diambil dari http://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/population-dynamics
Deshinta Vibriyanti*
Dua
puluh tahun yang lalu, tepatnya di Semarang, Presiden Soeharto
pertama kali mencanangkan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) pada tanggal
29 Mei 1996. Pencanangan tersebut sebagai wujud penghormatan atas jasa
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Radjiman Wediodiningrat atas
jasa-jasanya dalam memimpin sidang pertama Badan Penyelidik Usaha
Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada usia lanjut.
Dua
dekade bukan waktu yang singkat untuk melihat kembali suatu perjalanan.
Bukan hanya sebatas selebrasi peringatan tahunan yang berisi euforia
kegiatan-kegiatan perayaan seperti perlombaan-perlombaan untuk lansia
dan santunan-santuanan bagi lansia. Namun lebih jauh lagi adalah sebagai
refleksi: Bagaimana kondisi lansia Indonesia saat ini? Bagaimana posisi
lansia dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga dalam
arus globalisasi yang semakit kuat.
Menuju Struktur Penduduk Tua
Tidak
dapat dipungkiri keberhasilan program Keluarga Berencana di sekitar
tahun 1970-an dan semakin majunya pembangunan di bidang kesehatan –(yang
berdampak pada semakin panjangnya tingkat harapan hidup penduduk
Indonenesia) menjadi faktor pendorong tingginya jumlah penduduk lansia.
Jika melihat struktur umur penduduk Indonesia saat ini, maka bisa
dikatakan bahwa Indonesia sedang bertransisi menuju ke arah struktur
penduduk tua (ageing population). Suatu negara dikatakan berstruktur tua jika memiliki populasi lansia di atas tujuh persen (Soeweno, 2009).
Menurut Undang-Undang
No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, penduduk lanjut usia
(lansia) adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Dari batasan
usia tersebut, maka BPS mencatat jumlah lansia Indonesia mencapai 20,24
juta jiwa atau setara dengan 8,03 persen dari seluruh penduduk Indonesia
tahun 2014 (BPS, 2014). Jumlah lansia perempuan lebih besar dari pada
jumlah lansia laki-laki, yaitu 10,77 juta jiwa lansia perempuan
dibanding 9,37 juta jiwa lansia laki-laki. Kondisi ini adalah dampak
dari lebih tingginya angka harapan hidup penduduk perempuan dibandingkan
penduduk laki-laki.
Pergeseran
struktur umur muda ke umur tua produktif akan membawa konsekuensi
peningkatan pelayanan pendidikan terutama pendidikan tinggi dan
kesempatan kerja. Sedangkan pergeseran struktur umur produktif ke umur
tua pada akhirnya akan mempunyai dampak terhadap persoalan penyantunan
penduduk usia lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial ekonomi
diperkirakan akan terjadi pergeseran pola penyantunan usia lanjut dari
keluarga ke institusi. Apabila keadaan ini terjadi, maka tanggung
jawab pemerintah akan menjadi bertambah berat (Prijono, 1995).
Lansia Indonesia di tengah era teknologi
Siapakah
penduduk lansia Indonesia saat ini? Jika mengacu pada UU No. 13 tahun
1998 yang mendefinisikan bahwa lansia adalah orang yang telah berusia
60 tahun ke atas, maka lansia saat ini adalah penduduk yang minimal
lahir 60 tahun yang lalu atau lahir sebelum atau pada tahun 1956. Lansia
identik dengan berbagai bentuk kondisi penurunan seperti penurunan
kondisi kesehatan, ekonomi, psikologi dan sosial. Namun apakah benar
ketika seseorang yang memasuki usia 60 tahun pasti mengalami penurunan
tersebut? Ataukah jangan-jangan lingkungan sosial sendiri yang
menciptakan kondisi penurunan tersebut, yang pada akhirnya ikut
mendorong terbentuknya steriotype lansia yang negatif seperti kelompok
penduduk yang lemah, tidak produktif, memasuki masa suram, pesakitan,
beban bagi keluarga dan masyarakat dan atribut-atribut yang menunjukkan
ketidakberdayaan lainnya.
Seringkali
kita lupa bahwa seharusnya memasuki masa tua adalah saatnya merayakan
kemenangan dan penuh rasa syukur. Kemenangan karena telah melalui
berbagai tahapan kehidupan dan pada akhirnya ‘tugas-tugas’ sebagai
individu dan sebagai sosial hampir terpenuhi. Namun kondisi lansia saat
ini tidak sesederhana itu. Tantangan lansia hidup pada era globalisasi
saat ini tentu saja berbeda dengan kondisi dengan lansia yang hidup
beberapa puluh tahun yang lalu. Lansia yang hidup pada era ini bisa
disebut sebagai lansia transisi. Lansia saat ini harus berada pada abad
dimana perkembangan teknologi sangat pesat, namun mereka sendiri semasa
mudanya belum memiliki ‘bekal’ untuk menghadapi kondisi abad ini yang
sangat kompetitif dan serba praktis. BPS menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan lansia saat ini rendah. Sebanyak 21,03 persen lansia tidak
bisa baca tulis dan lebih dari setengah lansia kita (56,85 persen) tidak
memiliki ijasah pendidikan apapun.
Salah
satu kajian ilmu yang baru mucul akhir-akhir ini terkait penduduk
lansia dan teknologi adalah geroteknologi. Geroteknologi adalah ilmu
yang mempelajari kaum lansia dan hubungannya dengan perkembangan
teknologi. Pendekatan ini merupakan ilmu terbaru yang menguraikan sejauh
mana perkembangan teknologi bagi kaum lansia. Geroteknologi
sebenarnya ilmu praktis untuk memudahkan para lansia dalam
menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan perkembangan
dan kemajuan teknologi. Penerapan teknologi yang mutakhir
terhadap para lansia akan menyokong mereka sekaligus menempatkan
mereka secara mandiri dalam menjalankan masa tuanya. Kemajuan teknologi
yang semakin mutakhir memberikan peluang atau kesempatan bagi kaum
lansia untuk pengembangan diri (Statistik Lanjut Usia, 2014).
Kemajuan
teknologi pun berpengaruh terhadap peran dan hubungan lansia dengan
anggota keluarga. Orang tua yang beberapa dekade lalu masih memiliki
peran sebagai sumber pengetahuan bagi anak-anaknya, namun di era digital
dan arus informasi yang cepat ini telah tergantikan dengan kekuatan
internet. Generasi muda tidak lagi menjadikan orang tua sebagai tempat
untuk bertanya karena apapun pertanyaan dan masalah dapat dicari
solusinya melalui internet. Kondisi ini praktis mengurangi kesempatan
orang tua dan anak untuk berbicara, bercerita, dan menjalin kedekatan
emosional secara intens. Media sosial saat ini sudah bertransformasi
menjadi kebutuhan primer bagi manusia modern, sehingga kemampuan
individu dalam berkomunikasi secara verbal semakin menurun. Orang lebih
banyak berkomunikasi melalui media sosial, aplikasi chatting, dan
menghindari kontak langsung dengan orang lain. Kesenjangan kebutuhan
dan penguasaan media komunikasi antara lansia dan generasi muda telah
menjadi gap hubungan dalam keluarga.
Namun,
sebenarnya perkembangan teknologi tidak harus dipandang sebagai
penyebab pemutus jembatan komunikasi antar generasi dalam keluarga.
Teknologi komunikasi yang maju dan terjangkau justru memudahkan lansia
dan anggota keluarga lain untuk berkomunikasi melalui telepon seluler
sekalipun terpisah jarak. Begitu juga dengan moda transportasi juga
mampu memudahkan lansia dan anggota keluarga untuk saling berkunjung.
Metode transfer finansial pun semakin mudah dan praktis dengan
menggunakan terknologi berbasis online dan masih banyak lagi fitur-fitur
teknologi yang dapat memudahkan kehidupan lansia. Namun pertanyaan
selanjutnya adalah berapa persen penduduk lansia yang memiliki dan mampu
mengakses kenyamanan teknologi tersebut? Menurut data BPS tahun 2014,
kepemilikan lansia terhadap akses teknologi informasi di rumah menurut
jenis teknologi adalah telepon rumah (7,60 persen), telepon genggam
(73,49%), komputer (4,30%), dan internet rumah (4,23%). Rata-rata lansia
pengguna akses teknologi informasi lebih banyak berada di perkotaan
dibanding lansia yang tinggal di perdesaan. Persentase lansia pengguna
internet dan komputer tujuh kali lipat persentase lansia yang
menggunakan alat yang sama di perdesaan. Begitupula penggunaan
telepon genggam lansia di perkotaan lebih tinggi 12,73 persen
daripada persentase lansia di perdesaan. Penggunaan teknologi
biasanya terkait dengan tingkat pendidikan lansia. Semakin tinggi
pendidikan maka kecenderungan mengakses teknologi semakin tinggi.
Fenomena
lainnya yang banyak ditemui saat ini adalah lansia yang masih
menanggung kehidupan anak dan cucu mereka meskipun mereka sudah
berkeluarga. Hal ini terbukti dari data BPS yang mencatat bahwa hampir
setengah dari jumlah lansia (47,48 persen) masih bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Selain itu, dari hasil wawancara
penulis dengan beberapa lansia di kota Medan (Penelitian Dana DIPA-LIPI,
2016) banyak ditemukan lansia yang memberikan ‘modal’ awal kepada
anak-anaknya setelah anaknya berkeluarga seperti dalam bentuk uang,
tanah, rumah, dan kendaraan. Dengan melihat fenomena di atas masihkah
masyarakat mengasosiasikan penduduk lansia sebagai beban, sementara
masih banyak kelompok angkatan kerja yang masih ‘menyusu’ kepada
kelompok penduduk tua. Data BPS tahun 2014 mencatat bahwa separuh
lebih dari lansia bekerja memperoleh upah/gaji/pendapatan kurang
dari satu juta rupiah dalam sebulan. Sebesar 43,76 persen
lansia memperoleh upah/gaji/pendapatan sebesar 500.000-999.999
rupiah dalam sebulan dan sebesar 23,74 persen memperoleh
upah/gaji/pendapatan kurang dari 500.000 rupiah dalam sebulan.
Sementara itu pekerja lansia yang memperoleh upah/gaji/pendapatan
sebesar 2.500.000 rupiah atau lebih per bulan hanya sebesar 6,49 persen.
Tingginya
beban yang masih ditanggung oleh kelompok usia lanjut di Indonesia
salah satunya didorong juga oleh minimnya akses lansia terhadap jaminan
sosial. Data BPS tahun 2014 menunjukkan, rumah tangga lansia yang
memiliki jaminan sosial hanya sebanyak 6,66 persen. Angka tersebut
terdiri dari: jaminan pensiun (5,82%), jaminan hari tua (0,52%),
asuransi kecelakaan kerja (0,56%), jaminan veteran (0,30%), dan pesangon
PHK (0,12%). Sedangkan kondisi rumah tangga lansia yang memiliki
jaminan kesehatan masih lebih baik dibanding kepemilikan jaminan sosial
yaitu sebanyak 52,75 persen. Namun yang perlu garis bawahi dari data di
atas adalah data tersebut berada pada level rumah tangga lansia. Artinya
belum tentu yang memiliki jaminan sosial atau jaminan kesehatan adalah
para penduduk lansia yang berada di rumah tangga tersebut.
Jika
membandingkan lansia Indonesia dengan negara maju, perbedaan yang
mendasar adalah ketersediaan jaminan hari tua. Hingga saat ini,
pemerintah belum merancang skema perlindungan jaminan hari tua yang
menyeluruh bagi setiap warga negara. Artinya menyeluruh adalah tidak
hanya bagi warga negara dengan status bekerja di sektor formal saja
namun mereka yang bekerja sektor non formal pun dapat mulai menjalankan
skema perlindungan hari tua. Penulis merasa hal ini cukup penting,
mengingat semakin meningkatnya jumlah lansia, maka akan semakin
meningkatkan beban negara dalam upaya pemenuhan kebutuhan lansia.
Akan
seperti apakah lansia Indonesia dua puluh atau tiga puluh tahun lagi?
Akankah penduduk lansia masa depan menjadi beban bagi kelompok usia
produktif atau malah memiliki beban yang semakin berat karena masih
menanggung kebutuhan kelompok usia produktif. Mungkinkah lansia masa
depan akan memenuhi panti-panti werdha karena menurunnya kecenderungan
jumlah anak yang dimiliki, kurangnya perhatian dari anggota keluarga,
dan permasalahan ekonomi? Kunci jawabannya ada pada bagaimana kita
generasi sekarang mempersiapkan masa tua kita nantinya baik secara
finansial, kesehatan, psikologi dan lingkungan sosial. Selamat Hari
Lanjut Usia Nasional 2016.
*Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan (P2K-LIPI)
0 comments:
Post a Comment