Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Monday, August 15, 2016

PAUS YOHANES PAULUS II: SURAT KEPADA UMAT LANJUT USIA (7)



“Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan,
di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah,
di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa”
(Mzm 16:11).

14. Memang sewajarnya, selama tahun-tahun sedang lewat, hendaklah kita makin menatap situasi “keremang-remangan” hidup kita. Meskipun tiada lain lagi, kita diingatkan akan itu  melalui kenyataan itu sendiri, bahwa jajaran-jajaran para warga keluarga kita, teman-teman dan pelbagai kenalan makin menipis: kita makin menyadari itu melalui sejumlah cara-cara, misalnya: bila kita menghadiri reuni-reuni keluarga, pertemuan-pertemuan teman-teman waktu kita masih kanak-kanak, rekan-rekan sekelas dari sekolah atau universitas, atau rekan-rekan kerja dulu dari tentara atau seminari. Garis yang memisahkan hidup dari maut melintasi komunitas-komunitas, dan mau tak mau makin mendekati kita masing-masing. Menyadari bahwa hidup itu ziarah menuju rumah surgawi kita, usia lanjut ialah waktu yang paling wajar untuk memandang ke arah ambang pintu keabadian.

Kendati begitu, bahkan kita yang lanjut usia rasanya berat untuk menyerahkan diri kepada kenyataan di masa mendatang untuk menempuh peralihan itu. Dalam kondisi manusiawi kita yang tersentuh oleh dosa, maut menyediakan suatu segi kegelapan tertentu, yang mau tak mau menimbulkan rasa sedih dan takut. Bagaimanakah itu kiranya dapat berbeda? Manusia telah diciptakan untuk hidup, sedangkan maut – seperti Alkitab menyampaikan kepada itu sejak halaman-halaman pertama (bdk. Kej 2-3) – tidak termasuk rencana asli Allah, tetapi merupakan akibat sebagai konsekuensi dosa, sebagai buah-hasil “sikap iri iblis” (Keb 2:24). Maka dapat dimengerti mengapa, bila menghadapi kenyataan yang gelap itu, manusia secara naluri memberontak. Dalam hal itu memang relevanlah, bahwa Yesus, yang “sama dengan kita, telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15), mengalami rasa takut juga menghadapi maut: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku (Mat 26:39). Bagaimanakah dapat kita lupakan airmata-Nya menghadapi makam sahabat-Nya Lazarus, kendati kenyataan, bahwa Ia hendak membangkitkan Lazarus dari kematian (bdk. Yoh 11:35)?

Bagaimana pun maut dari sudut pandangan biologi kiranya dapat dimengerti secara rasional, tidak mungkinlah mengalaminya sebagai sesuatu yang “alamiah”. Kiranya itu akan bertentangan dengan naluri-naluri manusia yang terdalam. Seperti dinyatakan oleh Konsili: “Menghadapi mautlah teka-teki eksistensi manusiawi paling meruncing. Manusia tidak hanya disiksa oleh rasa sakit dan oleh makin mundurnya  kondisi tubuhnya, tetapi masih lebih lagi oleh ancaman kepunahan selamanya”[20]. Kegelisahan itu kiranya memang tidak mungkin dihiburkan, seandainya maut sepenuhnya kehancuran, tamatnya segala-sesuatu. Maka maut memaksa siapa pun  mengajukan pada dirinya soal-soal yang mendalam tentang makna hidup sendiri. Manakah yang ada di balik dinding maut yang membayangi? Benarkah maut menyajikan akhir hidup yang definitif, atau benarkah ada sesuatu yang melampauinya?

15. Sejarah manusiawi, sejak masa yang paling kuno sampai sekarang ini, telah menyajikan sejumlah jawaban-jawaban yang sederhana, yang membatasi hidup pada apa yang kita alami di dunia. Dalam Perjanjian Lama sendiri, perikop-perikop tertentu dalam Kitab Eklesiastes agaknya menyajikan lanjut usia sebagai bangunan dalam puing-puing, dan maut sebagai kehancurannya yang terakhir dan seluruhnya (bdk. 12:1-7). Tetapi justru melawan latar-belakang sikap-sikap yang pesimistik itu memancarlah pandangan penuh harapan yang berada dalam perwahyuan sebagai keseluruhan dan khususnya dalam Injil: “Allah bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup” (bdk. Luk 20:38). Rasul Paulus menyatakan, bahwa Allah, yang memberi hidup kepada yang mati (bdk. Rom 4:17), akan memberi hidup juga kepada tubuh-tubuh kita yang akan mati (bdk. ibidem, 8:11). Dan Yesus menyampaikan tentang Dirinya: “Aku ini kebangkitan dan hidup; barang siapa beriman akan Aku, meskipun ia mati, toh akan hidup; dan barang siapa yang hidup dan beriman akan Aku, tidak pernah akan mati” (Yoh 11:25-26).

Sesudah melampaui ambang pintu maut, Kristus telah mewahyukan hidup, yang melampaui batas itu, dalam “teritorium” yang tidak terkuasai, yakni keabadian. Dialah saksi yang pertama hidup kekal; dalam Dia harapan manusiawi nampak dipenuhi dengan ketidakbinasaan. “Kesedihan maut membuka jalan bagi janji gemilang ketidakbinasaan”[21]. Kata-kata itu, yang oleh Liturgi Gereja disajikan sebagai hiburan bagi umat beriman, bila mereka menyampaikan selamat jalan kepada para terkasih, disusul oleh proklamasi harapan: “Ya Tuhan, bagi umat-Mu yang beriman hidup itu digantikan, tidak diakhiri. Bila tubuh kediaman kami di dunia ini terbaring dalam kematian, kami mencapai kediaman yang tetap lestari di surga”[22]. Dalam Kristus, maut – tragis dan membingungkan – ditebus dan dirombak;  bahkan itu diwahyukan sebagai “saudari”, yang mengantar kita kedalam tangan Bapa kita[23].

16. Maka iman menyinari misteri maut dan mendatangkan keheningan kepada usia lanjut, yang sekarang tidak lagi dipandang dan dihayati secara pasif sebagai sikap menantikan melapetaka, tetapi sebagai pendekatan penuh janji terhadap tujuan penuh kematangan. Itulah tahun-tahun yang harus dihayati dengan citarasa penyerahan diri penuh kepercayaan ke dalam tangan Allah, Bapa Penyelenggara kita yang penuh kerahiman. Itulah waktu yang hendaknya digunakan secara kreatif untuk mendalami hidup rohani kita melalui doa dan komitmen yang lebih bersemangat untuk melayani saudari-saudara kita dalam cinta-kasih.

Maka sangat dianjurkan semua program sosial, yang memampukan para lanjut usia untuk masih melanjutkan memperhatikan kesejahteraan fisik mereka, pengembangan intelektual mereka, dan hubungan-hubungan pribadi mereka, begitu pula program-program yang memampukan mereka menjadikan diri penuh manfaat, dan menyediakan waktu, bakat-pembawaan dan pengalaman mereka untuk melayani sesama. Demikianlah kecakapan menikmati hidup sebagai kurnia primordial Allah dilestarikan dan masih berkembang. Kecakapan untuk menikmati hidup itu sedikit pun tidak bertentangan dengan kerinduan akan keabadian, yang berkembang dalam pribadi mereka yang berpengalaman rohani yang mendalam, seperti tampil sebagai kesaksian hidup para kudus.

Di sinilah Injil mengingatkan kita akan kata-kata Simeon yang lanjut usia, dan menyatakan diri bersedia meninggal dunia, ketika ia menyambut dan menatang dalam tangannya Al Masih yang begitu lama didambakan: “Sekarang, ya Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan sabda-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu” (Luk 2:29-30). Rasul Paulus merasa diri didesak dari dua pihak antara kerinduan untuk masih terus hidup untuk mewartakan Injil, dan kerinduan “untuk pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus” (Flp 1:23). Santo Ignasius dari Antiokia bergembira penuh memasuki kemartirannya, dan menyatakan: ia dapat mendengarkan dalam batinnya suara Roh Kudus,  ibarat “air” hidup yang memancar dari dalam dirinya, dan membisikkan ajakan: “Datanglah kepada Bapa”[24]. Teladan-teladan itu kiranya dapat diperbanyak. Contoh-contoh itu sedikit pun tidak menimbulkan keragu-raguan akan nilai hidup di dunia, yang indah kendati batas-batas dan duka-deritanya, dan yang harus dihayati hingga saat terakhirnya sendiri. Sekaligus teladan-teladan itu mengingatkan kita bahwa hidup di dunia itu bukan nilai yang mutakhir, sedemikian rupa, sehingga “keremang-remangan” hidup – dalam perspektif Kristiani – dapat dipandang sebagai “peralihan”, jembatan antara satu hidup dan hidup lainnya, antara  kegembiraan yang rapuh tak pasti di dunia ini ke arah kepenuhan kegembiraan yang telah disediakan oleh Tuhan bagi para hamba-Nya yang setia: ” Masukilah kegembiraan Tuanmu” (Mat 25:21).
==============================================================

===============================================================

0 comments:

Post a Comment