13 Februari 2012 03:52:20 Diperbarui: 25 Juni 2015
diedit menjadi beberapa paragrap dalam Blog Domus
Lelaki tua itu tampak terbaring
lemah di atas tempat tidurnya. Matanya berkaca-kaca ketika bekas koleganya
selama dia masih aktif bekerja dulu datang
menjenguknya. Melihat yang dijenguk menangis, sang penjenguk yang rata-rata
ibu-ibu pun ikut-ikutan menitikkan air mata. Tak pernah terbayang di benak
mereka, bahawa kepala sekolah mereka yang dulu begitu garang dan berwibawa di
depan anak buahnya, kini tengah terpuruk tertimpa stroke, tak lama setelah ia
tak lagi menjabat sebagai kepala sekolah. Sebutlah namanya Pak Badrun. Usianya
masih 60 tahun lebih sedikit. Beberapa tahun lalu, dia menjabat sebagai kepala
sekolah X. Ketika ada aturan pembatasan masa kerja kepala sekolah, beliau
termasuk yang terkena aturan ini. Ia pun kembali menjadi guru biasa. Kejadian
ini cukup membuatnya tertekan karena sebagai orang yang pernah berkuasa, ia tak
dapat dengan mudah memposisikan dirinya sebagai anak buah. Tak lama kemudian,
ia pun sakit-sakitan dan terakhir ini dia terkena stroke.
Berbeda dengan Pak Yono, yang juga
pensiunan. Setelah pensiun, beliau lebih sibuk mengurus tanamannya. Selain itu,
dia juga disibukkan dengan kegiatan mengantar-jemput cucunya yang masih TK di
sekolah. Setelah pensiun, hidupnya menjadi terasa lebih hidup, lebih ceria, dan
lebih berwarna.
Yups, inilah dua kondisi yang
seringkali dialami oleh pensiunan. Satu dapat menerima dan menikmatinya dengan
lapang dada, sedangkan yang satu lagi belum dapat menerima bahwa dirinya sudah
tak lagi memiliki kekuasaan seeperti dulu. Hal yang kedua ini disebut sebagai
post power syndrome, sindroma setelah kekuasaannya berakhir. Sebenarnya tak
hanya pada bekas orang yang memiliki kekuasaan saja, tetapi sindroma ini juga
bisa menimpa orang-orang yang pernah berjaya pada masa lalu, misalnya pada
bintang cilik yang cemerlang pada zamannya tetapi ketika dewasa tidak lagi
dikenal, atau pada artis yang pernah begitu laris pada ketika mudanya tetapi
tak lagi dapat job saat usia telah beranjak tua. Semua orang bisa berpotensi
terkena post power sindrome. Banyak orang yang terkena post power syndrome ini
setelah masa kejayaannya berakhir. Gejala paling sederhana, adalah ketika dia
lebih suka bercerita mengenang masa lalunya yang penuh kejayaan daripada
menghadapi hari-hari yang tengah dihadapinya. Atau, justru ia menjadi orang
yang sedemikian menutup diri dari lingkungannya karena merasa ia tak lagi
memiliki kekuasaan sehingga orang lain tak mau menghargai dirinya. Ia menjadi
orang yang pemurung dan mudah tersinggung, juga selalu menganggap negatif semua
hal yang terjadi di sekitarnya. Secara fisik, orang yang menderita post power
syndrome akan tampak kuyu, lemah, mudah sakit-sakitan, dan terlihat lebih tua
daripada usia yang sebenarnya. Tak jarang banyak yang akhirnya terserang
penyakit stroke dan komplikasi. Penyakin-penyakit ini memang merupakan penyakit
fisik, tetapi tak dapat kita pungkiri bahwa beban pikiran bisa menjadi
pemicunya.
Bagaimana Cara Menghadapi Post Power
Syndrome? Post Power Syndrome tak akan menghinggapi kita jika kita menganggap
kekuasaan yang sedang kita pegang ini hanyalah sementara. Jika hanya sementara,
maka kita tak akan mengejar kekuasaan itu dan bahkan menyalahgunakan kekuasaan
itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Selain itu, saat kita sedang berjaya,
kita mestilah menyediakan rencana cadangan jika tak lagi memiliki jabatan.
Paling tidak, kita memiliki rencana tentang apa yang akan kita lakukan jika
masa kekuasaan itu berakhir. Untuk yang purnatugas bisa merencanakan kegiatan
hariannya. Tetap bergaul seperti biasa. Bergaul merupakan salah satu ciri kita
sebagai makhluk sosial. Kalau kita mengasingkan diri, tentu kehidupan kita akan
terasa suram. Beberapa orang mungkin akan berubah sikap ketika kita tak lagi
punya kekuasaan. Tetapi yakinlah, akan banyak orang yang lebih menghargai kita
ketika kita mampu untuk tetap bersosialisasi. Bahkan, akhirnya kita tahu mana
orang yang tulus, mana orang yang tak tulus terhadap kita. Melakukan kegiatan bermanfaat
yang dulu tak bisa sering kita lakukan. Tanpa kekuasaan, mungkin kita akan
memiliki pemasukan yang lebih sedikit. Namun, tanpa kekuasaan, kita jadi punya
lebih banyak waktu luang. Jika dulu kita tak sempat untuk sekadar
berhandai-handai dengan tetangga atau keluarga, sekarang waktu yang terluang
lebih banyak sehingga kita bisa melakukan apa yang dulu tak kita lakukan.
Menghadapi semuanya dengan sudut pandang positif sangatlah penting. Dengan
demikian, kita terhindar dari sikap berburuk sangka yang justru bisa merusak mood
kita. Kita pun tetap bahagia dengan apa yang kita punya sekarang. ***
Kekuasaan bukanlah segalanya.
Berakhirnya kekuasaan juga bukan akhir segalanya. Banyak orang yang tak bisa
mengatasi post power syndrome, tetapi banyak pula yang cerdas menghadapinya
sehingga hidupnya menjadi lebih baik meskipun tak lagi berjaya. Semuanya
tergantung pada caranya menghadapi kenyataan. Selamat siang. Tulisan ini
terinspirasi oleh kematian Withney Houston, penyanyi legendaris yang begitu
berjaya ketika zaman keemasannya hampir dua puluh tahun lalu, tetapi harus
menyerah pada takdir karena gaya hidupnya yang tak sehat dengan rokok dan
narkoba.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diankhristiyanti/cerdas-menghadapi-post-power-syndrome_550de7b0a33311b72dba7d7a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diankhristiyanti/cerdas-menghadapi-post-power-syndrome_550de7b0a33311b72dba7d7a
0 comments:
Post a Comment