Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Sunday, September 13, 2015

DITINGGAL ANAK PUTU



Oleh: Prof. Dr. Agustinus Supratiknya

Dahsyatnya Tangan Seorang Ibu
Ketika kita lapar, tangan ibu yang menyuapi.
Ketika kita haus, tangan ibu yang memberi minuman.
Ketika kita menangis, tangan ibu yang mengusap air mata.

Ketika kita gembira, tangan ibu yang menadah syukur,
memeluk kita erat dengan deraian air mata bahagia.
Ketika kita mandi, tangan ibu yang meratakan air ke seluruh badan,
membersihkan segala kotoran.
Ketika kita dilanda masalah, tangan ibu yang membelai duka sambil berkata,
“Sabar nak, sabar ya sayang”.

Namun ketika ibu sudah tua dan kelaparan, tiada tangan anak yang menyuapi.
Dengan tangan gemetar, ibu menyuapkan sendiri makanan ke mulutnya
Seraya berlinang air mata.
Ketika ibu sakit, dimana tangan anak yang ibu harapkan dapat merawat?
Ketika nyawa ibu terpisah dari jasad, ketika jenazah ibu hendak dimandikan,
di mana tangan anak yang ibu harapkan untuk menyiram jenazah ibu untuk terakhir kali?
Tangan ibu tangan ajaib, sentuhan ibu sentuhan kasih, dapat membawa ke surga firdaus.

Mertua
Seburuk apa pun mertua, aku selalu ingat bahwa
Dialah wanita yang mengandung suamiku dalam kepayahan selama sembilan bulan.
Dialah wanita yang air susunya menjadi makanan pertama bagi suamiku.
Dialah wanita yang mendidik dan membesarkan suamiku,
yang mengajarkan kepadanya akhlak, sehingga aku nyaman di sisi suamiku.

Tak pernah aku keluar uang sepeser pun untuk menyekolahkan suamiku,
Hingga diperolehnya ijazah,
yang kini dia gunakan untuk mencari nafkah,
untuk menafkahiku.
Tak sedikit pun aku mendidik suamiku,
hingga kini ia menjadi pria yang penuh tanggung jawab,
dan aku merasakan bahagia menjadi isterinya.

Setelah pengorbanannya yang bertubi-tubi,
anak lelakinya menikah denganku,
dia bagi kasih sayang anaknya denganku.
Cemburu?
Pasti dia cemburu.
Aku wanita asing yang kini selalu disayang-sayang oleh anak lelakinya.
Harta anak lelakinya tercurah untuk kunikmati,
padahal dia yang melahirkan, membesarkan dan mendidiknya.
Aku memahami cemburu itu,
walau aku pun merasakan cemburu, ketika suamiku lebih memihak mertuaku.
Aku bukan malaikat yang tak pernah jengkel dengan mertuaku,
dan mertuaku pun bukan malaikat yang selalu kubela.
Adakalanya aku marah, cemburu dan sakit hati.
Namun aku ingat semua jasanya pada suamiku,
jasa yang sampai akhir hayat pun aku tak akan pernah mampu membalasnya.

Pada ujung tangisku, terngiang nasehat ibundaku tercinta.
“Nak, dukunglah suamimu untuk berbakti pada ibunya,
jangan suruh dia memilih antara kau dan ibunya.
Karena kelak kau akan merasakan bagaimana sakitnya
diperlakukan seperti itu oleh anak lelakimu.
Apa yang kau lakukan pada mertuamu akan dilakukan pula oleh menantumu.
Segala sesuatu pasti ada timbal-baliknya.”

Dan tangisku makin deras.
Oh suamiku, bahagiakanlah orang tuamu semampumu.
Semoga kelak anak-anak kita pun membahagiakan kita,
sebagai balasan baktimu pada orang tuamu.

Rahasia Besar Seorang Ayah yang Tidak Diketahui Anaknya
Mungkin ibu lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari,
tapi tahukah aku bahwa sesungguhnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?

Semasa kecil ibukulah yang lebih sering menggendongku.
Tapi tahukah aku bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih,
ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian,
walau beliau tak bertanya langsung kepadaku saking letihnya mencari nafkah
dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku.

Saat aku sakit demam, ayah membentakku, “Sudah diberitahu, jangan minum es.”
Lantas aku merengut menjauhi ayah dan menangis di depan ibu.
Tapi tahukah aku bahwa ayahlah yang risau  dengan keadaanku,
sampai beliau hanya bisa menggigit bibir merasakan kesakitanku?

Ketika aku remaja, aku meminta ijin untuk keluar malam.
Ayah dengan tegas berkata, “Tidak boleh!”
Sadarkah aku bahwa ayah hanya ingin menjaga aku,
beliau lebih tahu dunia luar dibandingkan aku bahkah ibuku?
Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga.
Saat aku sudah dipercaya olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya.

Maka kadang aku melanggar kepercayaannya.
Ayahlah yang sering menunggu aku di ruang tamu dengan rasa sangat risau
bahkan sampai menyuruh ibu agar mengontak beberapa kenalan
untuk menanyakan keadaanku, “Di mana dan sedang apa aku di luar sana.”

Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar,
tapi tahukah aku bahwa ayahlah yang berkata,
“Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama.”

Di saat aku merengek memerlukan ini-itu untuk keperluan kuliahku,
ayah hanya mengerutkan dahi
tanpa menolak beliau memenuhinya
cuma berpikir,
“Ke mana harus mencari uang tambahan,
gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam.”

Saat aku berjaya,
ayahlah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku.
Ayahlah yang mengabari sanak-saudara, “anakku sekarang sukses.”
Walau kadang aku cuma bisa membelikannya kain sarung
Itu pun cuma sekali setahun sekali,
Ayah akan tersenyum dengan bangga.

Dalam doanya ayah juga tidak kalah dengan doa ibu,
Bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya.
Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku,
ayah akan sangat berhati-hati mengijinkannya.

Saat akhirnya ayah melihatku duduk di pelaminan bersama pasanganku,
ayah pun tersenyum bahagia.
Tapi sadarkah aku bahwa ayah menyempatkan diri menyelinap ke belakang dan menangis? Karena sangat bahagia.
Dan beliau pun berdoa,
“Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik.
Bahagiakanlah anakku bersama pasangannya.”

Pesan Ibu ke Anak tentang Ayah
Anakku,
Memang ayah tidak mengandungmu,
Tapi darahnya mengalir di darahmu,
Namanya melekat di namamu.
Memang ayah tidak menyusuimu,
Tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu.

Anakku,
Ayah memang tidak menjagaimu setiap saat,
Tapi tahukah kamu bahwa dalam doanya selalu ada disebutnya namamu.
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar,
Karena ia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengan dan dadanya
saat kau merasa tak aman.

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat pelukan ibumu,
Karena kecintaannya, dia takut tak sanggup melepaskanmu.
Dia ingin kau mandiri,
Agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri.

Ibu hanya ingin kau tahu, nak:
Cinta ayah kepadamu sama besar seperti cinta ibu kepadamu.

Membuang Orang Tua di Hutan
Di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan.
Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya
Agar tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.

Pada suatu hari, ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan,
karena ibunya sudah pikun dan lumpuh.
Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya.
Si ibu yang tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya,
Lalu mematah-matahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat,
si anak menurunkan ibunya dan mengucapkan kata perpisahan
sambil berusaha menahan sedih
karena tak menyangka bahwa ternyata dia tega melakukan perbuatan ini terhadap ibunya.

Justru si ibu yang tampak tegar,
dengan senyum dia berkata,
“Anakku, ibu sangat menyayangimu.
Sejak kecil sampai kau dewasa, ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku.
Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikit pun.
Tadi ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu.
Ibu takut kamu tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai di rumah.”

Mendegar kata-kata itu si anak menangis dengan sangat keras,
kemudian langsung memeluk ibunya
dan kembali menggendongnya untuk membawa si ibu pulang ke rumah,
mengikuti jalan yang sudah ditandai dengan patahan ranting oleh si ibu.
Pemuda itu akhirnya merawat ibu yang sangat mencintainya itu sampai si ibu meninggal.

“Anakmu Bukanlah Anakmu” (Kahlil Gibran)
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau tetapi bukan darimu.
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu.
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka.
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,
Yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.

Engkau bisa menjadi seperti mereka,
Tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu.
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang diluncurkan.
Sang Pemanah telah membidik arah keabadian,
Dan Ia meregangkanmu dengan kekuatan-Nya
Sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.

Jadikanlah tarikan tangan Sang Pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika Ia mencintai anak-anak panah yang terbang,
Maka Ia juga mencintai busur yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.

Anak Milik Tuhan (Y.B. Mangunwijaya, pr)
Dan akhirnya kita harus sadar juga,
Dengan kesadaran yang mungkin getir, tetapi sangat berharga bahwa
Sebesar apa pun cinta kita kepada anak-anak kita,
Si anak memanglah bukan milik orang tua,
Tetapi milik Tuhan.

Orang tua hanya dititipi
Dan orang yang dititipi harus rela pula untuk sekali saat mengembalikannya
Kepada Sang Pemilik Sejati.

Hanya dengan iman sedemikian kita tidak putus asa,
...
Dan akhirnyalah
Si anak nanti akan sadar dan akan berterima kasih,
Apabila orang tua tidak berlagak sebagai pemilik si anak.
Akan lebih indahlah nanti cara ia membalas budi kepada orang tua.
Hendaklah kita,
Orang tualah yang mendahului,
Jangan memperberat penderitaan anak.

-----
Supratiknya, dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Bahan disampaikan dalam Novena Ekaristi Seminar tahun 2015 di Domus Pacis, 6 September 2015.

Sumber:
Percakapan lewat WA Waras 74, alumni Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada angkatan masuk tahun 1974.
Mangunwijaya, Y.B. (1986). Menumbuhkan sikap religius anak-anak. Jakarta: Gramedia.

0 comments:

Post a Comment