Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, June 23, 2016

PAUS YOHANES PAULUS II: SURAT KEPADA UMAT LANJUT USIA (1)



Kepada Saudara-Saudari saya yang lanjut usia!

“Batas umur kami tujuh puluh tahun,
atau delapan puluh jika kuat.
Dan hampir seluruhnya susah dan derita,
Dalam sekejap mata kami lenyap”
(Mzm 90:10)

1. Tujuh puluh tahunlah lanjut usia Penyair Mazmur, ketika menulis kata-kata itu, dan sedikit orang hidup melampaui itu. Sekarang ini, berkat kemajuan medik serta kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang makin diperbaiki, harapan akan hidup telah meningkat secara signifikan di banyak kawasan dunia. Tetapi memang tetap benarlah: tahun-tahun cepat lewat, dan kurnia hidup, kendati segala usaha dan penderitaan yang mencakupnya, terlalu indah dan berharga bagi kita untuk kapan pun menjadi lelah karena itu.
Sebagai orang tua sendiri, saya telah merasa rindu untuk bertemu-wicara dengan Anda. Itu saya jalankan terutama dengan bersyukur terima kasih kepada Allah atas kurnia-kurnia dan peluang-peluang, yang sampai sekarang ini telah melimpahkannya kepada saya. Dalam ingatan saya, saya kenangkan tahap-tahap hidup saya, yang erat berkaitan dengan sejarah sebagian besar abad ini, dan saya pandang di depan saya wajah orang-orang yang tak terbilang jumlahnya, sedangkan sebagian secara istimewa saya sayangi: mereka ingatkan saya akan kejadian-kejadian yang biasa saja dan luarbiasa; akan saat-saat yang membahagiakan, dan akan situasi-situasi yang disentuh oleh penderitaan. Meskipun begitu, terutama di atas segala lainnya saya saksikan uluran tangan Allah Bapa penuh selenggara dan kerahiman, yang “seterbaik mungkin memelihara segala sesuatu yang ada”[1], dan “mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya” (1Yoh 5:14). Bersama Pemazmur saya panjatkan kepada-Nya: “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib; juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan kuasa-Mu kepada angkatan ini, keperkasaan-Mu kepada semua orang yang akan datang” (Mzm 71:17-18).

Penuh kemesraan saya arahkan gagasan-gagasan saya kepada Anda semua, saudara-saudari terkasih yang sudah lanjut usia dari semua bahasa dan kebudayaan. Surat ini saya tulis kepada Anda pada tahun ini, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa cocok sekali telah hendak dibaktikan kepada para lanjut usia, untuk mengarahkan perhatian masyarakat secara keseluruhan kepada situasi mereka semua yang, akibat beban tahun-tahun mereka, sering harus menghadapi keragaman masalah-masalah yang sukar.

Perihal itu Dewan Kepausan untuk Umat Awam telah menyajikan beberapa pokok yang bermanfaat untuk direnungkan[2]. Dalam Surat ini hendak saya ungkapkan melulu kedekatan rohani saya  terhadap Anda sebagai dia yang, sementara berlalunya tahun-tahun, telah mencapai pengertian pribadi yang makin mendalam tentang tahap hidup itu, dan sebagai konsekuensinya merasakan keperluan akan kontak yang lebih dekat dengan kelompok-kelompok umat lain pada usia mereka sendiri, supaya kita dapat merenungkan bersama hal-hal yang kita alami bersama. Semuanya itu saya anjungkan di hadirat Allah, yang merangkul kita dengan Cintakasih-Nya, dan yang menopang dan membimbing kita melalui Penyelenggaraan-Nya.

2. Saudara-saudari yang terkasih, pada usia kami sudah sewajarnyalah mengkaji ulang masa lampau, untuk berusaha mengadakan semacam penilaian. Pandangan masa silam itu memungkinkan evaluasi yang lebih hening dan obyektif mengenai pribadi-pribadi maupun situasi-situasi yang kita jumpai dalam perjalanan kita. Lewatnya masa membantu kita menyaksikan pengalaman-pengalaman kita dalam terang yang lebih jelas dan melunakkan seginya yang menyakitkan. Sayang sekali, perjuangan-perjuangan dan gangguan-gangguan banyak sekali termasuk hidup siapa pun juga. Ada kalanya itu soal masalah-masalah dan berbagai penderitaan, yang cukup pedih menguji daya-tahan mental dan fisik kita, dan barangkali bahkan menggoyahkan iman kita. Tetapi pengalaman mendengarkan, bahwa kesukaran-kesukaran harian, berkat rahmat Allah, sering memberi sumbangan bagi pertumbuhan orang dan menempa watak-perangai mereka.

Melampaui peristiwa-peristiwa tersendiri, refleksi yang pertama muncul di hati ada hubungannya dengan lalunya waktu yang tak terelakkan. “Waktu berlari tanpa  diperbaiki”, ungkap seorang penyair Latin zaman kuno[3]. Manusia tenggelam dalam waktu. Ia lahir, hidup dan meninggal dalam waktu. Kelahiran menetapkan satu tanggal, tanggal pertama hidupnya, dan maut menentukan tanggal lain, yakni yang terakhir: itulah “Alfa” dan “Omega”, yang awal dan akhir riwayatnya di dunia. Tradisi Kristiani telah menggarisbawahi itu dengan memahatkan dua huruf abjad Yunani itu pada batu-batu makam.

Tetapi kendati hidup kita masing-masing dibatasi dan memang rapuh, kita dihibur oleh gagasan bahwa berkat kekuatan jiwa-jiwa rohani kita, kita akan tetap hidup melampaui maut sendiri. Lagi pula iman membuka hati kita bagi “harapan yang tidak mengecewakan(bdk. Rom 5: 5), sambil menaruh kita menghadapi perspektif kebangkitan yang mutakhir. Bukan kebetulan bahwa Gereja, pada upacara meriah Sabtu Malam Paskah, menggunakan kedua aksara Yunani itu juga untuk menunjukkan Kristus, yang hidup kemarin, sekarang dan selama-nya. Dialah “awal dan akhir, Alfa dan Omega. Seluruh waktu termasuk milik-Nya, begitu pula segala zaman”[4]. Pengalaman manusiawi, kendati mematuhi waktu, ditetapkan oleh Kristus terhadap cakrawala ketidak-binasaan. Dia “menjadi manusia di tengah orang-orang, untuk menghubungkan yang awal dan akhir, manusia dan Allah”[5].

0 comments:

Post a Comment