Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, December 27, 2016

Jumpa Sesudah 45 Tahun


Pak Sungkono, Pak Giyata dan Pak Budi memang mengadakan pertemuan paling tidak 2 kali. Tetapi untuk mengkoordinasi semua yang hadir dalam pertemuan itu hanya mengandalkan WAG (WhatsApp Group) BCA-MERTO-70. Ini adalah kelompok para mantan seminaris yang masuk Seminari Menengah Mertoyudan tahun 1970. Mereka adalah para lulusan SMTA: SPG, STM dan SMA. Dari dialog lewat WA beberapa lama, disepakatilah pertemuan REUNI pada tanggal 26 Desember 2016 bertempat di Wisma Domus Pacis Puren. Rm. Bambang mendapatkan posisi mengurus akomodasi dan komsumsi. Dalam kerjanya dia di"backup" oleh pasangan Mas Handoko-Bu Sri, Bu Rini, Bu Tatik Santo, Bu Mardanu dan karyawan Domus (kebetulan yang piket pada waktu itu adalah keluarga Mbak Tari-Mas Heru). Dari dialog WA diketemukan proses acara reuni: 1) Omong-omong kangen-kangenan sambil menikmati minum dan snak; 2) Misa; 3) Makan malam; 4) Omong-omong gelar gagasan. Adapun yang hadir dalam reuni ini:
  1. Bapak dan ibu Budi Santosa bersama anak dan cucu (6 orang): Yogyakarta
  2. Bapak dan ibu Taruna Sayoga bersama anak (3 orang):Ungaran
  3. Bapak Giyata (1 orang): Yogyakarta
  4. Bapak dan ibu Sungkono bersama anak (4 orang): Yogyakarta
  5. Bapak Djokopranowo (1 orang): Depok, Jawa barat
  6. Bapak dan ibu Siswata bersama anak (3 orang): Lampung
  7. Rm. Suhendra Riberu (1 orang): Menado
  8. Rm. Giarta bersama saudara (3 orang): Salatiga
  9. Rm. Padma Wardaya (1 orang): Sukorejo
  10. Rm. Supriyanta (1 orang): Magelang
  11. Rm. Tri Hartono (1 orang): Domus Pacis, Yogyakarta
  12. Rm. Bambang Sutrisno (1 orang): Domus Pacis, Yogyakarta.
1. Kangen-kangenan

Pak Djoko adalah sosok yang datang pertama kali. Sesudah omong-omong dengan Rm. Bambang pada sekitar jam 13.30 dia masuk kamar Rm. Tri Hartono. Ketika jam menunjuk angka 15.00 lebih, Rm. Padmo Wardaya, SY datang. Sementara sedang berbicara sana sini dengan Rm. Bambang, datanglah Pak Djoko. "Sapa kuwi?" (Siapa itu?) tanya Rm. Padmo kepada Rm. Bambang sambil mengarahkan mata ke Pak Joko. Rm. Bambang malah bertanya kepada Pak Djoko "Iki sapa?" (Siapa ini) sambil menunjuk ke Rm. Padmo. Rm. Padmo dan Pak Djoko berkerut-kerut dahinya dan si rama berkata "Wah wis lali ya? Lha wis patang puluh lima taun pisah" (Wah, kita sudah saling lupa, ya? Soalnya sudah berpisah selama 45 tahun). Suasana saling lupa ternyata cukup banyak terjadi di antara kebanyakan dari 11 orang yang dulu pernah menjadi teman sekelas sebagai calon imam di Seminari Menengah Mertoyudan pada tahun 1970. Tetapi sesudah saling ingat, sambil minum dan menikmati snak mereka saling diingatkan peristiwa-peristiwa lucu dan menggelikan kala 45 tahun lalu. "Ana pesan neng WA. Siswata mangkat seka Bandung jam lima. Pesawate ditunda" (Ana pesan di WA. Siswata bari akan berangkat jam 5 sore dari Bandung karena pesawat kena tunda) kata Pak Giyata.

2. Misa Penuh Syukur

Pada jam 17.00 Pak Giyata mengajak teman-teman dan keluarganya masuk ruang pertemuan. Rm. Hendra sudah siap untuk memimpin misa. Pak Giyata menjadi lektor, Bu Sungkono memimpin nyanyi dengan buku Madah Bakti yang dipinjamkan oleh Mas Handoko dari Paroki Pringwulung. Rm. Bambang mengiringi nyanyian dengan keyboard. Rm. Harto juga ikut menjadi peserta misa. Misa berlangsung hingga jam 19.15. Meskipun memakan 2 jam 15 menit, suasana terasa at home karena sharing kisah kondisi kini dan atau sekilas perjalanan selama 45 tahun dari masing-masing masing-masing mantan seminaris. Ketika sampai giliran Rm. Tri Hartono, beliau memberi kode dengan tangan bahwa dia dilewati saja. Tetapi ada yang berkata "Bambang wae sing nyritakake" (Yang memberi ceritera Rm. Bambang saja), sehingga Rm. Bambang berceritera sedikit latar belakang kondisi Rm. Tri Hartono namun juga sekilas perjalanan imamatnya. Dengan sharing-sharing 11 orang ini, keluarga yang ikut mendengar juga tampak ikut tersentuh lubuk hatinya. Sharing ini terjadi pada bagian homili. Di sini Pak Siswata dan keluarganya baru datang menjelang komuni. Dia mendapatkan kesempatan sharing dalam pertemuan terakhir sebelum omong-omong refleksif dimulai oleh Pak Taruno.

3. Makan Malam

Sesudah misa usai, semua menuju meja makan Domus Pacis yang di situ sudah tersedia berbagai menu untuk santap malam. Para relawan berjaga-jaga melayani dan berkesempatan ikut omong-omong baik dengan keluarga maupun mantan seminaris. Rm. Harto disuapi oleh Mbak Tari. Beberapa peserta reuni sambil makan juga berkesempatan mengunjungi Rm. Tri Wahyono di kamarnya. Suasana makan malam pun juga terisi dengan omong-omong akrab sambil sebentar-sebentar berkomentar enak atas santapan yang disediakan. Ternyata tambahan minuman jahe juga menghadirkan kenikmatan. Dalam kesempatan makan malam ini para relawan membagikan tas Domus Pacis yang berisi Kalender Domus 2017 dan buku yang berjudul Tarian Kehidupan. Kalau para rama mendapatkan 1 tas untuk satu rama, yang lain satu tas untuk satu keluarga. Karena harus sendiri mengendarai mobil, Rm. Supriyanto minta diri lebih dahulu ketika acara selanjutnya akan dimulai.

4. Omong-omong Akrab Refleksif

Dalam tahap ini, sesudah Pak Siswata menyampaikan sharing perjalanan hidupnya, Pak Taruna tampil di depan untuk memandu pembicaraan. Di sini Rm. Tri Hartono sudah diantar dengan kursi rodanya kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Rm. Harto malah ikut hadir mendengarkan pembicaraan. "Dari buku Tarian Kehidupan yang dibagikan, saya kira baik kalau kita melihat diri kita saat ini berada dalam babak berapa" kata-kata Pak Taruna membuka pembicaraan. Ternyata beliau memanfaatkan buku itu untuk omong-omong refleksif. Pak Taruna mengajak membuka hal 3 yang memuat daftar isi. Dari daftar isi ada gambaran bahwa hidup ini terdiri dari 9 babak: 1) Mengatur Kompas; 2) Mengusir Kegelapan; 3) Bertumbuh Melalui Kecemasan; 4) Memeluk Kesepian; 5) Halang-rintang Emosional; 6) Disorientasi Spiritual; 7) Mengintegrasikan Diri; 8) Bersahabat dengan Kematian; 9) Tiba di Rumah. Para mantan seminaris, yang sudah berusia 60an tahun, pada umumnya sudah mencicipi bersahabat dengan kematian. Tetapi realita yang dihadapi baik dalam karya maupun aktivitas pelayanan ada dinamika dengan babak-babak lain sebelumnya. Pembicaraan ini sungguh menghadirkan perluasan cakrawala pengalaman. "Selain pengalaman dari mantan seminaris dan imam, bagaimana pengalaman ibu-ibu dan anak-anak berkaitan dengan pasangan atau ayahnya?" kata-kata Pak Taruna juga membuka pengalaman para ibu dan anak-anak yang ikut hadir. Ternyata satu hal yang biasa dirasakan adalah "Para mantan seminaris lebih-lebih yang pernah menghayati imamat adalah orang yang SUDAH TERBENTUK" sehingga kerap terasa agak kaku. Ternyata cap "kaku" ini ditanggapi oleh dengan tertawa penuh pengakuan "Ha ha ha ...." Memang dua ibu mengatakan "Saya memahami" dan "Itu memang manusiawi". Omong-omong ini ditutup ketika jam menunjukkan angka 21.15 karena Rm. Hendra harus segera diantar ke Stasiun Tugu untuk berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam.

0 comments:

Post a Comment