Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Saturday, July 16, 2016

PAUS YOHANES PAULUS II: SURAT KEPADA UMAT LANJUT USIA (5)




Penjaga-Penjaga Kenangan yang Dibagikan.

9. Di masa lampau sikap hormat yang mendalam disampaikan kepada para lanjut usia. “Sikap hormat yang besar sekali disampaikan kepada kepala yang beruban”, kata pujangga Latin Ovidius[13]. Beberapa abad sebelumnya, pujangga Yunani Phocylides telah mengingatkan: “Hormatilah rambut yang beruban: berilah kepada para lanjut usia tanda-tanda sikap hormat yang sama seperti tanda-tanda sama yang anda berikan kepada ayah anda sendiri”[14].

Lalu bagaimana sekarang ini? Kalau kita berhenti memikirkan situasi aktual sekarang, kita saksikan, bahwa di antara berbagai bangsa lanjut usia dihargai dan dinilai, sementara di bangsa-bangsa lain itu banyak kurang terjadi, karena mentalitas yang memprioritaskan kemanfaatan manusiawi langsung dan produktivitas. Seringkali sikap itu mengantar kepada sikap menghina terhadap tahun-tahun hidup yang lebih lanjut, sedangkan para lanjut usia sendiri terdorong untuk merasa heran: benarkah hidup mereka itu masih dianggap layak.

Malahan dicapai pandangan, seolah-olah eutanasia makin dikemukakan sebagai pemecahan situasi-situasi yang serba sukar. Sayang sekali, pada tahun-tahun yang resen ini gagasan akan eutanasia telah kehilangan bagi banyak orang perasaan takut, yang menurut naluri  bangkit pada mereka yang mempunyai citarasa sikap hormat akan hidup. Pasti dapat terjadi bahwa, bila penyakit parah membawa serta penderitaan yang tidak tertahan lagi, pasien tergoda untuk putus asa, dan para terkasih mereka atau mereka yang bertanggungjawab atas reksa mereka, merasa terdorong oleh belarasa yang tersesat untuk mempertimbangkan pemecahan “maut yang mudah” sebagai upaya yang masuk akal. Dalam hal itu perlu diperhatikan, bahwa hukum moral membiarkan penolakan terhadap “perlakuan medis yang agresif”[15], dan mewajibkan hanya bentuk-bentuk perlakuan, yang termasuk  kondisi-kondisi normal reksa medis, yang dalam keadaan sakit terminal terutama berusaha meringankan rasa sakit. Tetapi eutanasia, diartikan sebagai penyebab kematian yang langsung, perkara yang samasekali lain. Tanpa pandang maksud-maksud dan situasi-situasi, eutanasia selalu tindakan yang intrinsik jahat, pelanggaran terhadap hukum Allah dan tindakan yang benar-benar salah melawan martabat pribadi manusia[16].

10. Ada keperluan yang mendesak untuk memulihkan perspektif yang cermat-seksama akan hidup sebagai keseluruhan. Perspektif yang sungguh tepat ialah perspektif kekekalan; terhadap itulah hidup pada setiap tahap merupakan persiapan yang penuh arti. Usia lanjut pun harus memainkan peran yang sungguh sesuai dalam proses pematangan tahap demi tahap di sepanjang jalan menuju masa yang kekal abadi. Dan proses pematangan ini justru hanya menguntungkan masyarakat luas, termasuk di dalamnya manusia lanjut usia.

Para lanjut usia membantu kita memandang perkara-perkara manusiawi dengan kebijaksanaan yang lebih besar, sebab kenyataan-kenyataan hidup yang gilir berganti memberi mereka pengertian dan kematangan. Merekalah penjaga-penjaga kenangan kolektif kita, oleh karena itu para penafsir istimewa keseluruhan cita-cita dan nilai-nilai  bersama, yang mendukung dan memandu hidup dalam masyarakat. Menyingkirkan para lanjut usia dalam arti tertentu berarti mengingkari masa lampau, masa sekarang ini berurat-akar mendalam, atas nama modernitas tanpa kenangan. Justru karena pengalaman mereka matang, para lanjut usia mampu menyajikan kepada kaum muda nasehat dan bimbingan yang bernilai tinggi.

Mengindahkan semuanya itu, tanda-tanda kerapuhan manusiawi, yang jelas terkait dengan usia yang lebih maju menjadi seruan ke arah ketergantungan timbal-balik, dan solidaritas yang mutlak perlu; itulah yang menghubungkan berbagai generasi yang berlainan, sejauh tiap manusia memerlukan sesama dan menggali harta karun dari kurnia-kurnia dan karisma-karisma segalanya.

Di situlah refleksi-refleksi seorang pujangga yang saya sayangi sungguh cocok diterapkan: “Tidak hanya masa depan sajalah yang kekal-abadi, sungguh hanya masa depan! ….. Memang, masa lampau pun masa kekal-abadi: Tak sesuatu pun yang sudah terjadi dulu, akan kembali sekarang ini seperti ketika dulu itu ….. Hal itu akan kembali, tetapi sebagai Idea; itu tidak akan kembali sebagaimana dirinya sendiri”[17].

0 comments:

Post a Comment