Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, May 12, 2016

Kalau Lansia Merasa Berat Masuk Panti




Perkembangan masyarakat telah mengubah realita hidup keluarga. Ketika orang hidup di alam masyarakat agraris yang disebut keluarga adalah ikatan darah dalam berbagai jenjang sehingga basis hidup ada dalam keluarga besar (extended family). Bahkan masyarakat satu kampung juga menjadi semacam keluarga riil karena secara nyata terikat dalam kebersamaan hidup bertetangga. Orang akan mengalami kesejahteraan apabila menghayati semboyan mangan ora mangan waton kumpul (makan atau tidak makan, yang penting ikut kumpulan). Dengan setia berkumpul kebutuhan orang akan dijamin oleh kebersamaan baik dari kampung maupun dari sanak saudara seikatan darah. Dalam masyarakat seperti ini kaum lanjut usia akan mendapatkan status terhormat dan terawat dari sanak kerabat.

Lukisan masyarakat agraris itu kini menjadi hal langka. Masyarakat era global membuat suasana masing-masing orang memiliki dunia sendiri sesuai dengan jaringan hidupnya. Orang dituntut mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Berkaitan dengan kehidupan lanjut usia, pada masa kini orang harus berpikir lain. Untuk usaha menemukan pola hidup lanjut usia, barangkali baik kalau renungan Anne Avanti dipertimbangkan:

Terkadang kita tidak memikirkan bagaimana masa tua kita.
Di saat produktif kita bekerja mati-matian, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala.
Setelah memasuki paripurna, kita lupa bahwa semua akan berlalu seiring waktu.
Raga yang tak lagi kuat, tulang yang mulai rapuh, mata yang merangkak rabun, dan
ingatan yang melepuh,
Menjadi perjalanan waktu yang akan kita alami semuanya tanpa kecuali.

Ketika masa tua dengan angpau di tangan, maka anak, cucu, menantu, dan buyut pasti akan merapat mengitari hangat.
Tapi kalau “amplop merah” pun tak punya, pasti dingin itu menusuk sampai tulang belulang...
Semua ini nyata, bukan fatamorgana.
Orang tua “tanpa amplop merah”, “tanpa warisan” dan hanya menyisakan sakit
Karena kerja banting tulang di masa muda
Untuk membesarkan anak-anak
Menjadi pemandangan yang tak lekang dimakan waktu.

Terlalu “spekulasi bisnis” di masa produktif, semua dipertaruhkan hanya untuk fokus pada pekerjaan.
Karir terus dikejar sampai pada akhirnya di saat usia menjemput waktu,
Semua yang kita pertaruhkan habis...
Hidup menjadi “benalu anak”, “korban perasaan” sampai ajal menjemput.
Ya kalau mendapat berkat anak berhati “malaikat”, kalau tidak?
Anak yang kita timang dulu menjadi anak yang “lupa ingatan”,
Anak yang kita perjuangkan dengan air mata darah, lupa...

Kita harus punya uang sendiri untuk merawat hidup kita di masa tua,
Jangan membayangkan anak akan “merawat” kita,
Membawa kita ke dokter dan menebus resep obat kita.
Pikirkan saja kalau kita akan masuk ke panti jompo
Yang akan kita bayar sendiri dengan uang kita.

Hidup di masa tua itu...
Bonus kalau anak berbakti.
Mari kita pikirkan masa tua dengan tetap berserah karena Tuhan sudah mengatur semuanya.
Tetapi sadar sedari dini, akan memberi hasil akhir...
Usia di penghujung waktu lebih baik dibanding bergulir tanpa rencana yang menuntun langkah
Yang pada akhirnya digerogoti rasa “kecewa” sampai akhir hayat...

Berkah Dalem.

Dari renungan itu tampaknya yang perlu diperhatikan oleh kaum lanjut usia adalah:

  1. Harus punya uang sendiri untuk menanggung hidup.
  2. Kemungkinan tidak diurus oleh anak.
  3. Kemungkinan hidup di panti jompo.

Kemungkinan kenyataan masa lanjut usia pada zaman sekarang barangkali dapat dikuatkan oleh beberapa cerita pengalaman sebagaimana dipaparkan sebagai berikut.

Cerita 1
Pak Kardi adalah seorang pensiunan pejabat eselon 3 sebuah kementerian di Jakarta. Isterinya memiliki usaha pribadi menerima pekerjaan jahitan baju wanita dan memiliki banyak langganan setia. Keluarga Kardi tidak dikaruniai anak kandung, tetapi memiliki dua anak angkat masing-masing seorang anak perempuan dari keluarga isteri dan seorang anak lelaki dari keluarganya sendiri. Mereka tinggal di sebuah rumah besar berhalaman luas di tepi jalan raya di sebuah wilayah cukup elit di ibu kota. Sesudah isterinya meninggal, Pak Kardi memutuskan menjual rumahnya, membagi hasilnya kepada dua anak angkat dan dirinya sendiri. Sebagian uang bagiannya dia belikan sebuah rumah mungil di sebuah perumahan di wilayah pinggiran Jakarta. Hingga kini dia menjalani kehidupan sendiri yang tenang ditemani seorang pembantu rumah tangga pria.

Cerita 2
Bu Nina adalah seorang janda dengan tiga anak, dua lelaki dan satu perempuan. Suaminya meninggal mendadak saat sedang berada di puncak karirnya sebagai pemimpin cabang sebuah bank pemerintah di kota Bandung. Sebagai ibu tunggal yang rajin mengikuti Misa harian akhirnya dia berhasil menghantar ketiga anaknya menyelesaikan studi di perguruan tinggi, memperoleh pekerjaan yang sesuai serta menemukan teman hidup, dengan menggunakan sebagian besar harta peninggalan suaminya. Sesudah ketiga anaknya hidup mandiri, tinggallah dia seorang diri ditemani pembantu di rumahnya yang besar di Jakarta, satu-satunya harta tak bergerak peninggalan almarhum suami yang masih tersisa. Beberapa kali dia mencoba tinggal bersama keluarga anak-anaknya secara bergiliran berpindah dari anak yang satu ke yang lain, namun tidak pernah merasakan kecocokan. Isteri anak pertamanya kebetulan sukses dalam karir serta memiliki posisi jabatan dan penghasilan jauh melampaui penghasilan anak lelakinya. Di rumah sikap menantu perempuannya itu menjadi dominan, suka menguasai-mengatur termasuk dirinya, ibu mertua yang mestinya didengarkan dan dihormatinya. Anak keduanya, perempuan, menikah dengan seorang lelaki Muslim, mengenakan hijab serta rajin menjalankan ibadah lima waktu. Walaupun anak perempuan dan suaminya menerimanya dengan sepenuh hati, namun Bu Nina sendiri merasa terasing dan tidak nyaman berada di rumah yang sama sekali tidak berhiaskan salib serta gambar dan patung Yesus maupun orang kudus, melainkan dipenuhi dengan kaligrafi pada dinding setiap ruangannya. Hubungannya dengan anak ketiga menjadi kurang mesra, sejak bungsu lelakinya itu memutuskan menikahi seorang perempuan Muslim anak seorang saudagar kaya raya dan menjadi mualaf. Belum pernah dia bermalam di kediaman keluarga anak bungsunya itu. Sekali dia berkunjung jagong bayi saat menantunya melahirkan anak pertama mereka. Ketika beban keuangan yang harus ditanggung untuk membayar pajak dan memelihara rumah yang besar di ibukota dirasakannya terlalu berat baginya, akhirnya dia memutuskan menjual rumahnya dan memberhentikan pembantunya. Sebagian uang hasil penjualan rumah dia depositokan di bank, sebagian sisanya dia pakai untuk membayar biaya pondokan pada salah satu kerabatnya. Kebetulan kerabatnya itu memiliki usaha pemondokan di sebuah kawasan di Jakarta. Jadilah dia, mantan isteri pimpinan cabang sebuah bank besar pemerintah, mondok menempati satu kamar di sebuah indekosan bertetangga kamar dengan sekitar 50-an karyawati dan mahasiswi yang super sibuk.

Cerita 3
Seorang pria lima puluhan tahun beranak dua sedang berada di puncak karir menjadi direktur utama di perusahaan tambang yang berkantor pusat di Jakarta. Di keluarganya dia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. Pada suatu hari dia mengungkapkan gagasan kepada kakaknya, apakah kira-kira kakak dan adik-adiknya setuju dan memberi dukungan seandainya dia akan membeli tanah yang cukup luas, lalu di atas tanah itu dia akan membangun 9 pondok kecil, satu pondok untuk diri dan isterinya sedangkan delapan sisanya masing-masing untuk satu kakak dan ketujuh adik bersama isteri atau suami mereka. Alasan yang dikemukakannya, sebagai saudara sekandung mereka dulu melewatkan masa kecil bersama-sama maka di usia senja tidakkah sebaiknya mereka juga menghabiskan masa tua bersama-sama sampai kelak maut memisahkan mereka? Kakak yang diajaknya bicara itu sangat mendukung gagasannya itu, dan berjanji akan ikut membujuk adik-adik lainnya agar menerima gagasan yang sangat orisinil itu. Konon, dengan kadar yang berlainan seluruh adik mendukung gagasan itu dan berjanji akan memberikan kontribusi sesuai kemampuan mereka masing-masing untuk mewujudkannya.

Dari renungan dan cerita-cerita pengalaman tersebut, ada beberapa hal yang layak diperhitungkan oleh kaum lanjut usia dan siapapun yang menuju lanjut usia:

  1. Hubungan dengan anak: Orang tua harus siap berpisah dengan anak. Dengan inspirasi dari firman Tuhan, anak yang sudah menikah akan meninggalkan orang tua (band Kej 2:24). Ketika masih belum dewasa anak memang kewajiban orang tua. Tetapi anak tidak memiliki kewajiban terhadap orang tua. Harta orang tua memang menjadi harta anak dengan adanya system pewarisan. Tetapi harta anak bukanlah harta orang tua. Memang, anak yang masih berbakti dapat disebut sebagai bonus bagi kehidupan orang tua. Tetapi anak yang tidak berbakti juga harus diterima sebagai anugerah panggilan bagi kesaksian iman orang tua. Sebenarnya sikap anak merupakan proses panjang dari kehidupan orang tua sejauh mana menjadi teladan hidup bagi anak.
  2. Hubungan dengan diri sendiri: Orang tua pada masa kini memang harus menghayati “revolusi mental”. Orang harus siap sendiri di usia tua dan lanjut usia. Dia harus siap menghayati ketidak nyamanan karena harus hidup di luar kebiasaan yang bertahun-tahun terjadi di rumah. Dalam masa tua dan lanjut usia orang ditantang untuk membangun masa tua sebagai masa emas. Dalam hal ini kaum tua dan lanjut usia memiliki kesempatan berbagi dengan berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama dan lingkungannya. Tentu saja orang harus menjaga kesegaran diri dengan hidup sesuai dengan perkembangan situasi hidup yang biasanya sudah masuk dalam kondisi rentan fisik.
  3. Hidup dalam komunitas kaum lanjut usia: Sebenarnya kehidupan panti jompo dimaksudkan menjadi fasilitas bagi kaum lanjut usia. Namun demikian hingga kini panti jompo tampaknya menjadi pilihan terakhir karena keterpaksaan sudah tidak ada kerabat yang mengurus. Dalam hal ini yang kiranya harus menjadi pertimbangan adalah amat pentingnya kaum lanjut usia hidup dalam KOMUNITAS LANJUT USIA. Komunitas ini akan memenuhi kebutuhan hidup kaum lanjut usia kalau tidak hanya sekedar menjadi arena berkumpul secara berkala dengan pola acara tertentu. Barangkali komunitas kecil, misalnya antara 5-10 orang lanjut usia, yang sungguh saling peduli dan berbagi hidup antar anggota sungguh dapat menjadi topangan hidup kaum lanjut usia. Para anggota dapat hidup di rumah sendiri-sendiri yang relatif saling berdekatan. Tetapi barangkali untuk zaman kini dapat pula hidup serumah misalnya dengan menyewa satu rumah atau di rumah salah satu anggota. Situasi dan kondisi anggota dapat bermacam-macam antara yang harus dibantu segalanya, yang dapat mengurus diri sendiri, dan yang masih dapat membantu yang lain entah dengan pikiran, tenaga ataupun harta. Dalam hal ini hubungan dengan anak, cucu atau sanak keluarga masing-masing menjadi kekayaan jaringan hubungan komunitas.

Itu semua barulah sebuah pemikiran. Bagaimana sebaiknya?

0 comments:

Post a Comment