Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Thursday, August 4, 2016

Menjadi Lansia Saat ini: Beban atau Dibebani?

diambil dari http://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/population-dynamics

Deshinta Vibriyanti*

Dua puluh tahun yang lalu,  tepatnya di Semarang,  Presiden Soeharto pertama kali mencanangkan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) pada tanggal 29 Mei 1996.  Pencanangan tersebut sebagai wujud penghormatan atas jasa Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Radjiman Wediodiningrat atas jasa-jasanya dalam memimpin sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada usia lanjut.

Dua dekade bukan waktu yang singkat untuk melihat kembali suatu perjalanan. Bukan hanya sebatas selebrasi peringatan tahunan yang berisi euforia kegiatan-kegiatan perayaan seperti perlombaan-perlombaan untuk lansia dan santunan-santuanan bagi lansia. Namun lebih jauh lagi adalah sebagai refleksi: Bagaimana kondisi lansia Indonesia saat ini? Bagaimana posisi lansia dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga dalam arus globalisasi yang semakit kuat.

Menuju Struktur Penduduk Tua

Tidak dapat dipungkiri keberhasilan program Keluarga Berencana di sekitar tahun 1970-an dan semakin majunya pembangunan di bidang kesehatan –(yang berdampak pada semakin panjangnya tingkat harapan hidup penduduk Indonenesia) menjadi faktor pendorong tingginya jumlah penduduk lansia. Jika melihat struktur umur penduduk Indonesia saat ini, maka bisa dikatakan bahwa Indonesia sedang bertransisi menuju  ke arah struktur penduduk tua (ageing population). Suatu negara dikatakan berstruktur tua jika memiliki populasi lansia di atas tujuh persen (Soeweno, 2009).

Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, penduduk lanjut usia (lansia) adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Dari batasan usia tersebut, maka BPS mencatat jumlah lansia Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa atau setara dengan 8,03 persen dari seluruh penduduk Indonesia tahun 2014 (BPS, 2014). Jumlah lansia perempuan lebih besar dari pada jumlah lansia laki-laki, yaitu 10,77 juta jiwa lansia perempuan dibanding 9,37 juta jiwa lansia laki-laki. Kondisi ini adalah dampak dari lebih tingginya angka harapan hidup penduduk perempuan dibandingkan penduduk laki-laki.

Pergeseran struktur umur muda ke umur tua produktif akan membawa  konsekuensi peningkatan pelayanan pendidikan terutama pendidikan tinggi dan  kesempatan kerja. Sedangkan pergeseran struktur umur produktif ke umur tua pada  akhirnya akan mempunyai dampak terhadap persoalan penyantunan penduduk usia  lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial ekonomi diperkirakan akan terjadi  pergeseran pola penyantunan usia lanjut dari  keluarga ke institusi. Apabila keadaan ini  terjadi, maka tanggung jawab pemerintah akan menjadi bertambah berat (Prijono, 1995).

Lansia Indonesia di tengah era teknologi

Siapakah penduduk lansia Indonesia saat ini? Jika mengacu pada UU No. 13 tahun 1998 yang  mendefinisikan bahwa lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas, maka lansia saat ini adalah penduduk yang minimal lahir 60 tahun yang lalu atau lahir sebelum atau pada tahun 1956. Lansia identik dengan berbagai bentuk kondisi penurunan seperti penurunan kondisi kesehatan, ekonomi, psikologi dan sosial. Namun apakah benar ketika seseorang yang memasuki usia 60 tahun pasti mengalami penurunan tersebut? Ataukah jangan-jangan lingkungan sosial sendiri yang menciptakan kondisi penurunan tersebut, yang pada akhirnya ikut mendorong terbentuknya steriotype  lansia yang negatif seperti kelompok penduduk yang lemah, tidak produktif, memasuki masa suram, pesakitan, beban bagi keluarga dan masyarakat dan atribut-atribut yang menunjukkan ketidakberdayaan lainnya.

Seringkali kita lupa bahwa seharusnya memasuki masa tua adalah saatnya merayakan kemenangan dan penuh rasa syukur. Kemenangan karena telah melalui berbagai tahapan kehidupan dan pada akhirnya ‘tugas-tugas’ sebagai individu dan sebagai sosial hampir terpenuhi. Namun kondisi lansia saat ini tidak sesederhana itu. Tantangan lansia hidup pada era globalisasi saat ini tentu saja berbeda dengan kondisi dengan lansia yang hidup beberapa puluh tahun yang lalu. Lansia yang hidup pada era ini bisa disebut sebagai lansia transisi. Lansia saat ini harus berada pada abad dimana perkembangan teknologi sangat pesat,  namun mereka sendiri semasa mudanya belum memiliki ‘bekal’ untuk menghadapi kondisi abad ini yang sangat kompetitif dan serba praktis. BPS menunjukkan bahwa tingkat pendidikan lansia saat ini rendah. Sebanyak 21,03 persen lansia tidak bisa baca tulis dan lebih dari setengah lansia kita (56,85 persen) tidak memiliki ijasah pendidikan apapun.

Salah satu kajian ilmu yang baru mucul akhir-akhir ini terkait penduduk lansia dan teknologi adalah geroteknologi. Geroteknologi adalah ilmu  yang  mempelajari  kaum  lansia  dan  hubungannya  dengan perkembangan teknologi. Pendekatan ini merupakan ilmu terbaru yang menguraikan sejauh mana perkembangan  teknologi  bagi  kaum  lansia.  Geroteknologi  sebenarnya  ilmu  praktis  untuk memudahkan  para  lansia  dalam  menggunakan  sarana  dan  prasarana  yang  sesuai  dengan perkembangan dan  kemajuan  teknologi. Penerapan  teknologi  yang  mutakhir  terhadap  para  lansia akan menyokong mereka sekaligus menempatkan mereka secara mandiri dalam menjalankan masa tuanya. Kemajuan teknologi yang semakin mutakhir memberikan peluang atau kesempatan bagi kaum lansia untuk pengembangan diri (Statistik Lanjut Usia, 2014).

Kemajuan teknologi pun berpengaruh terhadap peran dan hubungan lansia dengan anggota keluarga. Orang tua yang beberapa dekade lalu masih memiliki peran sebagai sumber pengetahuan bagi anak-anaknya, namun di era digital dan arus informasi yang cepat ini telah tergantikan dengan kekuatan internet. Generasi muda tidak lagi menjadikan orang tua sebagai tempat untuk bertanya karena apapun pertanyaan dan masalah dapat dicari solusinya melalui internet. Kondisi ini praktis mengurangi kesempatan orang tua dan anak untuk berbicara, bercerita, dan menjalin kedekatan emosional secara intens. Media sosial saat ini sudah bertransformasi menjadi kebutuhan primer bagi manusia modern, sehingga kemampuan individu dalam berkomunikasi secara verbal semakin menurun. Orang lebih banyak berkomunikasi melalui media sosial, aplikasi chatting, dan menghindari kontak langsung dengan orang lain. Kesenjangan kebutuhan dan penguasaan media komunikasi antara lansia dan generasi muda telah menjadi gap hubungan dalam keluarga.

Namun, sebenarnya perkembangan teknologi tidak harus dipandang sebagai penyebab pemutus jembatan komunikasi antar generasi dalam keluarga. Teknologi komunikasi yang maju dan terjangkau justru memudahkan lansia dan anggota keluarga lain untuk berkomunikasi melalui telepon seluler sekalipun terpisah jarak. Begitu juga dengan moda transportasi juga mampu memudahkan lansia dan anggota keluarga untuk saling berkunjung. Metode transfer finansial pun semakin mudah dan praktis dengan menggunakan terknologi berbasis online dan masih banyak lagi fitur-fitur teknologi yang dapat memudahkan kehidupan lansia. Namun pertanyaan selanjutnya adalah berapa persen penduduk lansia yang memiliki dan mampu mengakses kenyamanan teknologi tersebut? Menurut data BPS tahun 2014, kepemilikan lansia terhadap akses teknologi informasi di rumah menurut jenis teknologi adalah telepon rumah (7,60 persen), telepon genggam (73,49%), komputer (4,30%), dan internet rumah (4,23%). Rata-rata lansia pengguna akses teknologi informasi lebih banyak berada di perkotaan dibanding lansia yang tinggal di perdesaan. Persentase lansia pengguna internet  dan komputer tujuh kali lipat persentase lansia yang menggunakan alat yang sama   di perdesaan. Begitupula  penggunaan  telepon  genggam  lansia  di  perkotaan  lebih  tinggi  12,73  persen  daripada persentase lansia di perdesaan. Penggunaan  teknologi  biasanya  terkait  dengan  tingkat  pendidikan  lansia.  Semakin  tinggi pendidikan  maka  kecenderungan  mengakses  teknologi  semakin  tinggi.

Fenomena lainnya yang banyak ditemui saat ini adalah lansia yang masih menanggung kehidupan anak dan cucu mereka meskipun mereka sudah berkeluarga. Hal ini terbukti dari data BPS yang mencatat bahwa hampir setengah dari jumlah lansia (47,48 persen) masih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Selain itu, dari hasil wawancara penulis dengan beberapa lansia di kota Medan (Penelitian Dana DIPA-LIPI, 2016) banyak ditemukan lansia yang memberikan ‘modal’ awal kepada anak-anaknya setelah anaknya berkeluarga seperti dalam bentuk uang, tanah, rumah, dan kendaraan. Dengan melihat fenomena di atas masihkah masyarakat mengasosiasikan penduduk lansia sebagai beban, sementara masih banyak kelompok angkatan kerja yang masih ‘menyusu’ kepada kelompok penduduk tua. Data BPS tahun 2014 mencatat bahwa separuh  lebih  dari  lansia  bekerja  memperoleh upah/gaji/pendapatan  kurang  dari  satu  juta  rupiah  dalam  sebulan.  Sebesar  43,76  persen  lansia memperoleh  upah/gaji/pendapatan  sebesar  500.000-999.999  rupiah  dalam  sebulan  dan  sebesar 23,74  persen  memperoleh  upah/gaji/pendapatan  kurang  dari  500.000  rupiah  dalam  sebulan. Sementara itu pekerja lansia yang memperoleh upah/gaji/pendapatan sebesar 2.500.000 rupiah atau lebih per bulan hanya sebesar 6,49 persen.

Tingginya beban yang masih ditanggung oleh kelompok usia lanjut di Indonesia salah satunya didorong juga oleh minimnya akses lansia terhadap jaminan sosial. Data BPS tahun 2014 menunjukkan, rumah tangga lansia yang memiliki  jaminan sosial hanya sebanyak 6,66 persen. Angka tersebut terdiri dari: jaminan pensiun (5,82%), jaminan hari tua (0,52%), asuransi kecelakaan kerja (0,56%), jaminan veteran (0,30%), dan pesangon PHK (0,12%). Sedangkan kondisi rumah tangga lansia yang memiliki jaminan kesehatan masih lebih baik dibanding kepemilikan jaminan sosial yaitu sebanyak 52,75 persen. Namun yang perlu garis bawahi dari data di atas adalah data tersebut berada pada level rumah tangga lansia. Artinya belum tentu yang memiliki jaminan sosial atau jaminan kesehatan adalah para penduduk lansia yang berada di rumah tangga tersebut.

Jika membandingkan lansia Indonesia dengan negara maju, perbedaan yang mendasar adalah ketersediaan jaminan hari tua. Hingga saat ini, pemerintah belum merancang skema perlindungan jaminan hari tua yang menyeluruh bagi setiap warga negara. Artinya menyeluruh adalah tidak hanya bagi warga negara dengan status bekerja di sektor formal saja namun mereka yang bekerja sektor non formal pun dapat mulai menjalankan skema perlindungan hari tua. Penulis merasa hal ini cukup penting, mengingat semakin meningkatnya jumlah lansia, maka akan semakin meningkatkan beban negara dalam upaya pemenuhan kebutuhan lansia.

Akan seperti apakah lansia Indonesia dua puluh atau tiga puluh tahun lagi? Akankah penduduk lansia masa depan menjadi beban bagi kelompok usia produktif atau malah memiliki beban yang semakin berat karena masih menanggung kebutuhan kelompok usia produktif. Mungkinkah lansia masa depan akan memenuhi panti-panti werdha karena menurunnya kecenderungan jumlah anak yang dimiliki, kurangnya perhatian dari anggota keluarga, dan permasalahan ekonomi? Kunci jawabannya ada pada bagaimana kita generasi sekarang mempersiapkan masa tua kita nantinya baik secara finansial, kesehatan, psikologi dan lingkungan sosial. Selamat Hari Lanjut Usia Nasional 2016.

*Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan (P2K-LIPI)

0 comments:

Post a Comment