diambil dari welly wolly menowo25@gmail.com [unio-kas] <unio-kas@yahoogroups.com>
29 Desember 2015 jam 23.48
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
ilustrasi dari koleksi Blog Domus
CATATAN
PENDEK MGR I SUHARYO DARI SINODE TENTANG KELUARGA 2014
Konperensi
wali gereja Jerman membantu pasangan cerai yang menikah kembali melalui jalan2
yang bertanggungjawab secara teologis dan pastoral. Konperensi para uskup Jerman
mempunyai perhatian yang sangat besar tentang masalah ini.
Suadara
saudari yang merasa dipinggirkan oleh Gereja karena masalah perkawinan juga tak
kalah gencar menyampaikan pendapat-pendapat mereka. Misalnya: “perempuan katolik
berbicara.”
Suasana
sangat ramai dalam arti yang baik karena perhatian terhadap keluarga menjadi
sangat besar
Akhirnya
suasana yang pada awal agak tak nyaman itu; semua berakhir dengan sangat bagus;
jelas dari pernyataan akhir yang terdiri dari 94 pernyataan; dan semua diterima
dengan mayoritas mutlak di dalam pemungutan suara. Ada yg mutlaknya besar ada
yang hanya selisih satu tetapi semuanya akhirnya berakhir dengan gembira.
Pada
akhir sidang Paus mengatakan: semua dipublikasikan demi transparansi. Termasuk
pemungutan suaranya. Diumumkan semua.
Gereja
mendengarkan keluarga. Intinya: kalau Gereja mau berbicara tentang keluarga,
hendaknya membiarkan keluarga-keluarga itu berbicara. Janganlah pertama-tama
Uskup yang berbicara tentang keluarga. Seperti kemarin kita mulai dengan mendengarkan
sharing dari keluarga-keluarga. Saya merasa bahwa salah satu yang penting
adalah kesadaran diri manusia yang berubah. Jati diri manusia yang berubah. Seringkali
dirumuskan di dalam satu istilah “dari tradisi menuju opsi”. Jadi misalnya,
orangtua saya katolik, anaknya katolik. Tradisi. Sekarang cara berpikirnya bisa
berubah. Orangtua saya katolik – itu tradisi - saya memilih tidak katolik. Dari
tradisi menuju opsi. Tradisi-tradisi agung mulia dari jaman lampau itu
seringkali menjadi semakin luntur. Salah satu contoh saja. Masalah pasangan
hidup sejenis tidak boleh menggunakan kata perkawinan. Itu… pasangan hidup
sejenis itu bukan perkawinan. Pasangan hidup sejenis itu dilegalisir oleh
berbagai Negara yang menyebut dirinya maju. Dan legalisasi adopsi bagi keluarga…
eh… bagi pasangan-pasangan seperti ini. Silahkan membayangkan, itu legalisasi
oleh Negara. Rasa-rasanya di Indonesia menjadi sangat sulit kalau seperti itu,
tetapi di Eropa dan Amerika menjadi gejala yang sangat meluas.
Sementara
menurut penelitian yang dilakukan di seluruh dunia oleh panitia Sinode tahun
2014, pemahaman umat mengenai ajaran Gereja tentang perkawinan dan keluarga itu
sangat rendah. Itu semua survey. Jadi cita-cita Gereja amat tinggi mengenai
ajarannya, tetapi kenyataannya umat tidak banyak paham mengenai ajaran Gereja.
Gereja berangkat dari keadaan nyata keluarga-keluarga jaman ini yang semuanya
membutuhkan kerahiman Allah mulai dari yang paling menderita. Dengan kerahiman,
kemurahan hati Yesus Gereja harus mendampingi anak-anaknya yang paling lemah
yang terluka, yang kehilangan kasih, dengan memberi mereka itu kepercayaan dan
harapan. Kerahiman Allah tidak
bertentangan dengan keadilan, melainkan ungkapan sikap Allah terhadap orang
miskin. Sekarang ini mulai berkembang di paroki-paroki, sebelum komuni,
pengumuman ‘yang boleh menerima komuni adalah yang sudah dibaptis, sudah
menerima komuni I dan tidak mempunyai halangan’. Ini menyakitkan hati
orang-orang, saudara-saudari kita, yang sudah menanggung beban seperti kemarin
kita dengar itu, untuk masuk kembali ke dalam Gereja. Yang paling penting di
dalam bagian itu adalah bahwa Gereja Katolik mesti rela - terbuka untuk selalu
memberikan pendampingan dan menemani sampai yang bersangkutan, entah siapa itu,
dapat mempunyai suara hati yang jernih di hadapan Allah. Intinya adalah itu. Pendampingan
dan integrasi. Romo Purbo sudah berbicara mengenai motu proprio paus Fransiskus
yang baru yang berjudul mitis iudex Dominus Yesus dan mitis et miseri cors
Yesu. Ini adalah tindak lanjut dari
kesimpulan sidang luar biasa, sinode luar biasa tahun yang lalu. Salah satu
keputusannya adalah menyederhanakan proses anulasi. Jadi bukan menyatakan ‘menyederhanakan
proses perceraian’. Tidak. Salah itu. Gereja tidak pernah mengijinkan
perceraian. Tapi merampingkan proses anulasi. Anulasi dan perceraian itu lain.
Perceraian itu yang dulu resmi sekarang diceraikan. Anulasi itu membuktikan
bahwa perkawinan itu dulu tidak sah. Jadi tidak menceraikan. Istilah-istilah
mesti digunakan dengan baik.
Bapa
Paus Gereja kita ingin sungguh-sungguh membantu saudari saudara kita yang
mempunyai kesulitan besar di dalam hidup berkeluarga. Tidak mengesampingkan. Tidak
meminggirkan. Tetapi mengundang untuk e… tetap menjadi warga Gereja dan
pengikut Yesus Kristus.
Yang
pertama itu nomer 84. Pada catatan nomer 5. Orang-orang yang dibaptis. Menikah.
Bercerai. Dan menikah lagi secara sipil haruslah lebih diterima dalam komunitas
kristiani, dengan berbagai cara yang mungkin, dengan menghindarkan setiap
kemungkinan batu sandungan. Logika penerimaan. Ini kata penting. Logika penerimaan.
Bukan logika peminggiran. Bukan logika pengucilan. Logika penerimaan adalah
kunci pendampingan pastoral. Tidak hanya supaya mereka tahu bahwa mereka
termasuk Tubuh Kristus yaitu Gereja, tetapi juga agar mereka mempunyai
pengalaman yang menggembirakan. Dan ini langkah yang sangat berani. Partisipasi
mereka dapat dinyatakan dalam berbagai pelayanan gerejani. Oleh karena itu
perlu dipikirkan manakah bentuk-bentuk pengucilan peminggiran yang sekarang ini
terjadi dalam liturgy, pastoral, pendidikan, dan institusi dapat diatasi. Bagi komunitas
kristiani, memperhatikan saudari-saudara semacam itu bukanlah melemahkan iman
atau kesaksian atas indissolubilitas perkawinan. Sebaliknya Gereja mengungkapkan
kasih dalam perhatian ini. Pasangan yang sungguh-sungguh berusaha untuk
mempertahankan pernikahan yang pertama tetapi secara tidak adil ditinggalkan. Itu
ceritera lain. Dan mereka yang karena kesalahan mereka membuat hancur
perkawinan yang sah secara kanonik. Jadi dibedakan. Orang yang bercerai itu,
cerainya karena apa. Ada pula yang menikah lagi demi anak-anak dan
kadang-kadang menurut suara hati yakin bahwa perkawinan pertama yang tak dapat
diperbaiki sebenarnya tidak sah, tetapi tidak bisa dibuktikan secara administratif;
melalui pengadilan Gereja. Yakin secara
suara hati, tapi ndak bisa dibuktikan secara administratif. Ini ceritera lain
lagi.
Demikian
juga dikutip katekismus Gereja Katolik nomer 1375 yang mengatakan: “tanggungjawab
atas perbuatan dapat berkurang, malahan dapat dihapus sama sekali oleh
ketidakpahaman, ketidak sadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang
berlebihan, serta faktor psikis atau faktor sosial lain.
Yang
ketiga, proses pendampingan dan penegasan adalah mengarahkan orang-orang
beriman ini menyadari keadaan mereka di hadapan Tuhan. Jangan pernah dilupakan,
ini, pedoman pastoral keluarga yang dikeluarkan oleh Konferensi Wali Gereja
Indonesia. Ini isinya tidak kalah penting dari hasil sinode kemarin. Tidak kalah
penting. Ini juga ada buku bagus “Allah Penyayang Kehidupan”, mengenai
macam-macam hal. Jadi sebetulnya, Gereja kita, Konferensi Wali Gereja kita, Gereja
Indonesia sudah mempunyai dokumen-dokumen yang sangat bagus, adaptasi dari
macam-macam ajaran resmi Gereja.
Nah,
sekarang catatan saya. Ini pendapat saya, yah, pada nomer 6 dan nomer 7 lalu
nanti saya memberi kesimpulan singkat.
Yang
saya rasakan di dalam sinode itu adalah suatu tegangan. Saya tidak mengatakan
ketegangan. Ketegangan itu merusak. Tapi kalau tegangan itu lain. Kalau listrik
tidak ada tegangan tidak nyala. Tegangan antara dari satu pihak suara hati yang
disebut suara Allah sendiri dan aturan. Kita semua tahu ada orang yang sungguh
mau taat aturan. Aturannya begini ya begini. Tidak ada diskusi. Tidak ada
pembicaraan. Titik. Yang berbicara memakai suara hati itu tidak selalu harus
sampai ke titik, tetapi sekurang-kurangnya titik koma. Belum selesai. Masih harus
ada perjalanan maju lagi. Antara kerahiman Allah yang menjadi pusat perhatian
Paus Fransiskus dengan keadilan. Banyak yang menuntut keadilan. Banyak yang
menuntut kebenaran tetapi lupa pasangannya. Keadilan mesti dipasangkan dengan
kerahiman. Kebenaran mesti dipasangkan dengan pengampunan. Di dalam moralitas
kristiani. Tidak ada keadilan berdiri sendiri. Tidak ada kebenaran berdiri
sendiri. Ndak ada. Harus dipasangkan dengan pasangan-pasangannya. Dalam hal
adanya tegangan-tegangan ini, dikatakan dengan jelas – ini yang dikutip adalah
misericordiae vultus – yang apa namanya – wajah kerahiman Allah – berkaitan dengan
tahun kerahiman Allah, tahun suci kerahiman Allah, dikatakan begini, Gereja
menyerupakan sikapnya dengan sikap Yesus yang dengan kasih tanpa batas
memberikan Diri untuk semua tanpa kecuali.
Arahan
seperti ini sudah jelas dari kotbah paus Fransiskus pada pembukaan Sinode.
Meskipun kata-kata itu tidak ada pada injil yang dibacakan pada hari itu,
beliau mengatakan begini: “sabat adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk hari
Sabat”. Arahnya jelas. Secara simbolik tentu saja. Dan dalam sinode
berkali-kali dikatakan, paus mengajak peserta sinode untuk berbicara bersama
dengan keberanian rasuli. Keberanian rasuli. Kerendahan hati injili. Dan doa
yang tekun. Masih dikatakan lagi: Gereja itu bukan museum, tetapi sumber air
yang hidup. Jadi pengarahannya itu sangat jelas. Bahwa akan membutuhkan proses,
itu pastilah demikian.
Juga
dikatakan bahwa Gereja harus menjadi ibu yang lemah lembut. Sebagai ibu yang lemah
lembut sekaligus sebagai guru yang menjelaskan dengan jelas. Buahnya, kombinasi
antara guru dan ibu itu adalah kebijaksanaan dan kehati-hatian.
Kesimpulan
saya. Kesimpulan saya.
Sejauh
saya tangkap, sinode ini, meskipun mungkin isinya tidak baru tetapi
membangunkan Gereja, keluarga-keluarga untuk sungguh-sungguh,… e… menjadikan
keluarga ini pusat hidup beriman. Oleh karena itu menjadi sangat penting yang
namanya pembangunan keluarga. Bukan sekedar perkawinan tetapi pembangunan keluarga.
Bagaimana keluarga itu disiapkan. Bagaimana perkawinan itu disiapkan. Disebut dengan
teliti. Di dalam Gereja Katolik sudah tersebar luas kebiasaan kursus
perkawinan. Kita bertanya secara kritis. Kita puas apa enggak kalau persiapan
perkawinan itu disebut kursus. Kursus itu kan untuk memperoleh sertifikat. Mungkinkah
atau perlukah kita mengubah istilah itu sehingga cara berpikir kita mengenai
perkawinan berubah juga menjadi sesuai dengan yang diajarkan oleh Gereja. Kalo
sekedar kursus itu yang kemarin disebut ada joki, sertifikat, selesai. Yang namanya
persiapan pernikahan itu, bukan kursus, semestinya.
Catatan
kecil yang sederhana-sederhana itu. Istilah-istilah yang kita pakai itu dapat
mencerminkan sebenarnya sikap mental kita itu bagaimana. Saya sendiri yakin
bahwa kata kursus itu tidak cocok untuk persiapan perkawinan.
Yang
kedua adalah pendampingan. Khususnya bagi saudari-saudara kita yang hidup
keluarganya sulit atau masuk dalam keadaan yang tidak gampang. Dan secara
khusus lagi, selain yang miskin dan sebagainya itu … yang menurut ajaran atau hokum
Gereja berada dalam keadaan yang tidak normal. Itulah yang harus diberi
perhatian khusus. Jangan pernah ada pengucilan. Itu kalau saya bahasakan dengan
kata-kata saya sendiri: bagi keluarga-keluarga katolik seharusnya tidak ada
jalan buntu. Saya merumuskannya seperti itu, hasil dari sinode kemarin. hal-hal
yang sangat konkret, misalnya pasangan homo tidak akan pernah diakui oleh
Gereja. Jadi jangan pernah risau mengenai itu. Gereja tidak pernah mengakuinya
sebagai perkawinan, meskipun dilegalisir oleh Negara. Tidak akan pernah. Bahwa orang
homo diberi perhatian itu “iya”, tetapi hidup bersama mereka tentu tidak
diterima. Komuni bagi yang nikah lagi itu pasti nanti ceriteranya sendiri.
Kesimpulan
terakhir.
Bagi
saya yang paling penting entah tim pendamping keluarga, entah paroki, entah
keuskupan, entah siapa, tentu keadaannya berbeda-beda. Ujung barat Indonesia
dan ujung timur Indonesia mempunyai tradisi pernikahan yang berbeda-beda. Maka,
tidak ada pedoman yang berlaku umum, menurut saya. Selain pedoman ini. Tetapi pedoman
ini mesti diadaptasi di dalam konteks tradisi-budaya yang berbeda-beda. Oleh karena
itu pertanyaan yang musti kita jawab di dalam komunitas-komunitas yang
berbeda-beda saya rumuskan begini: “apa yang harus kita lakukan agar perkawinan
dan hidup berkeluarga Katolik sungguh menjadi jalan menuju kesempurnaan kasih
dan kepenuhan hidup kristiani”. Itu pertanyaan bagi kita semua, bagi kita
masing-masing. “apa yang harus kita lakukan agar perkawinan dan hidup
berkeluarga Katolik menjadi jalan menuju kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup
kristiani” ini kata kuncinya. Kesempurnaan kasih. Kepenuhan hidup kristiani.
0 comments:
Post a Comment