Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Wednesday, November 4, 2015

NDHEREK GUSTI NGANTI MATI


Tema Ndhèrèk Gusti Nganti Mati (Beriman Sampai Mati) menjadi pembicaraan akhir dari pertemuan Novena Ekaristi Seminar 2015 di Domus Pacis. Ini terjadi pada Minggu 1 November 2015 dengan Rm. Bambang sebagai pembicara.

Landasan Rohani

Hidup ndhèrèk Gusti atau beriman adalah hidup dalam tuntunan Roh Kudus. Beriman adalah keterbukaan orang pada bimbingan Roh Kudus, sehingga orang mengalami proses pengudusan. Landasan beriman dapat dilihat dalam bacaan kutipan Injil Mat 5:1-12a pada Liturgi Hari Raya Semua Orang Kudus:
Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.  Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:  "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.  Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.  Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga,

Matrik di bawah ini diharapkan dapat membantu menyadari bagaimana orang dapat menghayati iman sampai di keabadian.
BAGI YANG
BERSIKAP
KARENA
Miskin
Berbahagialah
Di hadapan Allah, empunya Kerajaan Allah
Berdukacita
Berbahagialah
Akan dihibur
Lemah lembut
Berbahagialah
Akan memiliki bumi
Lapar dan haus
Berbahagialah
Akan dipuaskan
Murah hati
Berbahagialah
Akan beroleh kemurahan
Suci hati
Berbahagialah
Akan melihat Allah
Membawa damai
Berbahagialah
Akan disebut anak-anak Allah
Dicela, dianiaya, difitnah karena Kristus
Berbahagialah
Dulu juga dialami oleh nabi-nabi

Pegangan Sampai Mati

Berkaitan dengan kematian, orang yang beriman Kristiani selalu akan mengkaitkan dengan kehidupan abadi. “Warga Kristen yang menyatukan kematiannya dengan kematian Yesus, menganggap kematian sebagai pertemuan dengan Yesus dan sebagai langkah masuk ke dalam kehidupan abadi.” (Katekismus Gereja Katolik 1020) Karena kematian adalah langkah masuk berjumpa dengan Yesus dalam keabadian, maka baik di hidup di dunia fana maupun di keabadian yang paling pokok adalah kebersamaan dengan Tuhan Yesus Kristus. Yang membedakan adalah bahwa situasi dan kondisi dunia fana dapat dan bahkan mudah membuat kita berpaling atau bahkan melupakan kebersamaan dengan Tuhan Yesus. Ini terjadi kalau kita dikuasai oleh roh jahat yang menjelma dalam sikap-sikap:
·         Fedodalisme, yang membuat orang dikuasai oleh pemujaan akan status, jabatan, dan senioritas.
·         Ketidakadilan gender, yang membuat orang memberikan status tinggi pada jenis kelamin tertentu, yaitu patriarki bila yang ditinggikan bapak dan matriarki bila yang ditinggikan ibu.
·         Hedonisme, yang membuat orang terlalu menghargai hal-hal yang cocok dengan kemauan bahkan selera diri.
·         Konsumerisme, yang membuat orang tidak dapat puas dengan yang secara nyata sudah mencukupi sehingga menjadi serakah dan mencari kepuasan-kepuasan semu.
·         Tatanan yang tidak adil, yang membuat orang memanfaatkan posisi dalam struktur organisasi untuk kepentingan diri dan atau kelompok sehingga mengabaikan kebaikan umum.
·         Primordialisme, yang membuat orang tidak menghargai bahkan menegatifir kelompok-kelompok di luar kelompok atau golongan sendiri.

Kalau terbiasa hidup dalam paling tidak salah satu sikap di atas, orang akan sulit menghayati atau bahkan tidak memperhitungkan kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari. Sikap-sikap yang jadi hambatan beriman itu kerap tidak disadari menjadi penghayatan budaya. Itu semua menjadi akar dosa. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Santo Paulus “Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” (Rom 3:9-10)

Bercahaya Dalam Derita

Karena setiap orang memiliki habitus (sikap melekat yang jadi kebiasaan), maka ikut Tuhan Yesus menjadi sebuah perjuangan sehingga layaklah kalau Tuhan berkata “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:27) Sikap ini menjadi pegangan sampai mati, yaitu sampai pada “langkah masuk berjumpa dengan Yesus dalam keabadian”. Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa derita itu menjadi salib kalau membawa suasana ceria paling tidak bagi banyak orang. Salib adalah derita sebagai jalan mewartakan kabar suka cita. Ini menjadi penghayatan kasih sebagaimana kasih yang dijalani oleh Tuhan Yesus. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Ini adalah perintah Tuhan Yesus sebagaimana perintah yang diterima-Nya dari Bapa. Dan dalam Yesus ini menjadi sukacita sejati, karena Tuhan berkata “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” (Yoh 15:10-11) Sikap iman dapat kita lihat dalam contoh kegembiraan para martir yang justru menderita sengsara sampai wafat. Namun demikian untuk kehidupan sehari-hari, para pengikut Kristus juga mendapatkan teladan iman dari Beata Teresa dari Calcuta yang terkenal senyum lebarnya. Padahal dalam catatan-catatan pribadinya sebenarnya beliau selalu mengalami derita batin sampai wafatnya. Terhadap  berbagai derita baik jiwa maupun raga Beata Teresa mengatakan:
“Jagalah nyala pelita itu, yang telah disulut oleh Yesus dalam diri Anda dengan minyak kehidupan Anda. Nyeri di punggung Anda – kemiskinan yang Anda rasakan adalah tetes-tetes minyak untuk membuat pelita Yesus tetap bernyala untuk mematahkan mantra kegelapan dosa ke mana pun Anda pergi. Jangan berbuat apa pun yang akan menambah rasa nyeri – terima saja dengan senyum lebar betapapun sedikit yang Ia berikan dengan cinta-Nya yang besar.
…………………………………………………………………………………………………….………………………………………….
Penderitaan, kesakitan – kegagalan – tidak lain adalah sebuah ciuman dari Yesus, sebuah tanda bahwa engkau telah datang begitu dekat dengan Yesus di Kayu Salib sehingga Ia dapat menciummu. – Maka, anakku, berbahagialah … Jangan takut … tersenyumlah lagi … Bagimu ini sebuah kesempatan paling indah untuk menjadi milik Yesus secara penuh.” (Ibu Teresa Datang, dan Jadilah Cahaya-Ku, disunting dan dikomentari oleh Brian Kolodiejchuk, M.C., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009 hal 372 dan 380)  

Dengan begitu layaklah kalau Santo Paulus berkata “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia,” (Flp 1:29). Bagi kita kaum tua dan lansia, dari pengalaman selama delapan kali pertemuan Novena Ekaristi Seminar 2015 di Domus Pacis, barangkali ada pokok-pokok derita yang dapat menjadi jalan hubungan mesra dengan Tuhan Yesus Kristus yang dapat dijaga hingga perjumpaan langsung dari muka ke muka dengan-Nya. Kurnia-kurnia derita itu adalah:
·         Tidak sumèlèh (berserah diri) karena mudah marah, merasa dipinggirkan dan takut mati.
·         Kesendirian karena tidak dekat dengan anak cucu baik secara fisik maupun jiwani.
·         Pikiran dan perasaan yang tak nyata sehingga tak sadar mengalami post power syndrome.
·         Merasa tak dapat apa-apa dan sudah tak dapat mengembangkan diri walau punya hobi.
·         Harus waspada akan santapan karena rawan berbagai penyakit.
·         Berhadapan berbagai hal yang kimiawi sehingga harus berjuang membangun lingkungan yang alami.
·         Bingung tentang dunia orang mati.

0 comments:

Post a Comment