Perkembangan masyarakat telah mengubah realita hidup
keluarga. Ketika orang hidup di alam masyarakat agraris yang disebut keluarga
adalah ikatan darah dalam berbagai jenjang sehingga basis hidup ada dalam keluarga besar (extended
family). Bahkan masyarakat satu kampung juga
menjadi semacam keluarga riil karena secara nyata terikat dalam kebersamaan
hidup bertetangga. Orang akan mengalami kesejahteraan apabila menghayati
semboyan mangan ora mangan waton kumpul
(makan atau tidak makan, yang penting ikut kumpulan). Dengan setia berkumpul
kebutuhan orang akan dijamin oleh kebersamaan baik dari kampung maupun dari
sanak saudara seikatan darah. Dalam masyarakat seperti ini kaum lanjut usia akan mendapatkan status terhormat dan terawat dari
sanak kerabat.
Lukisan masyarakat agraris itu kini menjadi hal langka. Masyarakat era global membuat suasana masing-masing
orang memiliki dunia sendiri sesuai dengan jaringan hidupnya. Orang dituntut
mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Berkaitan dengan kehidupan lanjut
usia, pada masa kini orang harus berpikir lain. Untuk usaha menemukan pola
hidup lanjut usia, barangkali baik kalau renungan Anne Avanti dipertimbangkan:
Terkadang
kita tidak memikirkan bagaimana masa tua kita.
Di saat
produktif kita bekerja mati-matian, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala.
Setelah
memasuki paripurna, kita lupa bahwa semua akan berlalu seiring waktu.
Raga
yang tak lagi kuat, tulang yang mulai rapuh, mata yang merangkak rabun, dan
ingatan
yang melepuh,
Menjadi
perjalanan waktu yang akan kita alami semuanya tanpa kecuali.
Ketika
masa tua dengan angpau di tangan, maka anak, cucu, menantu, dan buyut pasti
akan merapat mengitari hangat.
Tapi
kalau “amplop merah” pun tak punya, pasti dingin itu menusuk sampai tulang
belulang...
Semua
ini nyata, bukan fatamorgana.
Orang
tua “tanpa amplop merah”, “tanpa warisan” dan hanya menyisakan sakit
Karena
kerja banting tulang di masa muda
Untuk
membesarkan anak-anak
Menjadi
pemandangan yang tak lekang dimakan waktu.
Terlalu
“spekulasi bisnis” di masa produktif, semua dipertaruhkan hanya untuk fokus
pada pekerjaan.
Karir
terus dikejar sampai pada akhirnya di saat usia menjemput waktu,
Semua
yang kita pertaruhkan habis...
Hidup
menjadi “benalu anak”, “korban perasaan” sampai ajal menjemput.
Ya kalau
mendapat berkat anak berhati “malaikat”, kalau tidak?
Anak
yang kita timang dulu menjadi anak yang “lupa ingatan”,
Anak
yang kita perjuangkan dengan air mata darah, lupa...
Kita
harus punya uang sendiri untuk merawat hidup kita di masa tua,
Jangan
membayangkan anak akan “merawat” kita,
Membawa
kita ke dokter dan menebus resep obat kita.
Pikirkan
saja kalau kita akan masuk ke panti jompo
Yang
akan kita bayar sendiri dengan uang kita.
Hidup di
masa tua itu...
Bonus
kalau anak berbakti.
Mari
kita pikirkan masa tua dengan tetap berserah karena Tuhan sudah mengatur
semuanya.
Tetapi
sadar sedari dini, akan memberi hasil akhir...
Usia di
penghujung waktu lebih baik dibanding bergulir tanpa rencana yang menuntun
langkah
Yang
pada akhirnya digerogoti rasa “kecewa” sampai akhir hayat...
Berkah
Dalem.
Dari renungan itu tampaknya yang perlu diperhatikan oleh kaum lanjut
usia adalah:
- Harus punya uang sendiri untuk menanggung hidup.
- Kemungkinan tidak diurus oleh anak.
- Kemungkinan hidup di panti jompo.
Kemungkinan kenyataan masa lanjut usia pada zaman
sekarang barangkali dapat dikuatkan oleh beberapa cerita pengalaman sebagaimana
dipaparkan sebagai berikut.
Cerita 1
Pak Kardi adalah seorang pensiunan pejabat eselon 3
sebuah kementerian di Jakarta. Isterinya memiliki usaha pribadi menerima
pekerjaan jahitan baju wanita dan memiliki banyak langganan setia. Keluarga
Kardi tidak dikaruniai anak kandung, tetapi memiliki dua anak angkat masing-masing
seorang anak perempuan dari keluarga isteri dan seorang anak lelaki dari
keluarganya sendiri. Mereka tinggal di sebuah rumah besar berhalaman luas di
tepi jalan raya di sebuah wilayah cukup elit di ibu kota. Sesudah isterinya
meninggal, Pak Kardi memutuskan menjual rumahnya, membagi hasilnya kepada dua
anak angkat dan dirinya sendiri. Sebagian uang bagiannya dia belikan sebuah
rumah mungil di sebuah perumahan di wilayah pinggiran Jakarta. Hingga kini dia
menjalani kehidupan sendiri yang tenang ditemani seorang pembantu rumah tangga
pria.
Cerita 2
Bu Nina adalah seorang janda dengan tiga anak, dua lelaki
dan satu perempuan. Suaminya meninggal mendadak saat sedang berada di puncak
karirnya sebagai pemimpin cabang sebuah bank pemerintah di kota Bandung. Sebagai
ibu tunggal yang rajin mengikuti Misa harian akhirnya dia berhasil menghantar
ketiga anaknya menyelesaikan studi di perguruan tinggi, memperoleh pekerjaan
yang sesuai serta menemukan teman hidup, dengan menggunakan sebagian besar
harta peninggalan suaminya. Sesudah ketiga anaknya hidup mandiri, tinggallah
dia seorang diri ditemani pembantu di rumahnya yang besar di Jakarta,
satu-satunya harta tak bergerak peninggalan almarhum suami yang masih tersisa.
Beberapa kali dia mencoba tinggal bersama keluarga anak-anaknya secara
bergiliran berpindah dari anak yang satu ke yang lain, namun tidak pernah
merasakan kecocokan. Isteri anak pertamanya kebetulan sukses dalam karir serta
memiliki posisi jabatan dan penghasilan jauh melampaui penghasilan anak
lelakinya. Di rumah sikap menantu perempuannya itu menjadi dominan, suka
menguasai-mengatur termasuk dirinya, ibu mertua yang mestinya didengarkan dan dihormatinya.
Anak keduanya, perempuan, menikah dengan seorang lelaki Muslim, mengenakan hijab
serta rajin menjalankan ibadah lima waktu. Walaupun anak perempuan dan suaminya
menerimanya dengan sepenuh hati, namun Bu Nina sendiri merasa terasing dan
tidak nyaman berada di rumah yang sama sekali tidak berhiaskan salib serta
gambar dan patung Yesus maupun orang kudus, melainkan dipenuhi dengan kaligrafi
pada dinding setiap ruangannya. Hubungannya dengan anak ketiga menjadi kurang
mesra, sejak bungsu lelakinya itu memutuskan menikahi seorang perempuan Muslim
anak seorang saudagar kaya raya dan menjadi mualaf. Belum pernah dia bermalam
di kediaman keluarga anak bungsunya itu. Sekali dia berkunjung jagong bayi saat
menantunya melahirkan anak pertama mereka. Ketika beban keuangan yang harus
ditanggung untuk membayar pajak dan memelihara rumah yang besar di ibukota
dirasakannya terlalu berat baginya, akhirnya dia memutuskan menjual rumahnya
dan memberhentikan pembantunya. Sebagian uang hasil penjualan rumah dia
depositokan di bank, sebagian sisanya dia pakai untuk membayar biaya pondokan
pada salah satu kerabatnya. Kebetulan kerabatnya itu memiliki usaha pemondokan
di sebuah kawasan di Jakarta. Jadilah dia, mantan isteri pimpinan cabang sebuah
bank besar pemerintah, mondok menempati satu kamar di sebuah indekosan
bertetangga kamar dengan sekitar 50-an karyawati dan mahasiswi yang super
sibuk.
Cerita 3
Seorang pria lima puluhan tahun beranak dua sedang berada
di puncak karir menjadi direktur utama di perusahaan tambang yang berkantor
pusat di Jakarta. Di keluarganya dia merupakan anak kedua dari sembilan
bersaudara. Pada suatu hari dia mengungkapkan gagasan kepada kakaknya, apakah
kira-kira kakak dan adik-adiknya setuju dan memberi dukungan seandainya dia
akan membeli tanah yang cukup luas, lalu di atas tanah itu dia akan membangun 9
pondok kecil, satu pondok untuk diri dan isterinya sedangkan delapan sisanya
masing-masing untuk satu kakak dan ketujuh adik bersama isteri atau suami
mereka. Alasan yang dikemukakannya, sebagai saudara sekandung mereka dulu
melewatkan masa kecil bersama-sama maka di usia senja tidakkah sebaiknya mereka
juga menghabiskan masa tua bersama-sama sampai kelak maut memisahkan mereka?
Kakak yang diajaknya bicara itu sangat mendukung gagasannya itu, dan berjanji
akan ikut membujuk adik-adik lainnya agar menerima gagasan yang sangat orisinil
itu. Konon, dengan kadar yang berlainan seluruh adik mendukung gagasan itu dan
berjanji akan memberikan kontribusi sesuai kemampuan mereka masing-masing untuk
mewujudkannya.
Dari renungan dan cerita-cerita pengalaman tersebut, ada
beberapa hal yang layak diperhitungkan oleh kaum lanjut usia dan siapapun yang
menuju lanjut usia:
- Hubungan dengan anak: Orang tua harus siap berpisah dengan anak. Dengan inspirasi dari firman Tuhan, anak yang sudah menikah akan meninggalkan orang tua (band Kej 2:24). Ketika masih belum dewasa anak memang kewajiban orang tua. Tetapi anak tidak memiliki kewajiban terhadap orang tua. Harta orang tua memang menjadi harta anak dengan adanya system pewarisan. Tetapi harta anak bukanlah harta orang tua. Memang, anak yang masih berbakti dapat disebut sebagai bonus bagi kehidupan orang tua. Tetapi anak yang tidak berbakti juga harus diterima sebagai anugerah panggilan bagi kesaksian iman orang tua. Sebenarnya sikap anak merupakan proses panjang dari kehidupan orang tua sejauh mana menjadi teladan hidup bagi anak.
- Hubungan dengan diri sendiri: Orang tua pada masa kini memang harus menghayati “revolusi mental”. Orang harus siap sendiri di usia tua dan lanjut usia. Dia harus siap menghayati ketidak nyamanan karena harus hidup di luar kebiasaan yang bertahun-tahun terjadi di rumah. Dalam masa tua dan lanjut usia orang ditantang untuk membangun masa tua sebagai masa emas. Dalam hal ini kaum tua dan lanjut usia memiliki kesempatan berbagi dengan berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama dan lingkungannya. Tentu saja orang harus menjaga kesegaran diri dengan hidup sesuai dengan perkembangan situasi hidup yang biasanya sudah masuk dalam kondisi rentan fisik.
- Hidup dalam komunitas kaum lanjut usia: Sebenarnya kehidupan panti jompo dimaksudkan menjadi fasilitas bagi kaum lanjut usia. Namun demikian hingga kini panti jompo tampaknya menjadi pilihan terakhir karena keterpaksaan sudah tidak ada kerabat yang mengurus. Dalam hal ini yang kiranya harus menjadi pertimbangan adalah amat pentingnya kaum lanjut usia hidup dalam KOMUNITAS LANJUT USIA. Komunitas ini akan memenuhi kebutuhan hidup kaum lanjut usia kalau tidak hanya sekedar menjadi arena berkumpul secara berkala dengan pola acara tertentu. Barangkali komunitas kecil, misalnya antara 5-10 orang lanjut usia, yang sungguh saling peduli dan berbagi hidup antar anggota sungguh dapat menjadi topangan hidup kaum lanjut usia. Para anggota dapat hidup di rumah sendiri-sendiri yang relatif saling berdekatan. Tetapi barangkali untuk zaman kini dapat pula hidup serumah misalnya dengan menyewa satu rumah atau di rumah salah satu anggota. Situasi dan kondisi anggota dapat bermacam-macam antara yang harus dibantu segalanya, yang dapat mengurus diri sendiri, dan yang masih dapat membantu yang lain entah dengan pikiran, tenaga ataupun harta. Dalam hal ini hubungan dengan anak, cucu atau sanak keluarga masing-masing menjadi kekayaan jaringan hubungan komunitas.
Itu semua barulah sebuah pemikiran. Bagaimana sebaiknya?
0 comments:
Post a Comment