Pages

Subscribe:
/
  • Domus Pacis

    Domus Pacis atau Rumah Damai berada di Puren, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Di rumah ini sedang dikembangkan pastoral ketuaan. "Tua tak mungkin terlambat datangnya, namun renta bisa ditunda hadirnya"

  • Indahnya di usia tua

    Tua namun tak renta, sakit tak sengsara, Mati masuk surga

  • Tua Yang Bijaksana

    Menjadi Tua itu kepastian, namun tua yang bijaksana itu suatu perjuangan.

Friday, December 13, 2013

DISORIENTASI SPIRITUAL (Sajian 13)


Kolom "Pastoral Ketuaan" akan menyajikan tulisan tentang bagaimana menata hidup batin. Tulisan ini ditulis oleh Henri J.M. Nouwen dalam buku Tarian Kehidupan yang diterjemahkan secara anonim dan tidak dinyatakan dari penerbit dan percetakan apa. 

Matinya Doa

Sebenarnya aku tidak merasakan banyak, atau malah tidak samasekali, manakala aku berdoa. Tak ada emosi yang hangat, perasaan badaniah, atau penampakan-penampakan mental. Tak satupun dari kelima alat perasaku tersentuh - tak ada bau yang istimewa, tak ada suara istimewa, tak ada penglihatan istimewa, tak ada pengecapan istimewa, dan tak ada gerakan-gerakan istimewa. Biarpun Roh bekerja demikian lama dan jelas melalui dagingku, kini aku tak merasa apa-apa. Aku hidup dalam harapan bahwa doa akan menjadi lebih mudah kalau aku bertumbuh semakin tua dan mendekati kematian. Namun yang sebaliknya rupanya yang terjadi. Kata-kata kegelapan dan kekeringan bisa menjabarkan paling baik tentang doaku hari ini.

Mungkin bagian dari kegelapan dan kekeringan ini adalah hasil dari aktivitas berlebihku. Ketika aku menjadi lebih tua aku makin sibuk dan menyisakan makin sedikit waktu dalam doa. Tetapi mungkin aku tidak harus menyalahkan diriku seperti itu. Pertanyaan sebenarnya adalah: "Apa artinya kegelapan dan kekeringan itu? Untuk apa aku dipanggil karenanya?" Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sekali adalah tugas utama dari masa sabatikalku. Aku tahu bahwa Yesus, di saat akhir hidup-Nya, merasa ditinggalkan oleh Allah. "Allah-Ku, ya Allah-Ku," Ia berseru di atas salib, "mengapa Kau tinggalkan Daku?" (Matius 27:46). Tubuh-Nya telah dihancurkan oleh penyiksa-penyiksa-Nya, pikiran-Nya tidak lagi dapat menggenggam makna dari keberadaan-Nya, dan jiwa-Nya kehilangan peneguhan. Meski begitu, justru dari dalam hati-Nya yang terpatah, mengalirlah air dan darah, tanda-tanda kehidupan yang baru.

Apakah kegelapan dan kekeringan dari doaku merupakan tanda-tanda ketidak-hadiran Allah, ataukah tanda-tanda dari kehadiran yang lebih dalam dan lebih luas daripada yang dapat dipahami perasaan-perasaanku? Apakah matinya doaku merupakan akhir dari keintimanku dengan Allah atau awal dari suatu persekutuan yang baru, melampaui kata-kata, emosi dan perasaan-perasaan tubuhku?
dari Sabbatical Journet

0 comments:

Post a Comment