Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, December 7, 2015

Untung Ada Yang Mudah Siap


Pagi sekitar jam 04.00 Minggu 6 Desember 2015 Rm. Bambang membaca SMS dari Mbak Tari. Dia mengabarkan bahwa ayah Pak Heru, mertua Mbak Tari, wafat. Mbak Tari minta pamit dari kerja Domus Pacis. Rm. Bambang mengiyakan dan menucapkan belasungkawa lewat SMS juga. Tetapi bagi Rm. Bambang SMS dengan kalimat singkat itu telah membuatnya harus menyikapi keadaan Domus Pacis. Itu adalah hari libur. Peristiwa kematian itu berarti Mbak Tari dan Pak Heru absen. Mas Abas akan sendiri. Maka Rm. Bambang berjuang untuk menghubungi Pak Tukiran untuk masuk kerja. Sebenarnya ini adalah hari libur untuk Pak Tukiran. Lebih dari itu Minister (pimpinan rumah tangga) Domus memutuskan Pak Tukiran hanya mengurus kebersihan dan tidak mengurus "pasien" Domus. Tetapi karena keadaan darurat Rm. Bambang bertindak lain. Dia menghubungi nomor HP kedua anak Pak Tukiran berkali-kali tetapi tidak dapat sambung. Pencobaan SMS dan telepon selalu gagal. Nomor HP adik iparnya pun juga demikian. Rm. Bambang kemudian menelpon Bu Rini untuk memintanya datang ke rumah Pak Tukiran. Tetapi semua nomor Bu Rini juga barerada di luar jangkauan. Bu Rini baru menghubungi kembali ke Rm. Bambang pada jam 05.30 tetapi ternyata sedang berada di pantai Parangtritis. Rm. Bambang baru merasa lega ketika datang telepon dari Pak Roto, adik ipar Pak Tukiran, pada sekitar jam 06.30. Dari bantuan Pak Roto inilah Pak Tukiran dapat datang pada sekitar jam 08.00. Pada saat makan pagi Rm. Agoeng bertanya "Pak Heru lan Mbak Tari disukani libur pinten dinten?" (Pak Heru dan Mbak Tari diberi libur berapa hari?) yang dijawab oleh Rm. Tri Hartono "Rong dina" (Dua hari). Tetapi Rm. Bambang berkata "Niku urusane Minister ta? Sapa ngerti pun ngomong kalih atasan" (Itu urusan minister ta? Siapa tahu sudah berbicara dengan atasan). Yang jelas bagi Domus Pacis sudah ada ketenangan karena Pak Tukiran datang dan mau menginap sehingga Mas Abas tidak harus bersusah payah sendiri. Apalagi bagaimanapun Pak Tukiran sudah 30 tahun melayani para rama tua sejak dari Jetis, Kentungan hingga kini di Domus Pacis.

"Awake dhewe layat mboten?" (Kita melayat tidak?) tanya Rm. Agoeng di meja makan pagi itu. Karena tak ada jawaban dari para rama lain, Rm.Bambang berkomentar "Suk mawon nek pas pengetan napa?" (Apakah tidak baik besok kalau pas hari peringatan?). Tetapi pada sekitar jam 10.00 Mas Handoko, salah satu relawan Domus, datang ke kamar Rm. Bambang dan bertanya "Layat mboten?" (Apakah akan melayat?). Dari sini disepakati untuk pergi ke rumah orang tua Pak Heru sesudah makan siang. Mendengar rencana ini Rm. Agoeng menyatakan untuk ikut serta. Bu Rini yang sudah pulang dari Parangtritis pun menyatakan ikut. Demikian pula Bu Mumun. Dengan demikian Rm. Agoeng dan Rm. Bambang sesudah makan siang menuju Ceper, tempat Pak Heru, dengan mobil Gran Max yang disopiri oleh Mas Handoko. Tiga tibu relawati (Bu Sri, Bu Mumun, dan Bu Rini) juga ada bersama. Sesampai di rumah Pak Heru jenasah memang sudah dikuburkan. Tetapi rombongan kecil ini dapat berjumpa dengan ibu pak Heru dan kedua kakak Pak Heru beserta para istrinya. Karena lewat kota Klaten, rombongan ini mampir ke Pak dan Bu Tukiman, ayah-ibu Rm. Agoeng, karena Rm. Agoeng meminta Mas Aris, adiknya, untuk memijat Rm. Bambang. Ternyata sesudah selesai, Bu Rini juga minta giliran dipijat karena tangan yang kalau diangkat sakit.

0 comments:

Post a Comment