Oleh: Prof. Dr. Agustinus Supratiknya
Dahsyatnya Tangan Seorang Ibu
Ketika kita lapar, tangan ibu yang menyuapi.
Ketika kita haus, tangan ibu yang memberi
minuman.
Ketika kita menangis, tangan ibu yang mengusap
air mata.
Ketika kita gembira, tangan ibu yang menadah
syukur,
memeluk kita erat dengan deraian air mata
bahagia.
Ketika kita mandi, tangan ibu yang meratakan
air ke seluruh badan,
membersihkan segala kotoran.
Ketika kita dilanda masalah, tangan ibu yang
membelai duka sambil berkata,
“Sabar nak, sabar ya sayang”.
Namun ketika ibu sudah tua dan kelaparan,
tiada tangan anak yang menyuapi.
Dengan tangan gemetar, ibu menyuapkan sendiri
makanan ke mulutnya
Seraya berlinang air mata.
Ketika ibu sakit, dimana tangan anak yang ibu
harapkan dapat merawat?
Ketika nyawa ibu terpisah dari jasad, ketika
jenazah ibu hendak dimandikan,
di mana tangan anak yang ibu harapkan untuk
menyiram jenazah ibu untuk terakhir kali?
Tangan ibu tangan ajaib, sentuhan ibu sentuhan
kasih, dapat membawa ke surga firdaus.
Mertua
Seburuk apa pun mertua, aku selalu ingat bahwa
Dialah wanita yang mengandung suamiku dalam
kepayahan selama sembilan bulan.
Dialah wanita yang air susunya menjadi makanan
pertama bagi suamiku.
Dialah wanita yang mendidik dan membesarkan
suamiku,
yang mengajarkan kepadanya akhlak, sehingga
aku nyaman di sisi suamiku.
Tak pernah aku keluar uang sepeser pun untuk
menyekolahkan suamiku,
Hingga diperolehnya ijazah,
yang kini dia gunakan untuk mencari nafkah,
untuk menafkahiku.
Tak sedikit pun aku mendidik suamiku,
hingga kini ia menjadi pria yang penuh
tanggung jawab,
dan aku merasakan bahagia menjadi isterinya.
Setelah pengorbanannya yang bertubi-tubi,
anak lelakinya menikah denganku,
dia bagi kasih sayang anaknya denganku.
Cemburu?
Pasti dia cemburu.
Aku wanita asing yang kini selalu
disayang-sayang oleh anak lelakinya.
Harta anak lelakinya tercurah untuk kunikmati,
padahal dia yang melahirkan, membesarkan dan
mendidiknya.
Aku memahami cemburu itu,
walau aku pun merasakan cemburu, ketika
suamiku lebih memihak mertuaku.
Aku bukan malaikat yang tak pernah jengkel
dengan mertuaku,
dan mertuaku pun bukan malaikat yang selalu
kubela.
Adakalanya aku marah, cemburu dan sakit hati.
Namun aku ingat semua jasanya pada suamiku,
jasa yang sampai akhir hayat pun aku tak akan
pernah mampu membalasnya.
Pada ujung tangisku, terngiang nasehat
ibundaku tercinta.
“Nak, dukunglah suamimu untuk berbakti pada
ibunya,
jangan suruh dia memilih antara kau dan
ibunya.
Karena kelak kau akan merasakan bagaimana
sakitnya
diperlakukan seperti itu oleh anak lelakimu.
Apa yang kau lakukan pada mertuamu akan
dilakukan pula oleh menantumu.
Segala sesuatu pasti ada timbal-baliknya.”
Dan tangisku makin deras.
Oh suamiku, bahagiakanlah orang tuamu
semampumu.
Semoga kelak anak-anak kita pun membahagiakan
kita,
sebagai balasan baktimu pada orang tuamu.
Rahasia Besar Seorang Ayah yang Tidak
Diketahui Anaknya
Mungkin ibu lebih kerap menelpon untuk
menanyakan keadaanku setiap hari,
tapi tahukah aku bahwa sesungguhnya ayahlah
yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?
Semasa kecil ibukulah yang lebih sering
menggendongku.
Tapi tahukah aku bahwa ketika ayah pulang
bekerja dengan wajah yang letih,
ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku
lakukan seharian,
walau beliau tak bertanya langsung kepadaku
saking letihnya mencari nafkah
dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku.
Saat aku sakit demam, ayah membentakku, “Sudah
diberitahu, jangan minum es.”
Lantas aku merengut menjauhi ayah dan menangis
di depan ibu.
Tapi tahukah aku bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku,
sampai beliau hanya bisa menggigit bibir
merasakan kesakitanku?
Ketika aku remaja, aku meminta ijin untuk
keluar malam.
Ayah dengan tegas berkata, “Tidak boleh!”
Sadarkah aku bahwa ayah hanya ingin menjaga
aku,
beliau lebih tahu dunia luar dibandingkan aku
bahkah ibuku?
Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang
sangat berharga.
Saat aku sudah dipercaya olehnya, ayah pun
melonggarkan peraturannya.
Maka kadang aku melanggar kepercayaannya.
Ayahlah yang sering menunggu aku di ruang tamu
dengan rasa sangat risau
bahkan sampai menyuruh ibu agar mengontak
beberapa kenalan
untuk menanyakan keadaanku, “Di mana dan
sedang apa aku di luar sana.”
Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar
aku ke sekolah untuk belajar,
tapi tahukah aku bahwa ayahlah yang berkata,
“Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari
nafkah dulu buat kita bersama.”
Di saat aku merengek memerlukan ini-itu untuk
keperluan kuliahku,
ayah hanya mengerutkan dahi
tanpa menolak beliau memenuhinya
cuma berpikir,
“Ke mana harus mencari uang tambahan,
gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi
tempat untuk meminjam.”
Saat aku berjaya,
ayahlah orang pertama yang berdiri dan
bertepuk tangan untukku.
Ayahlah yang mengabari sanak-saudara, “anakku
sekarang sukses.”
Walau kadang aku cuma bisa membelikannya kain
sarung
Itu pun cuma sekali setahun sekali,
Ayah akan tersenyum dengan bangga.
Dalam doanya ayah juga tidak kalah dengan doa
ibu,
Bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya.
Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku,
ayah akan sangat berhati-hati mengijinkannya.
Saat akhirnya ayah melihatku duduk di
pelaminan bersama pasanganku,
ayah pun tersenyum bahagia.
Tapi sadarkah aku bahwa ayah menyempatkan diri
menyelinap ke belakang dan menangis? Karena sangat bahagia.
Dan beliau pun berdoa,
“Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik.
Bahagiakanlah anakku bersama pasangannya.”
Pesan Ibu ke Anak tentang Ayah
Anakku,
Memang ayah tidak mengandungmu,
Tapi darahnya mengalir di darahmu,
Namanya melekat di namamu.
Memang ayah tidak menyusuimu,
Tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang
menjadi air susumu.
Anakku,
Ayah memang tidak menjagaimu setiap saat,
Tapi tahukah kamu bahwa dalam doanya selalu
ada disebutnya namamu.
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar,
Karena ia ingin terlihat kuat agar kau tak
ragu untuk berlindung di lengan dan dadanya
saat kau merasa tak aman.
Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat
pelukan ibumu,
Karena kecintaannya, dia takut tak sanggup
melepaskanmu.
Dia ingin kau mandiri,
Agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi
semua sendiri.
Ibu hanya ingin kau tahu, nak:
Cinta ayah kepadamu sama besar seperti cinta
ibu kepadamu.
Membuang Orang Tua di Hutan
Di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang
orang yang sudah tua ke hutan.
Mereka yang dibuang adalah orang tua yang
sudah tidak berdaya
Agar tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.
Pada suatu hari, ada seorang pemuda yang
berniat membuang ibunya ke hutan,
karena ibunya sudah pikun dan lumpuh.
Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan
sambil menggendong ibunya.
Si ibu yang tak berdaya berusaha menggapai
setiap ranting pohon yang bisa diraihnya,
Lalu mematah-matahkannya dan menaburkannya di
sepanjang jalan yang mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat,
si anak menurunkan ibunya dan mengucapkan kata
perpisahan
sambil berusaha menahan sedih
karena tak menyangka bahwa ternyata dia tega
melakukan perbuatan ini terhadap ibunya.
Justru si ibu yang tampak tegar,
dengan senyum dia berkata,
“Anakku, ibu sangat menyayangimu.
Sejak kecil sampai kau dewasa, ibu selalu
merawatmu dengan segenap cintaku.
Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak
berkurang sedikit pun.
Tadi ibu sudah menandai sepanjang jalan yang
kita lalui dengan ranting-ranting kayu.
Ibu takut kamu tersesat, ikutilah tanda itu
agar kau selamat sampai di rumah.”
Mendegar kata-kata itu si anak menangis dengan sangat keras,
kemudian langsung memeluk ibunya
dan kembali menggendongnya untuk membawa si
ibu pulang ke rumah,
mengikuti jalan yang sudah ditandai dengan
patahan ranting oleh si ibu.
Pemuda itu akhirnya merawat ibu yang sangat
mencintainya itu sampai si ibu meninggal.
“Anakmu Bukanlah Anakmu” (Kahlil Gibran)
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu
akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau tetapi bukan
darimu.
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka
bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu,
tapi bukan pikiranmu.
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan
jiwa mereka.
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari
esok,
Yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun
dalam mimpi.
Engkau bisa menjadi seperti mereka,
Tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu.
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak
pula berada di masa lalu.
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu
menjadi anak-anak panah yang diluncurkan.
Sang Pemanah telah membidik arah keabadian,
Dan Ia meregangkanmu dengan kekuatan-Nya
Sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur
dengan cepat dan jauh.
Jadikanlah tarikan tangan Sang Pemanah itu
sebagai kegembiraan
Sebab ketika Ia mencintai anak-anak panah yang
terbang,
Maka Ia juga mencintai busur yang telah
meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.
Anak Milik Tuhan (Y.B. Mangunwijaya, pr)
Dan akhirnya kita harus sadar juga,
Dengan kesadaran yang mungkin getir, tetapi
sangat berharga bahwa
Sebesar apa pun cinta kita kepada anak-anak
kita,
Si anak
memanglah bukan milik
orang tua,
Tetapi
milik Tuhan.
Orang tua hanya dititipi
Dan orang yang dititipi harus rela pula untuk
sekali saat mengembalikannya
Kepada Sang Pemilik Sejati.
Hanya dengan iman sedemikian kita tidak putus
asa,
...
Dan akhirnyalah
Si anak
nanti akan sadar dan akan berterima kasih,
Apabila
orang tua tidak berlagak sebagai pemilik si anak.
Akan lebih indahlah nanti cara ia membalas
budi kepada orang tua.
Hendaklah kita,
Orang tualah yang mendahului,
Jangan memperberat penderitaan anak.
-----
Supratiknya, dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Bahan
disampaikan dalam Novena Ekaristi Seminar tahun 2015 di Domus Pacis, 6 September
2015.
Sumber:
Percakapan lewat WA Waras 74, alumni Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada angkatan masuk tahun 1974.
Mangunwijaya, Y.B. (1986). Menumbuhkan
sikap religius anak-anak. Jakarta: Gramedia.
0 comments:
Post a Comment