menjadi tua adalah fitrah manusia
Mungkin kita pernah melihat – entah secara pibadi atau melalui media
televisi – orang tua (berusia lanjut) yang tinggal sendiri, hanya
berteman dengan kucing-kucing piaraannya. Ada pula orang lansia yang
memilih untuk tinggal di sebuah panti jompo dibandingkan dengan tinggal
dengan anak-menantunya. Yang lain lagi, tidak tahu harus mengerjakan apa
setelah anak-anaknya berkeluarga. Hidup mereka yang mungkin sudah di
penghujung usia justru dipenuhi dengan kesunyian dari kehangatan
manusia, khususnya sanak saudara.
Di sisi lain, kita masih melihat
ada lansia yang tetap produktif di usia senja mereka, khususnya para
pendidik, dosen atau guru besar perguruan tinggi, ulama, konsultan. Ada
pula, pengurus panti asuhan dan yayasan lain yang tetap bersemangat
sekalipun telah di usia senja. Titiek Puspa di usia 70-an, Mooryati
Soedibyo di usia 80-an, semuanya masih produktif. Kegairahan mereka akan
hidup seolah-olah menyiratkan jiwa yang tidak pernah kosong, selalu
penuh terisi kehangatan dan semangat manusiawi.
Menjadi tua adalah fitrah manusia – setiap kita akan beranjak tua suka maupun tidak – akan tetapi
tidak banyak orang yang menyadari pentingnya mempersiapkan diri agar
tetap produktif dan sejahtera secara psikis di masa tua itu. Kebanyakan
orang tanpa sadar menjalani saja hidup ini, mengisinya dari hari ke
hari, dan tahu-tahu anak-anak mereka sudah harus meninggalkan rumah
untuk membentuk keluarga sendiri.
Pada saat itulah, muncul sebuah krisis
yang kadang kala tidak mudah dilalui.
Dalam khazanah Psikologi ada sebuah gangguan yang disebut dengan empty nest syndrome,
yang kian sering dijumpai dalam masyarakat kota yang modern. Fenomena
ini dulu tidak dijumpai, atau kalau pun ada jumlahnya sedikit, karena
kebanyakan orang pada satu marga atau keluarga besar tinggal berdekatan,
sehingga tidak sampai menimbulkan empty nest (sarang kosong).
Sekarang, seiring dengan banyaknya urbanisasi, migrasi ke daerah lain –
bahkan ke negara lain – karena bekerja maupun studi, dan jumlah anggota
keluarga juga lebih kecil, menyebabkan ikatan kekeluargaan hanya terjadi
pada unit-unit kecil. Selain alasan praktis tersebut, program KB
pemerintah yang berhasil juga turut mendorong turunnya tingkat kelahiran
anak.
Empty nest syndrome
biasanya terjadi ketika anak mulai meninggalkan rumah, yang sifatnya
permanen – dapat pekerjaan di kota lain, ikut suami mereka, dsb. Itulah
sebabnya, keluarga modern lebih cenderung mengalaminya, karena jumlah
anak yang sedikit. Sindroma ini lebih cenderung terjadi pada kaum
perempuan, karena biasanya tidak bekerja di luar rumah. Penelitian
menunjukkan bahwa, peluang terjadinya sindroma ini pada perempuan
bekerja lebih kecil. Gejala yang umum pada gangguan ini adalah perasaan
tertekan, kesedihan, sering menangis, sehingga sering menghabiskan waktu
di kamar yang dulu ditempati anak.
Secara umum, sindroma ini tidak
berlangsung lama, namun pengidap perlu memperhatikan apa yang terjadi
pada diri mereka sendiri. Ketika anak-anak pergi dari rumah, kesedihan
yang timbul merupakan kewajaran, tapi bila kondisi mental yang dialami berkepanjangan
individu yang mengalaminya harus memperoleh bantuan profesional.
Bagaimanapun, sebuah bantuan psikologi tidak akan berhasil tanpa
kesediaan orang yang mengalami masalah.
Selain diri sendiri, keluarga
adalah komponen terpenting yang menentukan bagaimana orang bisa
menghadapi masa tuanya secara bermakna. Anak-anak dan cucu-cucu yang
berada di sekeliling kakek-nenek, tumbuh dan jadi orang yang baik,
membuat lansia tersebut mensyukuri kehidupan. Lansia yang masih memiliki
pasangan, suami atau istri, juga berpeluang lebih baik dalam melalui
krisis di usia tua yang terjadi.
Menurut seorang ahli perkembangan, Erik H. Erikson, orang
lansia (lanjut usia) yang merasa bermakna, merasa telah memberikan
kontribusi pada kehidupan yang dilalui, akan menumbuhkan integritas,
harga diri, dan kebijaksanaan dalam dirinya, menerima luasnya dunia dan
lapang menatap kematian yang bisa datang setiap saat. Di sisi lain, ada
orang tua yang merasa belum banyak melakukan hal penting di masa lalu,
sehingga merasa telah menyia-nyiakan umur. Ada perasaan putus asa, tidak
berguna, dan kecenderungan lainnya adalah minta lebih banyak perhatian
dari orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Dari pemahaman ini kita lantas bisa
memahami bahwa, setelah semua anak-anaknya beranjak dewasa dan pergi
dari rumah, ada sebagian orang lanjut usia yang seolah tidak banyak
terpengaruh, tetap produktif, dan tetap menyenangkan. Akan tetapi, ada
pula lansia yang kemudian berubah seperti anak-anak, minta perhatian
berlebih, dan menjadi beban bagi orang lain (khususnya anak-anak
mereka). Dalam kondisi sakit pun, lansia dengan integritas tinggi akan
berusaha sekuat mungkin tidak menjadi beban bagi orang lain. Beda dengan
lansia yang mulai putus asa menghadapi usia tua, yang cenderung mudah
patah dan lebih suka diperhatikan dan dibantu.
Anak-anak yang telah dewasa
seharusnya memahami kesulitan yang dihadapi orang tua mereka yang
beranjak lanjut usia, dan seharusnya lebih arif dalam menyikapi kondisi
ini. Manusia adalah tempat lupa, dan sudah jamak terjadi anak-anak yang
mulai lupa pada keringat orang tua ketika mereka sudah sukses,
seolah-olah ibu-bapa mereka tidak berperan dalam membentuk kesuksesan
tersebut. Orang tua mungkin pernah berbuat kekeliruan di masa muda
mereka dan Allah telah banyak menegur mereka dengan berbagai kejadian
yang terjadi di sepanjang hidup mereka. Sebagai anak, bukan tugas kita
menambah beban mereka di masa tua.
Islam mengajarkan kita sesuatu, sebagaimana tersurat dalam QS Al Israa’ (23): Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia .
QS Al Ahqaaf (15): Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah . Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun
ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.
Islam mengajarkan tentang tugas
mulia seorang anak pada orang tuanya ketika mereka sudah beranjak tua,
karena pada gilirannya nanti kita lah yang menjadi tua dan menantikan
kasih sayang anak-anak kita – sebagaimana yang kita lakukan sekarang
pada ibu – bapak kita yang sudah lanjut usia.
0 comments:
Post a Comment