diambil dari http://www.mirifica.net By
A. Gianto
on
Jendela Alkitab, Mingguan
Pada hari Minggu Paskah VI tahun C ini dibacakan Yoh 14:23-29. Petikan ini menutup pesan-pesan Yesus kepada para murid pada penutupan perjamuan malam terakhir. Pembicaraan berikut ini agak lebih “teologis” nadanya daripada ulasan-ulasan sebelumnya. Mohon kesabaran. Memang Injil Yohanes itu Injil yang paling rohani dan baru mulai bisa dinikmati bila kita akrabi dengan menghubungkannya dengan gerak-gerik Yang Ilahi yang kita alami sendiri.
“MENURUTI FIRMANKU”
Kata-kata Yesus yang mengawali petikan hari ini menjawab pertanyaan seorang murid yang hadir dalam perjamuan terakhir, yaitu Yudas yang lain (yang bukan Yudas Iskariot yang baru saja meninggalkan kelompok itu) mengapa Yesus akan menyatakan diri kepada mereka, yakni murid-murid itu, dan bukan kepada dunia (ayat 22). Maksudnya, mengapa ada perbedaan antara murid-murid dan “dunia”. Memang dalam Injil Yohanes kata “dunia” menunjuk pada tempat kekuatan-kekuatan yang mau melawan Yang Ilahi. Jawabannya, yakni ayat 23, memuat pemberitahuan bahwa Yesus dan Bapanya akan tinggal bersama dengan orang yang menuruti firman Yesus dan mendapat perkenan Yang Mahakuasa sendiri. Kedua hal ini sebetulnya cara lain untuk mengatakan “mengasihi Yesus”. Awal ayat 24 mengatakan hal yang sama tetapi dengan cara menyebut kebalikannya: yang tak mengasihinya ialah orang yang tidak menuruti firmannya. Kemudian ditegaskan pada bagian kedua ayat 24 itu bahwa firman tadi datang dari Bapanya, yakni Yang Mahakuasa yang mengutus Yesus.
Apa yang dimaksud dengan “firman” dalam ayat 23-24 itu? Apakah semua pengajaran yang telah diberikan Yesus kepada para murid? Memang begitulah kesan pertama. Namun bila dipikirkan lebih lanjut, makin terang yang dimaksudkan ialah perintah baru untuk saling mengasihi yang diberikan dalam Yoh 13:34-35 yang dibacakan hari Minggu yang lalu. Seperti diuraikan minggu lalu, inilah ajaran Yesus yang terbesar, ilmu terdalam yang diturunkannya kepada para murid sebelum ia pergi. Dengan demikian maka kata-kata bahwa firman itu berasal dari Bapa sendiri menegaskan bahwa asalnya dari atas sana. Diwariskan untuk menghadirkan Yang Mahakuasa sendiri di tengah para murid. Ini arti penegasan bahwa Yesus dan Bapanya akan tinggal bersama mereka yang menghidupi ajaran tadi.
Oleh karena itu perpisahan antara Yesus dengan murid-muridnya tidak lagi perlu menjadi hal yang menggelisahkan. Bahkan seharusnyalah menjadi alasan bersuka cita (ayat 28). Yesus akan berada dengan Bapanya yang dikatakan “lebih besar daripadanya” (ayat 29), dan kedua-duanya akan ada bersama manusia.
KEHADIRAN PENOLONG – APA ITU?
Kita boleh bertanya bagaimana pikiran-pikiran rohani itu di atas itu berhubungan dengan dunia nyata. Kunci untuk itu diberikan dalam petikan ini dengan bahasa rohani juga. Sang Penolong akan diutus dan kehadirannya akan membuat kata-kata Yesus tadi menjadi hidup. Orang akan teringat akan ajaran, akan “ilmu” yang diturunkan Yesus tadi. Dalam bahasa Yunaninya, yang disebut Penolong itu ialah Parakleetos, arti harfiahnya ialah dia yang dipanggil untuk mendampingi, untuk menolong, untuk menjadi pembela di hadapan dunia. Penolong ini kekuatan yang makin hadir di tengah-tengah kelompok orang yang percaya kepada kabar baik Yesus. Bagaimana persisnya ini terjadi dan dihidupi tidak diceritakan Yohanes lebih lanjut. Lukaslah yang mengisahkannya dalam seluruh Kisah Para Rasul. Yohanes menghimbau orang-orang agar menyadari kehadiran ilahi yang membuat manusia dapat berjalan terus di dunia yang sarat kekuatan-kekuatan gelap.
Dalam arti itulah Injil Yohanes sebetulnya berbicara mengenai kehidupan sehari-hari. Kehadiran Penolong ada dalam perjalanan kehidupan. Seperti halnya para murid dulu mulai menemukan jalan-jalan baru dalam masyarakat dan hidup mereka, begitu juga kini kita boleh merasa dan percaya disertai Roh Tuhan yang menolong kita, yang selalu bisa dimintai tolong dalam keadaan terjepit, bisa “disambat”. Itulah arti Parakleetos – “para”, artinya dekat, “kleetos” yang dimintai bantuan dalam keadaan mendesak. Perlu ditambahkan, yang memanggil, yang “nyambat” ialah Yesus, bukan para murid, bukan kita, walau yang dibela ialah para murid. Dan dalam arti ini jelas pula bahwa Penolong itu memperhatikan gerak gerik kita tanpa selalu kita sadari. Dan bila mendapati kita sedang butuh bantuan, ia akan datang sebelum kita sempat memanggilnya – ia sudah “disambat” oleh dia yang perkataannya kita turuti.
Ada satu hal lagi yang penting. Kehadiran Penolong itu ada bersama dengan murid-murid, di tengah-tengah kita. Tidak dikatakan di dalam diri masing-masing mereka meskipun tentunya akibatnya akan demikian. Kehadirannya bukan “monopoli” orang yang lebih murah hati, yang lebih mampu berbuat baik, yang lebih spiritual dari yang lain. Bukan inilah yang hendak dikatakan. Penolong hadir di tengah-tengah umat, ada bersama. Ia menghidupkan sekelompok orang. Dengan menekankan segi ini Yohanes menunjukkan bahwa Roh itu tidaklah dapat disetir oleh ambisi-ambisi perorangan atau dibangga-banggakan sebagai bahan kesaksian sekalipun. Malah bisa dikatakan bila unsur ini tampil, orang boleh mempertanyakan apa di situ betul hadir Penolong yang dijanjikan Yesus tadi. Penolong, sang Parakleetos itu, datang di tengah-tengah himpunan orang-orang yang mau percaya – di tengah-tengah ekklesia – kumpulan orang yang terpanggil bersama itu. Tentang kedatangannya masih akan kita dalami nanti pada hari raya Pentakosta. Kini cukup bila kita pahami bahwa kehadirannya itu pertama-tama kehadiran di tengah-tengah kumpulan orang beriman, bukan terutama di dalam diri masing-masing.
CATATAN MENGENAI Yoh 15-17
Akhir ayat 29 yang dibacakan hari ini menyebutkan “…marilah kita pergi dari sini.” Dengan ini dikatakan bahwa pertemuan dalam perjamuan terakhir itu telah selesai. Yesus dan murid-murid memasuki tahapan lain. Namun demikian, setelah menyebutkan akhir perjamuan tadi, Yohanes masih menuliskan tiga bab lagi, yakni Yoh 15, 16 dan 17, sebelum mulai menceritakan penangkapan Yesus dan kisah sengsara. Hingga kini para ahli tafsir belum dapat menerangkan secara memuaskan apakah tiga bab itu termasuk kata-kata dalam perjamuan atau disampaikan dalam kesempatan lain. Akan lebih berguna bila kita memandang ketiga bab itu seperti apa adanya sambil mencari kaitan dengan hal-hal yang telah diutarakan dalam perjamuan terakhir (Yoh 13-14). Akan tampak beberapa pokok yang digarisbawahi dalam Yoh 15-17:
– Yesus itu pokok anggur yang benar (Yoh 15:1-8), artinya orang bisa hidup bersemi bila menjadi ranting-ranting hidup darinya. Bila terpotong darinya maka orang akan binasa. Ini memberi keterangan lebih lanjut apa arti percaya kepadanya yang telah diutarakan dalam Yoh 14:1-14 selama perjamuan.
– Tetap bersama pokok anggur yang benar ini dapat terwujud bila murid-murid saling mengasihi (Yoh 15:9-17), sebuah warisan rohani yang telah diberikannya dalam Yoh 13:34-35 yang telah diulas dalam tulisan sebelum ini. Inilah cara menghadapi kekuatan-kekuatan jahat dari dunia ini. Sekaligus ditegaskan cara terbaik mempersaksikan kebenaran ajaran Yesus (Yoh 15:18-26).
– Betul-betul akan datang Penolong yang menguatkan para murid (Yoh 16:1-15), juga bila orang merasa ditinggalkan sendirian (Yoh 16:16-33), satu pokok yang diutarakan dalam perjamuan terakhir yang dibacakan hari ini.
– Yesus berdoa agar Bapanya tetap melindungi murid-muridnya (Yoh 17). Mereka ini seperti halnya Yesus adalah orang-orang yang diutus mewartakan kehadiran Yang Ilahi di dunia yang dikungkung kekuatan-kekuatan jahat. Ini memberi arah rohani bagi semua pembicaraan dalam perjamuan terakhir.
Makin disimak makin kelihatan betapa besarnya kekayaan rohani yang termuat dalam ketiga bab ini. Dengan demikian Yoh 15-17 itu juga berperan seperti ringkasan Injil Yohanes yang sepatutnya didalami oleh mereka yang mau menyampaikan homili atas dasar Injilnya.
MINUM TEH BERSAMA OOM HANS
GUS: Oom Hans, ada catatan menyangkut uraian di atas?
HANS: [Tersenyum.] You’re my interpreter! Good or bad – that’s what you’re hired for.
GUS: Soalnya sih, Injil Oom itu rasanya makin misterius, makin mistik.
HANS: Itu tuh kan kata orang. Aku hanya cerita pengalaman, mengingat-ingat.
GUS: Kalau kita ngertinya sebagian-sebagian apa ya masih benar?
HANS: [Alisnya tiba-tiba berdiri.] Pilatus-lah yang mempertanyakan apa itu kebenaran di hadapan Sang Kebenaran sendiri (Yoh 18:38a). Bukan aku! Si Pilatus yang ragu-ragu terus itu akhirnya malah memilih perkara yang sebetulnya tidak dimauinya. Aku belajar dari pengalaman. Juga dari Ma Miryam. Pegang yang sudah kau punyai sekarang, ikuti langkah batinmu…!
GUS: Wah, wah, Oom ini makin gnostik nih! [Benar kata Luc: Oom Hans is at it again.]
HANS: Ehm! [Sambil nyruput teh kental panas bergula batu dan memandangi juadah panggang. Lalu menyulut pipa cangklongnya.] By the way, what did that Bishop of Hippo say in one of his sermons about my letter?
GUS: “Dilige et quod vis fac!”
Saya kutip kata-kata “Telateni dan jalankan apa yang kauinginkan!” dari Aurelius Augustinus, In epistolam Ioannis ad Parthos tractatus decem, VII, 8 yang diucapkannya dalam kotbahnya kepada umat di Hippo dan kepada para baptisan baru, pagi hari Sabtu Paskah th. 407. Sering kutipan itu sering ditampilkan kembali sebagai “Ama et fac quod vis!” Ketika saya sedang coba mengingat-ingat konteksnya, Oom Hans pergi menghilang naik andong gaib. Memang ia sukanya pergi datang begitu saja. Boleh jadi hanya bisa diikuti dengan langkah-langkah batin….
Salam hangat,
A. Gianto
=============
Kredit Foto: Teacher Comforting Victim Of Bullying In Playground,blog.prediss.com
0 comments:
Post a Comment