Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Saturday, July 23, 2016

Sikap dalam Berdoa Luk.11:5-8

diambil dari http://www.grii-ngagel.org Ringkasan Khotbah - 25 Januari 2015
ilustrasi dari Koleksi Blog Domus

Oleh Ev. Bakti Anugrah

Ada 3 bagian dalam injil Lukas 11:1-13 ini: 1) isi doa (ayat 1-4); 2) sikap dalam doa (ayat 5-8); 3) jaminan jawaban doa (ayat 9-13). Kali ini kita hanya akan membahas bagian yang kedua, yaitu sikap di dalam berdoa. Oleh beberapa penafsir bagian ini disebut sebagai “Perumpamaan Sahabat di Tengah Malam.”

Tuhan Yesus berbicara dalam konteks pedesaan orang Yahudi. Di jaman itu keramahtamahan Timur Tengah adalah sesuatu yang menonjol yang menjadi semacam hukum yang tidak tertulis untuk melayani orang asing, khususnya mereka yang singgah di tengah perjalanan. Ini termasuk menyediakan akomodasi dan makanan bagi sang tamu. Jikalau mereka sampai gagal atau lalai melakukan hal ini maka akan ada semacam rasa malu, apalagi bila yang membutuhkan bantuan adalah seorang sahabat.

Mengapa sahabatnya mengunjungi orang itu pada tengah malam? Kondisi Palestina pada siang hari tentu saja sangat panas dan melelahkan jikalau mengadakan perjalanan sehingga ada kemungkinan sahabat orang ini memilih berangkat sore atau malam hari. Akibatnya ia terpaksa bermalam di rumah sahabatnya pada waktu yang tidak diduga-duga apabila ia kemalaman dan belum sampai ke kota tujuannya. Tentu saja jaman itu belum ada telpon, sms, bbm, dan sebagainya sehingga ia tidak bisa membuat janji terlebih dahulu untuk bermalam seperti di jaman sekarang. Jadi setiap orang bisa diganggu sewaktu-waktu.

Lalu karena tidak ada makanan ia meminjam tiga roti kepada tetangganya. Jaman itu roti sebagai makanan pokok mereka dibuat sendiri dengan tepung, ragi, dan sebagainya. Ini dilakukan oleh warga seluruh desa dan ada penafsir yang mengatakan bahwa biasanya mereka tahu rumah yang mana yang masih memiliki sisa roti sehingga tidak heran apabila tuan rumah ini bisa meminjam roti kepada tetangganya di tengah malam.

Kenapa meminjam roti? Karena dibuat setiap hari maka roti yang dipinjam malam hari dapat segera dikembalikan keesokan harinya. Inilah roti yang dibuat harian. Tidak heran dalam Doa Bapa Kami versi bahasa Inggrisnya mengatakan “...gives us today our daily bread...” (berikanlah kepada kami roti hari ini). Jumlah tiga roti adalah kebutuhan untuk sekali makan bagi satu orang sekali makan saja. Di jaman itu kalau seseorang menyambut tamu dan tidak bisa memberi makan adalah hal yang memalukan yang akan diketahui oleh seluruh desa.

Jaman itu belum ada listrik sehingga saat matahari terbenam maka semua orang akan beristirahat dan bangun pagi-pagi keesokan harinya. Ada penafsir yang mengatakan bahwa rumah di jaman itu seperti satu ruangan terbuka saja di mana di malam hari digelar tikar dan seisi keluarga beristirahat di situ. Kemungkinan ini adalah rumah keluarga yang tidak kaya. Maka itu apabila sang tamu mengetok pintu itu tengah di malam maka yang dibangunkan bukan hanya sang tuan rumah tetapi juga seisi keluarganya yang tidur bersama. Sedikit banyak dia juga akan membangunkan tetangga di kiri kanan yang rumahnya berdempetan dengan tuan rumah sehingga peristiwa ini akan diketahui banyak orang.

Pintu rumah mereka penguncinya adalah palang atau balok dari kayu atau besi yang diletakkan pada pengait di kedua belah daun pintu, sehingga sang tuan rumah harus bersusah payah untuk bangun dan mengangkat pengunci untuk melihat siapa tamunya.

Kita bisa membayangkan kehebohan yang ditimbulkan sang tamu pada rumah itu. Namun pertanyaan Tuhan Yesus, “masakan ia yang di dalam rumah itu akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepada saudara (?)” adalah sesuatu yang bersifat retoris, artinya ini tidak perlu dijawab. Siapapun dalam kebiasaan waktu itu, sekalipun tengah malam, akan bangun dan melayani tamunya. Tidak mungkin mereka akan mengabaikan tamu itu.

Andaikata permintaan ini ditolak maka pasti ada sangsi sosial karena penolakan itu sedikit banyak juga diketahui oleh tetangga di kiri kanan rumah itu. Memang yang mengetok pintu ini adalah sahabat sang tuan rumah sehingga kalaupun ditolak mestinya tidak apa-apa, namanya juga teman, jadi tidak akan terlalu masalah.

Namun frase berikutnya, ”namun karena sikapnya yang tidak malu itu,” menjadi alasan ia bangun dan memberikan roti itu. Bagian ini menimbulkan kesulitan dalam penafsiran. Di dalam bahasa aslinya frase ini dapat berlaku kepada dua belah pihak sehingga menimbulkan pertanyaan apakah yang tidak tahu malu itu yang meminjam roti atau sang tuan rumah yang tidak ingin malu (dengan tetangga kiri kanannya karena bisa dijuluki pelit)?

Kalau melihat dari konteks perikop ini memang terjemahan Indonesia sepertinya langsung menafsirkan bahwa yang tidak tahu malu adalah yang meminjam roti pada tengah malam. Namun berdasarkan konteks masyarakat pada waktu itu bisa juga diterjemahkan karena dia tidak ingin malu (si tuan rumah yang telah tidur). Apapun tafsirannya ini berkaitan dengan rasa malu dan karena alasan itulah maka permintaan itu dikabulkan. Ini adalah konteks hidup sehari-hari masyarakat Yahudi pada waktu itu sehingga dalam kasus yang diungkapkan Tuhan Yesus ini sahabat tengah malam itu pasti akan mendapatkan permintaannya.

Tuhan Yesus mau mengatakan bahwa jikalau kalian, orang Yahudi, sebagai manusia saja mengabulkan permohonan sahabatmu di tengah malam, apalagi Tuhan. Maka di sini kita diajarkan untuk berani berdoa dan meminta kepada Tuhan. Tentu saja ini berpatokan pada Doa Bapa Kami di mana kerajaan Allah dan kebenarannya harus diprioritaskan mendahului kebutuhan kita sendiri. Namun apapun kebutuhannya kita boleh meminta, bahkan sampai taraf tertentu mendesak Tuhan saking beratnya kebutuhan itu, baik itu kebutuhan jasmani maupun rohani. Doa-doa kita jangan-jangan kurang antusiasme dan keseriusan, artinya sikap kita masa bodoh entah Tuhan mau berikan ataupun tidak, sehingga cara kita berdoa pun angin-anginan, dikasih syukur, tidak juga tidak apa-apa. Doa yang cuma diucapkan secara rutin dan tanpa hati masakan mengharapkan jawaban?

Tentu saja Tuhan bukan menjawab doa kita karena kita mendesak Dia tetapi karena kehendak dan kedaulatan-Nya, akan tetapi cara kita meminta itu menyatakan iman kita dan kebergantungan kita kepada-Nya. Jeleknya adalah kita sungkan, tidak berani, atau bahkan tidak pernah lagi meminta. Lalu kita bilang, “Tuhan ya Tuhanlah, saya minta atau nggak tidak akan merubah apa-apa kok. Jadi buat apa minta?” Dulu saya dalam kemarahan saya kepada Tuhan sempat punya sikap seperti itu, apalagi setelah beberapa kali berdoa tidak dikabulkan oleh Tuhan.

Sewaktu kita ada kebutuhan mendesak kenapa sih kita tidak mau meminta kepada Tuhan? Kenapa sih kita malah marah-marah, kecewa, putus asa, dan sebagainya? Latihan bergantung kepada Tuhan itu seumur hidup. Jeleknya kita sudah merasa diri mampu menyelesaikan masalah sendiri. Kita cukup kuat sehingga kita tidak butuh Tuhan. Atau kita pikir kalaupun Tuhan ada maka Dia di sana dan terlalu tinggi untuk urus urusan tetek bengek kita. Kita perlu meminta karena Dia adalah Bapa kita.

Kalaupun sampai tidak dikabulkan Tuhan maka ayat 9-13 menjadi ayat kunci jaminan bahwa jawaban Tuhan akan lebih baik daripada apa yang kita minta. Jadi minta saja dan terima saja jawaban Tuhan, apapun jawaban-Nya. Apakah kita pernah mengalami jawaban doa dari Tuhan pada waktu kita terdesak? Jikalau kita belum pernah maka perkataan bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup adalah omong kosong dan orang tidak akan tertarik pada iman kita. Kadang Tuhan melatih kebergantungan kita kepada-Nya dengan memakai situasi-situasi tidak menyenangkan yang mendesak kita. Apakah pergumulan dan hal yang mendesak yang perlu kita minta pada saat ini? Mintalah dan jangan biarkan hal itu menjadi padam dan kita menjadi pasif.

Mintalah hikmat, buah Roh, jiwa-jiwa baru, pertumbuhan iman, dan semua hal lain yang menjadi kebutuhan kerajaan Tuhan maupun kebutuhan kita. Inilah hak istimewa kita yang harus kita pergunakan di hadapan Tuhan. (BA)

0 comments:

Post a Comment