Tema Ndhèrèk Gusti Nganti Mati (Beriman Sampai Mati) menjadi pembicaraan akhir dari pertemuan Novena Ekaristi Seminar 2015 di Domus Pacis. Ini terjadi pada Minggu 1 November 2015 dengan Rm. Bambang sebagai pembicara.
Landasan
Rohani
Hidup ndhèrèk Gusti atau beriman adalah hidup
dalam tuntunan Roh Kudus. Beriman adalah keterbukaan orang pada bimbingan Roh
Kudus, sehingga orang mengalami proses pengudusan. Landasan beriman dapat dilihat
dalam bacaan kutipan Injil Mat 5:1-12a pada Liturgi Hari Raya Semua Orang
Kudus:
Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas
bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar
mereka, kata-Nya: "Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga. Berbahagialah orang yang
berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan
dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh
kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat
Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut
anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu
dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan
bergembiralah, karena upahmu besar di sorga,
Matrik di bawah
ini diharapkan dapat membantu menyadari bagaimana orang dapat menghayati iman
sampai di keabadian.
BAGI YANG
|
BERSIKAP
|
KARENA
|
Miskin
|
Berbahagialah
|
Di hadapan
Allah, empunya Kerajaan Allah
|
Berdukacita
|
Berbahagialah
|
Akan dihibur
|
Lemah lembut
|
Berbahagialah
|
Akan memiliki
bumi
|
Lapar dan
haus
|
Berbahagialah
|
Akan dipuaskan
|
Murah hati
|
Berbahagialah
|
Akan beroleh
kemurahan
|
Suci hati
|
Berbahagialah
|
Akan melihat
Allah
|
Membawa damai
|
Berbahagialah
|
Akan disebut
anak-anak Allah
|
Dicela,
dianiaya, difitnah karena Kristus
|
Berbahagialah
|
Dulu juga
dialami oleh nabi-nabi
|
Pegangan
Sampai Mati
Berkaitan
dengan kematian, orang yang beriman Kristiani selalu akan mengkaitkan dengan
kehidupan abadi. “Warga Kristen yang menyatukan
kematiannya dengan kematian Yesus, menganggap kematian sebagai pertemuan dengan
Yesus dan sebagai langkah masuk ke dalam kehidupan abadi.” (Katekismus Gereja Katolik 1020) Karena
kematian adalah langkah masuk berjumpa dengan Yesus dalam keabadian, maka baik
di hidup di dunia fana maupun di keabadian yang paling pokok adalah kebersamaan
dengan Tuhan Yesus Kristus. Yang membedakan adalah bahwa situasi dan kondisi
dunia fana dapat dan bahkan mudah membuat kita berpaling atau bahkan melupakan
kebersamaan dengan Tuhan Yesus. Ini terjadi kalau kita dikuasai oleh roh jahat
yang menjelma dalam sikap-sikap:
·
Fedodalisme, yang
membuat orang dikuasai oleh pemujaan akan status, jabatan, dan senioritas.
·
Ketidakadilan
gender, yang membuat orang memberikan status tinggi pada jenis
kelamin tertentu, yaitu patriarki bila
yang ditinggikan bapak dan matriarki bila yang ditinggikan ibu.
·
Hedonisme, yang
membuat orang terlalu menghargai hal-hal yang cocok dengan kemauan bahkan
selera diri.
·
Konsumerisme, yang
membuat orang tidak dapat puas dengan yang secara nyata sudah mencukupi
sehingga menjadi serakah dan mencari kepuasan-kepuasan semu.
·
Tatanan
yang tidak adil, yang membuat orang memanfaatkan posisi dalam struktur
organisasi untuk kepentingan diri dan atau kelompok sehingga mengabaikan
kebaikan umum.
·
Primordialisme, yang
membuat orang tidak menghargai bahkan menegatifir kelompok-kelompok di luar
kelompok atau golongan sendiri.
Kalau terbiasa
hidup dalam paling tidak salah satu sikap di atas, orang akan sulit menghayati
atau bahkan tidak memperhitungkan kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari. Sikap-sikap
yang jadi hambatan beriman itu kerap tidak disadari menjadi penghayatan budaya.
Itu semua menjadi akar dosa. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Santo Paulus
“Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab
di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka
semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: "Tidak ada yang
benar, seorangpun tidak.” (Rom 3:9-10)
Bercahaya Dalam Derita
Karena setiap
orang memiliki habitus (sikap melekat
yang jadi kebiasaan), maka ikut Tuhan Yesus menjadi sebuah perjuangan sehingga
layaklah kalau Tuhan berkata “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut
Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:27) Sikap ini menjadi pegangan
sampai mati, yaitu sampai pada “langkah
masuk berjumpa dengan Yesus dalam keabadian”. Satu hal yang harus dicatat
adalah bahwa derita itu menjadi salib kalau membawa suasana ceria paling tidak
bagi banyak orang. Salib adalah derita sebagai jalan mewartakan kabar suka
cita. Ini menjadi penghayatan kasih sebagaimana kasih yang dijalani oleh Tuhan
Yesus. “Tidak
ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya
untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Ini adalah perintah Tuhan Yesus
sebagaimana perintah yang diterima-Nya dari Bapa. Dan dalam Yesus ini menjadi
sukacita sejati, karena Tuhan berkata “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu
akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan
tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku
ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” (Yoh 15:10-11) Sikap iman dapat
kita lihat dalam contoh kegembiraan para martir yang justru menderita sengsara
sampai wafat. Namun demikian untuk kehidupan sehari-hari, para pengikut Kristus
juga mendapatkan teladan iman dari Beata Teresa dari Calcuta yang terkenal
senyum lebarnya. Padahal dalam catatan-catatan pribadinya sebenarnya beliau
selalu mengalami derita batin sampai wafatnya. Terhadap berbagai derita baik jiwa maupun raga Beata
Teresa mengatakan:
“Jagalah nyala pelita itu, yang telah disulut oleh Yesus
dalam diri Anda dengan minyak kehidupan Anda. Nyeri di punggung Anda –
kemiskinan yang Anda rasakan adalah tetes-tetes minyak untuk membuat pelita
Yesus tetap bernyala untuk mematahkan mantra kegelapan dosa ke mana pun Anda
pergi. Jangan berbuat apa pun yang akan menambah rasa nyeri – terima saja
dengan senyum lebar betapapun sedikit yang Ia berikan dengan cinta-Nya yang
besar.
…………………………………………………………………………………………………….………………………………………….
Penderitaan, kesakitan – kegagalan – tidak lain adalah
sebuah ciuman dari Yesus, sebuah tanda bahwa engkau telah datang begitu dekat
dengan Yesus di Kayu Salib sehingga Ia dapat menciummu. – Maka, anakku,
berbahagialah … Jangan takut … tersenyumlah lagi … Bagimu ini sebuah kesempatan
paling indah untuk menjadi milik Yesus secara penuh.” (Ibu Teresa Datang, dan Jadilah Cahaya-Ku, disunting dan dikomentari
oleh Brian Kolodiejchuk, M.C., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009 hal 372
dan 380)
Dengan begitu layaklah kalau Santo Paulus berkata “Sebab kepada
kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk
menderita untuk Dia,” (Flp 1:29). Bagi kita kaum tua dan lansia, dari
pengalaman selama delapan kali pertemuan Novena Ekaristi Seminar 2015 di Domus
Pacis, barangkali ada pokok-pokok derita yang dapat menjadi jalan hubungan
mesra dengan Tuhan Yesus Kristus yang dapat dijaga hingga perjumpaan langsung
dari muka ke muka dengan-Nya. Kurnia-kurnia derita itu adalah:
·
Tidak sumèlèh (berserah diri) karena mudah marah, merasa dipinggirkan dan
takut mati.
·
Kesendirian karena tidak dekat dengan
anak cucu baik secara fisik maupun jiwani.
·
Pikiran dan perasaan yang tak nyata
sehingga tak sadar mengalami post power
syndrome.
·
Merasa tak dapat apa-apa dan sudah tak
dapat mengembangkan diri walau punya hobi.
·
Harus waspada akan santapan karena
rawan berbagai penyakit.
·
Berhadapan berbagai hal yang kimiawi
sehingga harus berjuang membangun lingkungan yang alami.
·
Bingung tentang dunia orang mati.
0 comments:
Post a Comment