Kepada Saudara-Saudari saya yang
lanjut usia!
“Batas umur kami tujuh puluh tahun,
atau delapan puluh jika kuat.
Dan hampir seluruhnya susah dan
derita,
Dalam
sekejap mata kami lenyap”
(Mzm 90:10)
1. Tujuh puluh tahunlah lanjut usia
Penyair Mazmur, ketika menulis kata-kata itu, dan sedikit orang hidup melampaui
itu. Sekarang ini, berkat kemajuan medik serta kondisi-kondisi sosial dan
ekonomi yang makin diperbaiki, harapan akan hidup telah meningkat secara signifikan
di banyak kawasan dunia. Tetapi memang tetap benarlah: tahun-tahun cepat lewat,
dan kurnia hidup, kendati segala usaha dan penderitaan yang mencakupnya,
terlalu indah dan berharga bagi kita untuk kapan pun menjadi lelah karena itu.
Sebagai orang tua sendiri, saya
telah merasa rindu untuk bertemu-wicara dengan Anda. Itu saya jalankan terutama
dengan bersyukur terima kasih kepada Allah atas kurnia-kurnia dan
peluang-peluang, yang sampai sekarang ini telah melimpahkannya kepada saya.
Dalam ingatan saya, saya kenangkan tahap-tahap hidup saya, yang erat berkaitan
dengan sejarah sebagian besar abad ini, dan saya pandang di depan saya wajah
orang-orang yang tak terbilang jumlahnya, sedangkan sebagian secara istimewa
saya sayangi: mereka ingatkan saya akan kejadian-kejadian yang biasa saja dan
luarbiasa; akan saat-saat yang membahagiakan, dan akan situasi-situasi yang
disentuh oleh penderitaan. Meskipun begitu, terutama di atas segala lainnya
saya saksikan uluran tangan Allah Bapa penuh selenggara dan kerahiman, yang
“seterbaik mungkin memelihara segala sesuatu yang ada”[1],
dan “mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut
kehendak-Nya” (1Yoh 5:14). Bersama Pemazmur saya panjatkan kepada-Nya:
“Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku
memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib; juga sampai masa tuaku dan putih
rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan
kuasa-Mu kepada angkatan ini, keperkasaan-Mu kepada semua orang yang akan
datang” (Mzm 71:17-18).
Penuh kemesraan saya arahkan
gagasan-gagasan saya kepada Anda semua, saudara-saudari terkasih yang sudah
lanjut usia dari semua bahasa dan kebudayaan. Surat ini saya tulis kepada Anda
pada tahun ini, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa cocok sekali telah hendak
dibaktikan kepada para lanjut usia, untuk mengarahkan perhatian masyarakat
secara keseluruhan kepada situasi mereka semua yang, akibat beban tahun-tahun
mereka, sering harus menghadapi keragaman masalah-masalah yang sukar.
Perihal itu Dewan Kepausan untuk
Umat Awam telah menyajikan beberapa pokok yang bermanfaat untuk direnungkan[2].
Dalam Surat ini hendak saya ungkapkan melulu kedekatan rohani saya
terhadap Anda sebagai dia yang, sementara berlalunya tahun-tahun, telah mencapai
pengertian pribadi yang makin mendalam tentang tahap hidup itu, dan sebagai
konsekuensinya merasakan keperluan akan kontak yang lebih dekat dengan
kelompok-kelompok umat lain pada usia mereka sendiri, supaya kita dapat
merenungkan bersama hal-hal yang kita alami bersama. Semuanya itu saya anjungkan
di hadirat Allah, yang merangkul kita dengan Cintakasih-Nya, dan yang menopang
dan membimbing kita melalui Penyelenggaraan-Nya.
2. Saudara-saudari yang terkasih,
pada usia kami sudah sewajarnyalah mengkaji ulang masa lampau, untuk berusaha
mengadakan semacam penilaian. Pandangan masa silam itu memungkinkan evaluasi
yang lebih hening dan obyektif mengenai pribadi-pribadi maupun situasi-situasi
yang kita jumpai dalam perjalanan kita. Lewatnya masa membantu kita menyaksikan
pengalaman-pengalaman kita dalam terang yang lebih jelas dan melunakkan seginya
yang menyakitkan. Sayang sekali, perjuangan-perjuangan dan gangguan-gangguan
banyak sekali termasuk hidup siapa pun juga. Ada kalanya itu soal
masalah-masalah dan berbagai penderitaan, yang cukup pedih menguji daya-tahan
mental dan fisik kita, dan barangkali bahkan menggoyahkan iman kita. Tetapi
pengalaman mendengarkan, bahwa kesukaran-kesukaran harian, berkat rahmat Allah,
sering memberi sumbangan bagi pertumbuhan orang dan menempa watak-perangai
mereka.
Melampaui peristiwa-peristiwa
tersendiri, refleksi yang pertama muncul di hati ada hubungannya dengan
lalunya waktu yang tak terelakkan. “Waktu berlari tanpa diperbaiki”,
ungkap seorang penyair Latin zaman kuno[3].
Manusia tenggelam dalam waktu. Ia lahir, hidup dan meninggal dalam waktu.
Kelahiran menetapkan satu tanggal, tanggal pertama hidupnya, dan maut
menentukan tanggal lain, yakni yang terakhir: itulah “Alfa” dan “Omega”, yang
awal dan akhir riwayatnya di dunia. Tradisi Kristiani telah menggarisbawahi itu
dengan memahatkan dua huruf abjad Yunani itu pada batu-batu makam.
Tetapi kendati hidup kita
masing-masing dibatasi dan memang rapuh, kita dihibur oleh gagasan bahwa berkat
kekuatan jiwa-jiwa rohani kita, kita akan tetap hidup melampaui maut sendiri.
Lagi pula iman membuka hati kita bagi “harapan yang tidak mengecewakan” (bdk.
Rom 5: 5), sambil menaruh kita menghadapi perspektif kebangkitan yang
mutakhir. Bukan kebetulan bahwa Gereja, pada upacara meriah Sabtu Malam Paskah,
menggunakan kedua aksara Yunani itu juga untuk menunjukkan Kristus, yang hidup
kemarin, sekarang dan selama-nya. Dialah “awal dan akhir, Alfa dan Omega.
Seluruh waktu termasuk milik-Nya, begitu pula segala zaman”[4].
Pengalaman manusiawi, kendati mematuhi waktu, ditetapkan oleh Kristus terhadap
cakrawala ketidak-binasaan. Dia “menjadi manusia di tengah orang-orang, untuk
menghubungkan yang awal dan akhir, manusia dan Allah”[5].
0 comments:
Post a Comment