Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Wednesday, April 27, 2016

LANSIA TETAP JADI GARAM DAN TERANG



Pada Minggu 17 April 2017 Tim Kerja Pendampingan Iman Usia Lanjut (PIUL) Paroki St. Ignatius Magelang mengadakan Paskahan bagi kaum lanjut usia. Lebih dari 250 orang hadir di Gedung Mandala di kompleks Pastoran Ignatius Magelang. Dari pengamatan sekilas tampaknya yang berusia di bawah 60 tahun tak lebih dari 10 orang. Acara yang berlangsung pada jam 10.00-12.00 di warnai dua ibu muda, yang bertindak sebagai MC dan pemandu nanyian-nyanyian bersama terdiri atas: nyanyi-nyanyi, doa pembuka, nyanyi, sambutan rama Paroki, nyanyi, satu jam bersama Rm. Bambang, nyanyi, door prize, nyanyi, doa penutup dan berkat. Acara Rm. Bambang memang menjadi pokok dan mendapat kesempatan selama 1 jam. Rm. Bambang diminta berbicara dengan topik “Tetap Menjadi Garam Dan Terang Dunia Di Usia Lanjut”. Tulisan berikut adalah catatan dari yang disampaikan oleh Rm. Bambang.

Sebenarnya Amanat untuk Semua

Berbicara tentang garam dan terang dunia kita dapat mengambil amanat Tuhan Yesus dalam Injil Matius yang berbunyi:
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat 5:13-16)

Dari firman itu barangkali kita dapat membuat kesimpulan gampang-gampangan berkaitan dengan hidup orang Kristiani di tengah kehidupan bersama:
·         Membawa rasa enak. (ay 13) Pengikut Tuhan Yesus di tengah kehidupan bersama dipanggil untuk berjuang membawa rasa nikmat bagi orang-orang lain. Tentu saja hal ini berkaitan dengan tugas iman untuk menjadi pemberita Injil atau kabar sukacita ilahi.
·         Tampil sukacita. (ay 14-16) Untuk menjadi pembawa suka cita, kita secara individual harus selalu menjadi ceria sehingga siapapun yang berhadapan dengan kita kena aura sukacita kita.

Yang harus dicatat dalam gambaran garam dan terang adalah bahwa keduanya akan menjadi gangguan bagi dan bahkan ditolak oleh mereka yang sakit. Garam amat mengganggu orang-orang yang mengalami hipertensi. Terang menjadi gangguan yang sakit mata. Dengan demikian orang yang sungguh beriman akan menjadi gangguan dan bahkan musuh bagi orang-orang yang hidupnya tidak terpuji bahkan jahat. Yang jelas amanat ini adalah untuk semua pengikut Yesus tanpa memandang usia, kedudukan, pendidikan, kebangsaan dan situasi-kondisi lainnya. Meskipun demikian penghayatannya selalu sesuai dengan perkembangan situasi hidup dan budaya masing-masing atau kelompok.

Lansia Di Tengah Budaya Jawa

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kaum lansia menghayati amanat Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia. Bagaimanapun juga situasi hidup kaum lanjut usia tidak sama dengan generasi lain seperti anak, remaja, kaum muda dan kaum dewasa lain. Di atas sudah dinyatakan bahwa situasi hidup dan budaya menentukan bentuk penghayatan iman. Karena para peserta Paskahan berada dalam pengaruh kuat budaya Jawa, baik sebagai orang Jawa maupun sebagai Tionghoa peranakan, maka nuansa Jawa perlu mendapatkan pertimbangan. Dalam salah satu ajaran tradisional  dari Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunegoro IV mengatakan dalam tembang Gambuh:
Samengko ingsun tutur; Sembah catur supaya lumuntur; Dihin raga, cipta, jiwa, rasa kaki; Ing kono lamun kelakon; Tandha nugrahaning Manon.
(Kini aku berkata; Agar empat macam sembah kauterima; Yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa; Apabila terlaksana; Itulah tanda anugerah Tuhan).

Raga sebagai ujung tombak

Dalam tembang itu sembah raga disebut sebagai yang pertama kali. Hal ini bagi para pengikut Kristus menjadi amat penting. Hubungan dengan Allah atau beriman pertama-tama harus dihayati dalam kenyataan lahiriah ragawi, karena karya keselamatan ilahi justru terjadi dengan kenyataan “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Untuk menjadi garam dan terang kehadiran seseorang pertama-tama dirasakan dan ditangkap dari realitas lahiriahnya. Memang kehadiran orang tidak terlepas dari aktivitas cipta, jiwa dan rasanya. Namun demikian tampilan kongkretnya amat ditentukan oleh realitas ragawinya. Beriman memang menjadi upaya mengikuti dan semakin mengikuti Tuhan dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat.

Enak dan bercahayanya raga tua: kuasai “pucuk lidah”

Bagaimanapun juga pada umumnya orang makin tua akan makin rentan baik raga maupun jiwanya. Dalam hal ini merosotnya kondisi ragalah yang biasanya mempengaruhi situasi jiwani. Kemerosotan ragawi akan makin cepat kalau penyakit mulai berjangkit di tubuh. Padahal ada penyakit-penyakit yang berdatangan bagi kebanyakan kaum tua dan lansia. Hipertensi, kolesterol, trigliserit, asam urat dan diabetes dapat disebut  paling tidak salah satu masuk dalam penderitaan orang yang kerap masuk pada lansia. Dalam kondisi badan sepertiini yang amat berbahaya adalah kalau lansia keliru menyantap menu makan. Lansia sudah tak dapat seperti ketika masih muda. Apalagi kalau sudah terjangkit  penyakit orang sudah tidak seperti dalam kondisi sehat. Di sini orang harus menyadari bahwa kesejatian makan bukanlah terutama mengikuti kebiasaan bahkan selera. Pada dasarnya makan dan minum adalah untuk hidup sebagaimana kata-kata Yesus “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, … Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan …” (Mat 6:25). Maka dapat dipahami kalau untuk hidup damai sejahtera orang harus mampu mengusai “pucuk lidah”. Asal demi kesejatian hidup lidah harus dibiasakan untuk menyantap hal-hal yang biasa saja di luar kebiasaan dan seleranya. Segala doa harus menjadi kebiasaan jiwani untuk menguatkan segi rasa agar sejalan dengan segi cipta untuk menguatkan segi raga hidup dengan santapan yang benar. Dari sini terjadilah yang dikatakan dalam ungkapan “dalam badan sehat terdapat jiwa sehat”. Kaum lansia yang segar raga akan memiliki jiwa riang sehingga mudah menjalani amat Tuhan menjadi garam dan terang dunia.

0 comments:

Post a Comment