai dengan 1 Juli 2010. Untuk menjadi sreg mendiami kamar dan suasana Domus, saya membutuhkan waktu 59 hari. Dalam hal mecari-cari bentuk karya (walau sudah lebih dari 6  bulan saya persiapkan di MMM PAM), saya mengalami kebingungan hampir 18 bulan. Kini dalam kondisi fisik dan wawasan yang terbatas, selain melayani misa-misa ujub, saya mulai menemukan bentuk karya yang saya sebut PIKATU (Pendampingan Iman kaum Tua). Dengan bantuan Pak Pratiknya dan Pak Dicky, dua profesor psikologi, saya boleh mendapatkan cakrawala ketuaan yang sebelumnya sama sekali tidak saya ketahui. Bahkan Komunitas Rama Domus Pacis, yang berkembang menggembirakan, menjadikan saya sebagai salah satu rekan karya pastoral dalam merintis Domus Pacis sebagai salah satu karya Pastoral Ketuaan. Ternyata antisipasi negative thinking menunju ketuaan justru menjadi kekuatan batin mengarungi gurun batin proses pergantian meninggalkan yang lama menuju yang baru. *Rama Bambang

0 comments:

Post a Comment