Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Tuesday, September 8, 2015

PUISI MENYENTUH HATI


Novena Ekaristi Seminar di Domus Pacis dimulai pada tahun 2013. Ini berarti sudah ada seminar ketuaan 25 kali terhitung sampai dengan Minggu Pertama 6 September 2015. Kalau dihitung dengan adanya 2 kali seminar ketuaan pada tahun 2012, maka sudah ada 27 kali pelaksanaan. Banyak pembicara yang hadir dengan naskah tertulis. Power Point dan video juga berkali-kali hadir. Tetapi baru sekali terjadi pembicara datang tanpa tayangan power point dan atau tulisan pokok-pokok teoritis konseptual. Ini terjadi dalam pelaksanaan tanggal 6 September 2016 ketika Bapak Prof. Dr. Agustinus Supratiknya hadir dalam tema DITINGGAL ANAK PUTU. Seperti biasa hadir setahun sekali sejak tahun 2012, Pak Pratik selalu menulis teks. Yang khusus untuk kali ini adalah bentuk tulisan yang disampaikan. Beliau menulis dalam bentuk puisi sebanyak 5 lembar kertas kuarto 1 spasi. Pak Pratik, yang jadi dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, mendasarkan tulisannya bersumber pada: 1) Percakapan lewat WA Waras 74, alumni Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada angkatan masuk 1974; dan 2) Buku Menumbuhkan sikap religius anak-anak tulisan Rama Y,B. Mangunwijaya yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1986. Dalam puisinya Pak Pratik berbicara tentang sikap anak terhadap ibu, mertua, ayah, sikap orang tua pada anak, belajar dari pujangga Khalil Gibran dan Y.B. Mangunwijaya, Pr.

Di dalam seminar selama 2 jam, Pak Pratik hanya membacakan secara pelan-pelan. Para peserta yang berjumlah hampir 300 orang (30an datang tanpa mendaftar) dipersilahkan secara langsung menanggapi atau bertanya tanpa perlu menunggu pembicaraan selesai. Ternyata memang benar, setiap kali ada yang mengangkat tangan untuk menyela. Maka dari halaman 1 pembacaan melompat ke halaman 3 baris terakhir terus halaman 4. Ternyata banyak peserta tersentak ketika kata-kata Khalil Gibran dibacakan justru baru pada bait 1:


                               Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
                               Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
                               Mereka terlahir melalui engkau tetapi bukan darimu.
                               Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.

Ternyata pernyataan anak bukan milik orang tua tetapi orang tua "hanyalah" jalan lewat hadirnya anak di dunia telah menyinggung perasaan. Beberapa ibu yang mengalami anak dan menantunya tidak mau "memahami" kemauan baik orang tua mengajukan protes. Hal ini menjadi diskusi hangat bahkan ada yang panas. Apalagi beberapa bapak tampak mengatakan "tidak usah dimasalahkan dan tenang saja". Oleh Pak Pratik dinyatakan justru di sinilah orang tua mendapatkan kesempatan belajar dari anak. Orang tua dapat belajar seperti anak tetapi anak jangan dibuat seperti orang tua. Anak lahir bagaikan anak panah membawa panggilan sendiri dari Sang Pemanah dan orang tua adalah busurnya. Kalau anak "tak mau memperhatikan atau mendengarkan" orang tua, orang tua harus sadar bahwa ANAK YANG BAIK SELALU INGIN JADI DIRINYA SENDIRI. Ini sehat sesuai panggilan. Yang harus diubah adalah sikap orang tua. Dalam situasi ekstrim, ORANG TUA HARUS TIDAK KEHILANGAN CINTA. Ketika novena hari itu selalu, sambil makan beberapa mengatakan bahwa pembicaraan kali itu sungguh-sungguh mengena. Secara operasional ada tips khusus yang disampaikan oleh Pak Pratik: 1) Kita mempunyai dunia kita sendiri dan "pensiun" adalah dunia baru; 2) Jangan terlalu banyak keinginan.

0 comments:

Post a Comment