“Engkau memberitahukan kepadaku
jalan kehidupan,
di hadapan-Mu ada sukacita
berlimpah-limpah,
di tangan kanan-Mu ada nikmat
senantiasa”
(Mzm 16:11).
14. Memang sewajarnya, selama
tahun-tahun sedang lewat, hendaklah kita makin menatap situasi
“keremang-remangan” hidup kita. Meskipun tiada lain lagi, kita diingatkan akan
itu melalui kenyataan itu sendiri, bahwa jajaran-jajaran para warga
keluarga kita, teman-teman dan pelbagai kenalan makin menipis: kita makin
menyadari itu melalui sejumlah cara-cara, misalnya: bila kita menghadiri
reuni-reuni keluarga, pertemuan-pertemuan teman-teman waktu kita masih
kanak-kanak, rekan-rekan sekelas dari sekolah atau universitas, atau
rekan-rekan kerja dulu dari tentara atau seminari. Garis yang memisahkan hidup
dari maut melintasi komunitas-komunitas, dan mau tak mau makin mendekati kita
masing-masing. Menyadari bahwa hidup itu ziarah menuju rumah surgawi kita, usia
lanjut ialah waktu yang paling wajar untuk memandang ke arah ambang pintu
keabadian.
Kendati begitu, bahkan kita yang
lanjut usia rasanya berat untuk menyerahkan diri kepada kenyataan di masa
mendatang untuk menempuh peralihan itu. Dalam kondisi manusiawi kita yang
tersentuh oleh dosa, maut menyediakan suatu segi kegelapan tertentu, yang mau
tak mau menimbulkan rasa sedih dan takut. Bagaimanakah itu kiranya dapat
berbeda? Manusia telah diciptakan untuk hidup, sedangkan maut – seperti Alkitab
menyampaikan kepada itu sejak halaman-halaman pertama (bdk. Kej 2-3) –
tidak termasuk rencana asli Allah, tetapi merupakan akibat sebagai konsekuensi
dosa, sebagai buah-hasil “sikap iri iblis” (Keb 2:24). Maka dapat
dimengerti mengapa, bila menghadapi kenyataan yang gelap itu, manusia secara
naluri memberontak. Dalam hal itu memang relevanlah, bahwa Yesus, yang “sama
dengan kita, telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15),
mengalami rasa takut juga menghadapi maut: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya
mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku (Mat 26:39). Bagaimanakah
dapat kita lupakan airmata-Nya menghadapi makam sahabat-Nya Lazarus, kendati
kenyataan, bahwa Ia hendak membangkitkan Lazarus dari kematian (bdk. Yoh
11:35)?
Bagaimana pun maut dari sudut
pandangan biologi kiranya dapat dimengerti secara rasional, tidak mungkinlah
mengalaminya sebagai sesuatu yang “alamiah”. Kiranya itu akan bertentangan
dengan naluri-naluri manusia yang terdalam. Seperti dinyatakan oleh Konsili:
“Menghadapi mautlah teka-teki eksistensi manusiawi paling meruncing. Manusia
tidak hanya disiksa oleh rasa sakit dan oleh makin mundurnya kondisi
tubuhnya, tetapi masih lebih lagi oleh ancaman kepunahan selamanya”[20].
Kegelisahan itu kiranya memang tidak mungkin dihiburkan, seandainya maut
sepenuhnya kehancuran, tamatnya segala-sesuatu. Maka maut memaksa siapa
pun mengajukan pada dirinya soal-soal yang mendalam tentang makna hidup
sendiri. Manakah yang ada di balik dinding maut yang membayangi? Benarkah maut
menyajikan akhir hidup yang definitif, atau benarkah ada sesuatu yang melampauinya?
15. Sejarah manusiawi, sejak masa yang
paling kuno sampai sekarang ini, telah menyajikan sejumlah jawaban-jawaban yang
sederhana, yang membatasi hidup pada apa yang kita alami di dunia. Dalam
Perjanjian Lama sendiri, perikop-perikop tertentu dalam Kitab Eklesiastes
agaknya menyajikan lanjut usia sebagai bangunan dalam puing-puing, dan maut
sebagai kehancurannya yang terakhir dan seluruhnya (bdk. 12:1-7). Tetapi justru
melawan latar-belakang sikap-sikap yang pesimistik itu memancarlah pandangan
penuh harapan yang berada dalam perwahyuan sebagai keseluruhan dan khususnya
dalam Injil: “Allah bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab
di hadapan Dia semua orang hidup” (bdk. Luk 20:38). Rasul Paulus menyatakan,
bahwa Allah, yang memberi hidup kepada yang mati (bdk. Rom 4:17), akan
memberi hidup juga kepada tubuh-tubuh kita yang akan mati (bdk. ibidem, 8:11).
Dan Yesus menyampaikan tentang Dirinya: “Aku ini kebangkitan dan hidup; barang
siapa beriman akan Aku, meskipun ia mati, toh akan hidup; dan barang siapa yang
hidup dan beriman akan Aku, tidak pernah akan mati” (Yoh 11:25-26).
Sesudah melampaui ambang pintu maut,
Kristus telah mewahyukan hidup, yang melampaui batas itu, dalam “teritorium” yang
tidak terkuasai, yakni keabadian. Dialah saksi yang pertama hidup kekal; dalam
Dia harapan manusiawi nampak dipenuhi dengan ketidakbinasaan. “Kesedihan maut
membuka jalan bagi janji gemilang ketidakbinasaan”[21].
Kata-kata itu, yang oleh Liturgi Gereja disajikan sebagai hiburan bagi umat beriman,
bila mereka menyampaikan selamat jalan kepada para terkasih, disusul oleh
proklamasi harapan: “Ya Tuhan, bagi umat-Mu yang beriman hidup itu digantikan,
tidak diakhiri. Bila tubuh kediaman kami di dunia ini terbaring dalam kematian,
kami mencapai kediaman yang tetap lestari di surga”[22].
Dalam Kristus, maut – tragis dan membingungkan – ditebus dan dirombak;
bahkan itu diwahyukan sebagai “saudari”, yang mengantar kita kedalam tangan
Bapa kita[23].
16. Maka iman menyinari misteri maut
dan mendatangkan keheningan kepada usia lanjut, yang sekarang tidak lagi
dipandang dan dihayati secara pasif sebagai sikap menantikan melapetaka, tetapi
sebagai pendekatan penuh janji terhadap tujuan penuh kematangan. Itulah tahun-tahun
yang harus dihayati dengan citarasa penyerahan diri penuh kepercayaan ke dalam
tangan Allah, Bapa Penyelenggara kita yang penuh kerahiman. Itulah waktu yang
hendaknya digunakan secara kreatif untuk mendalami hidup rohani kita melalui
doa dan komitmen yang lebih bersemangat untuk melayani saudari-saudara kita
dalam cinta-kasih.
Maka sangat dianjurkan semua program
sosial, yang memampukan para lanjut usia untuk masih melanjutkan memperhatikan
kesejahteraan fisik mereka, pengembangan intelektual mereka, dan hubungan-hubungan
pribadi mereka, begitu pula program-program yang memampukan mereka menjadikan
diri penuh manfaat, dan menyediakan waktu, bakat-pembawaan dan pengalaman
mereka untuk melayani sesama. Demikianlah kecakapan menikmati hidup sebagai
kurnia primordial Allah dilestarikan dan masih berkembang. Kecakapan untuk menikmati
hidup itu sedikit pun tidak bertentangan dengan kerinduan akan keabadian, yang
berkembang dalam pribadi mereka yang berpengalaman rohani yang mendalam,
seperti tampil sebagai kesaksian hidup para kudus.
Di sinilah Injil mengingatkan kita
akan kata-kata Simeon yang lanjut usia, dan menyatakan diri bersedia meninggal
dunia, ketika ia menyambut dan menatang dalam tangannya Al Masih yang begitu
lama didambakan: “Sekarang, ya Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai
sejahtera, sesuai dengan sabda-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang
dari pada-Mu” (Luk 2:29-30). Rasul Paulus merasa diri didesak dari dua
pihak antara kerinduan untuk masih terus hidup untuk mewartakan Injil, dan
kerinduan “untuk pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus” (Flp 1:23).
Santo Ignasius dari Antiokia bergembira penuh memasuki kemartirannya, dan
menyatakan: ia dapat mendengarkan dalam batinnya suara Roh Kudus, ibarat
“air” hidup yang memancar dari dalam dirinya, dan membisikkan ajakan: “Datanglah
kepada Bapa”[24].
Teladan-teladan itu kiranya dapat diperbanyak. Contoh-contoh itu sedikit pun
tidak menimbulkan keragu-raguan akan nilai hidup di dunia, yang indah kendati
batas-batas dan duka-deritanya, dan yang harus dihayati hingga saat terakhirnya
sendiri. Sekaligus teladan-teladan itu mengingatkan kita bahwa hidup di dunia
itu bukan nilai yang mutakhir, sedemikian rupa, sehingga “keremang-remangan”
hidup – dalam perspektif Kristiani – dapat dipandang sebagai “peralihan”, jembatan
antara satu hidup dan hidup lainnya, antara kegembiraan yang rapuh tak
pasti di dunia ini ke arah kepenuhan kegembiraan yang telah disediakan oleh
Tuhan bagi para hamba-Nya yang setia: ” Masukilah kegembiraan Tuanmu” (Mat
25:21).
0 comments:
Post a Comment