disampaikan oleh Rm. Agoeng dalam Novena Domus Minggu 2-10-2016 di Domus Pacis
Dalam tulisan singkat ini, kita akan bersama-sama merenungkan dan
membicarakan ajaran Katolik mengenai surga, api penyucian, dan neraka.
Saudara-saudari Kristen Protestan pada umumnya tidak mengakui adanya api
penyucian dan perlunya doa-doa untuk orang yang sudah meninggal. Alasannya,
kedua paham itu tidak dibicarakan dalam Kitab Suci. Gereja Katolik mengakui
kedua ajaran tersebut, karena keduanya disinggung dalam kitab Makabe dan
diajarkan oleh Bapa-bapa Gereja. Secara resmi Gereja Katolik percaya akan adanya
api penyucian dan perlunya doa-doa untuk orang mati.
Surga
Apa itu Surga?
Kitab Suci menyebut surga sebagai tempat kediaman Allah (1Raj
8:30; Mzm 2:4; Mrk 11:25; Mat 5:16; Luk 11:15; Why 21:2), tempat kediaman para
malaikat (Kej 21:17; Luk 2:15; Ibr 12:22; Why 1:4), tempat kediaman Kristus
(Mrk 16:19; Kis 1:9-11; Ef 4:10; Ibr 4:14), dan tempat kediaman orang-orang
kudus (Mrk 10:21; Flp 3:20; Ibr 12:22-24). Kitab Suci memakai gambaran-gambaran
yang dapat ditangkap oleh manusia dengan pengalaman hidupnya untuk menunjukkan
kebahagiaan surgawi, antara lain digambarkan sebagai Firdaus yang baru, kenisah
surgawi, Yerusalem baru, tanah air sejati, Kerajaan Allah. Terlihat bahwa surga
lebih banyak digambarkan sebagai sebuah ”tempat”.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) lebih menekankan gambaran surga
sebagai suatu kondisi kehidupan yang serba sempurna jika dibandingkan dengan
kehidupan manusia di dunia. Surga adalah persekutuan kehidupan abadi yang
bahagia, sempurna dan penuh cinta bersama Allah Tritunggal Mahakudus, bersama
Perawan Maria, para malaikat dan orang kudus. Surga merupakan keadaan bahagia
sempurna, tertinggi dan definitif yang merupakan tujuan terakhir menjadi
kerinduan terdalam manusia (KGK 1024).
Seperti apakah surga yang senyatanya? Rupanya sulit bagi kita
untuk menggambarkannya sekarang. Kita hidup dalam ketidaksempurnaan, sedangkan
gambaran surga memuat unsur-unsur yang serba sempurna: damai sempurna, kasih
sempurna, terang yang sempruna, kemuliaan dan kebahagiaan sempurna, persatuan
sempurna dengan Allah dan para kudusnya dalam kehidupan kekal. Santo Paulus
mengatakan dalam 1Kor 2:9: ”Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak
pemah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul dalam hati manusia:
semuanya itu disediakan oleh Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (bdk. KGK
1027).
Apa arti hidup di dalam surga?
”Hidup di dalam surga berarti ’ada bersama Kristus’. Kaum terpilih
hidup ’di dalam Dia’, mempertahankan, atau lebih baik dikatakan, menemukan
identitasnya yang sebenarnya, namanya sendiri” (KGK 1025).
Siapakah yang boleh masuk surga?
Yang boleh masuk surga adalah orang yang mati dalam rahmat dan
persahabatan dengan Allah dan disucikan sepenuhnya. Mereka akan hidup bersama
dengan Kristus selama-lamanya dan diperkenankan memandang Allah dalam keadaan
yang sebenarnya (1Yoh 3:2) dari muka ke muka (KGK 1023). Memandang Allah dalam
kemuliaan surgawi-Nya biasa disebut sebagai ”pandangan yang membahagiakan”
(Visio beatifica). Paus Benediktus XII mewakili pendapat Gereja Katolik menyatakan:
”Kami mendefinisikan, berkat wewenang apostolik, bahwa menurut penetapan Allah
yang umum, jiwa-jiwa semua orang kudus … dan umat beriman yang lain, yang mati
sesudah menerima Pembaptisan suci Kristus, kalau mereka memang tidak memerlukan
suatu penyucian ketika mereka mati, … atau, kalaupun ada sesuatu yang harus
disucikan atau akan disucikan, ketika mereka disucikan setelah mati, … sudah
sebelum mereka mengenakan kembali tubuhnya dan sebelum pengadilan umum, sesudah
Kenaikan Tuhan, dan Penyelamat kita Yesus Kristus ke surga sudah berada dan
akan berada di surga, dalam Kerajaan surga dan firdaus surgawi bersama Kristus,
sudah bergabung pada persekutuan para malaikat yang kudus, dan sesudah
penderitaan dan kematian Tuhan kita Yesus Kristus, jiwa-jiwa ini sudah melihat
dan sungguh melihat hakikat ilahi dengan suatu pandangan langsung, dan bahkan
dari muka ke muka, tanpa perantaraan makhluk apa pun” (Benediktus XII: OS 1000;
bdk. LG 49).
Persekutuan para kudus itu apa?
Persekutuan para kudus (bhs. Latin: communio sanctorum) adalah
persekutuan dari seluruh anggota Gereja yang masih hidup di dunia ini dengan
mereka yang sudah berada di surga maupun yang masih di api penyucian. Dengan
demikian anggota dari persekutuan para kudus ada tiga kelompok, yaitu: mereka
yang masih ada di dunia, mereka yang sedang mengalami penyucian, dan mereka
yang sudah mengalami kebahagiaan surgawi (KGK 1475). Persekutuan ini
dipersatukan sebagai Tubuh Mistik Kristus.
Anggota Gereja yang masih hidup di dunia bersama-sama saling
membantu dalam mengupayakan kesucian hidup, melakukan pekerjaan-pekerjaan baik
dan mengakui iman yang sama. Anggota Gereja yang masih di dunia ini menyatakan
kesatuannya dengan para kudus di surga dengan cara menghormati mereka, memohon
pertolongan dan doa doa mereka, meneladan keutamaan hidup dan kekudusan mereka.
Kesatuan dengan dengan jiwa-jiwa di api penyucian ditunjukkan oleh Gereja
dengan mendoakan mereka dan melakukan perbuatan silih serta perbuatan baik demi
keselamatan mereka. Para kudus di surga tetap ada dalam kesatuan dengan umat
manusia yang sedang berjuang menguduskan diri di dunia ini maupun di api
penyucian.
Apa kata Konsili Vatikan II
tentang jasa para kudus di surga bagi kita di dunia ini?
Konsili Vatikan II dalam konstitusi dogmatis tentang Gereja (Lumen
Gentium art. 49) mengatakan bahwa persatuan antara kita yang masih berada di
dunia dengan para kudus di surga tidak terputus bahkan semakin diteguhkan.
Mereka yang telah bersatu dengan Kristus membantu penyempurnaan hidup para
anggota Gereja di dunia, menjadi perantara doa bagi kita. Sebagai saudara dalam
Kristus, para kudus di surga membantu kita yang masih ada dalam kelemahan.
Apakah peranan Yesus Kristus
dalam membawa manusia beriman untuk masuk surga?
Yesus mengalami kematian dan kebangkitan bukan untuk diri-Nya
sendiri tetapi demi seluruh umat manusia. Dengan kematian dan kebangkitan-Nya,
Yesus telah ”membuka” pintu surga bagi kita. Karunia hidup surgawi bagi umat
manusia adalah buah penebusan Kristus. Dia mengundang semua umat manusia yang
percaya dan setia pada-Nya untuk mengambil bagian dalam kemuliaan surgawi, di
mana semuanya hidup bersatu dalam kebahagiaan dan kehidupan sejati dengan Dia
(KGK 1026). Dengan demikian, peran Yesus Kristus yang telah wafat dan bangkit
adalah sebagai penyelamat sekaligus sebagai pengantara keselamatan bagi seluruh
umat manusia.
Api
Penyucian
Apa itu api penyucian?
Dalam bahasa Latin, api penyucian disebut purgatorium, artinya
pembersihan. Sebenarnya bahasa resmi Gereja tidak menyebutnya sebagai api,
tetapi hanya penyucian saja, artinya tahap terakhir dalam proses pemurnian
sebelum masuk surga. Dalam KGK 1030 dikatakan bahwa ”Api penyucian” adalah
keadaan yang harus dialami oleh orang yang mati dalam rahmat dan persahabatan
dengan Allah namun belum secara sepenuhnya disucikan. Keselamatan abadi sudah
jelas baginya, namun dia harus menjalani penyucian untuk memperoleh kekudusan
yang perlu agar diperkenankan masuk ke dalam kebahagiaan surgawi. Dengan
demikian Api penyucian bukanlah tempat antara surga dan neraka, tetapi lebih
tepat dikatakan sebagai proses untuk masuk surga. Santo Gregorius Agung
mengatakan: ”Kita harus percaya bahwa sebelum pengadilan masih ada api
penyucian untuk dosa-dosa ringan tertentu, karena kebenaran abadi mengatakan
bahwa, kalau seseorang menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, ’di dunia
ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak’ (Mat 12:32). Dari ungkapan
ini nyatalah bahwa beberapa dosa dapat diampuni di dunia ini, beberapa dosa
yang lain diampuni di dunia lain” (Gregorius Agung, dial. 4,39). Bapa-Bapa
Gereja lainnya yang menulis tentang proses pemurnian sesudah kematian dan
perlunya mendoakan orang yang sudah meninggal adalah: St. Klemens dari
Aleksandria (150-215), Origenes (185-254), S. Yohanes Krisostomus (347-407),
Tertulianus (160-225), St. Cyprianus (meninggal th 258), St. Agustinus dari
Hippo (354-430). Dari banyaknya tulisan para Bapa Gereja, terbukti bahwa
keyakinan akan adanya api penyucian sudah dimiliki dan diajarkan oleh Gereja
Katolik sejak abad-abad pertama.
Siapakah yang akan masuk ke api
penyucian?
Yang harus masuk api penyucian adalah mereka yang belum siap masuk
surga karena masih mempunyai banyak cacat-cela dan akibat-akibat dosanya masih
melekat. Mereka adalah orang yang mati dalam rahmat dan persahabatan dengan
Allah namun belum secara sepenuhnya disucikan. Mereka bukanlah calon penghuni
neraka, karena mereka yang sudah positif dan definitif masuk neraka tidak perlu
mengalami api penyucian. Bagi orang yang masuk neraka tidak ada lagi harapan
untuk mendapatkan keselamatan. Lain dengan mereka yang harus mengalami proses
pemurnian di api penyucian. Sudah lama Gereja mengajarkan adanya api penyucian.
Namun, rumusan secara resmi baru dinyatakan dalam konsili di Florence
(1439-1445) dan Trente (1545-1563). Lalu berapa lama jiwa-jiwa harus berada di
api penyucian? Sulit menjawab pertanyaan ini, karena keadaan di api penyucian
tidak dapat dihitung menurut ukuran waktu kita di dunia ini.
Apa dasar Kitab Suci tentang api
penyucian atau purgatorium?
2Mak 12:38-45:
Yudas mengumpulkan bala tentaranya dan pergilah ia ke kota Adulam.
Mereka tiba pada hari yang ketujuh. Maka mereka menyucikan diri menurut adat
dan merayakan hari Sabat di situ. Pada hari berikutnya waktu hal itu menjadi
perlu pergilah anak buah Yudas untuk membawa pulang jenazah orang-orang yang
gugur dengan maksud untuk bersama dengan kaum kerabat mereka mengebumikan
jenazah-jenazah itu di pekuburan nenek moyang. Astaga, pada tiap-tiap orang
yang mati itu mereka temukan di bawah jubahnya sebuah jimat dari
berhala-berhala kota Yamnia. Dan ini dilarang bagi orang-orang Yahudi oleh
hukum Taurat. Maka menjadi jelaslah bagi semua orang mengapa orang-orang itu
gugur. Lalu semua memuliakan tindakan Tuhan, Hakim yang adil, yang menyatakan
apa yang tersembunyi. Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah
dilakukan itu dihapus semuanya. Tetapi Yudas yang berbudi luhur memperingatkan
khalayak ramai, supaya memelihara diri tanpa dosa, justru oleh karena telah
mereka saksikan dengan mata kepala sendiri apa yang sudah terjadi oleh sebab
dosa orang-orang yang gugur itu. Kemudian dikumpulkannya uang di tengah-tengah
pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk
mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat
baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak
menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma
dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah
pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini
sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah
mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya
mereka dilepaskan dari dosa mereka.
1Kor 3:11-15:
Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain
daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang
membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput
kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak.
Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan
bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan
yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya
terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan,
tetapi seperti dari dalam api.
(Dapat dilihat juga Mat 5:25-26; 12:31-32 yang secara tidak
langsung menyebut adanya api penyucian)
Apakah jiwa-jiwa di api penyucian
perlu didoakan?
Jelas bahwa jiwa-jiwa di api penyucian amat membutuhkan doa-doa
kita yang masih hidup di dunia ini. Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai
peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi
untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam
kebahagiaan.
Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi dan karya penitensi demi
orang-orang mati (KGK 1032). Jiwa-jiwa di api penyucian akan dapat ditolong
doa-doa, amal atau silih yang kita lakukan demi mereka, dan belas kasih Allah.
Santo Yohanes Krisostomus mengatakan: ”Baiklah kita membantu mereka dan
mengenangkan mereka. Ka1au anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh Kurban yang
dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita
membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu
orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka”. Konsili Lyons II (1274)
dan Konsili Florence (1438-1445) mengajarkan dengan jelas tentang proses
pemurnian setelah kematian dan perlunya doa serta karya saleh yang
dipersembahkan untuk keselamatan mereka.
Indulgensi itu apa?
Indulgensi adalah penghapusan dari hukuman sementara yang
disebabkan oleh dosa yang sudah disesali dan diampuni. Selama hidup di dunia,
ada dosa-dosa yang sudah disesali dan diampuni, namun masih ada hukuman yang
harus ditanggung di api penyucian. Indulgensi diperoleh dari Tuhan dengan
kewenangan yang diberikan kepada Gereja berkat tindakan amal saleh dan doa-doa
tertentu yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bagi jiwa-jiwa di api
penyucian. Hak dan kewenangan untuk memberi indulgensi pada dasarnya dipegang
oleh Tahta Suci. Paus Paulus VI (1967) menegaskan kembali ajaran mengenai
indulgensi ini dalam Konstitusi Apostolik Indulgentiarum Doctrina.
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 992 dikatakan: ”Indulgensi adalah
penghapusan di hadapan Allah hukumanhukuman sementara untuk dosa-dosa yang
kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang
berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan
dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan
keselamatan secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan
Kristus dan para kudus.”
Neraka
Apa itu Neraka?
Neraka adalah keadaan pengucilan diri secara definitif dari
persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus in (KGK 1033). Penderitaan
neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah (KGK 1035).
Penderitaan jiwa-jiwa di neraka akan berlangsung selama-lamanya. Kitab Suci
memakai gambaran simbolik tentang neraka, yaitu bagaikan ”perapian yang
menyala-nyala”, ”api yang tak terpadamkan” (gehenna). Tradisi Gereja menyebut
neraka sebagai tempat atau keadaan di mana setan-setan dan para pendosa yang tidak
bertobat menderita untuk selama-lamanya (DS 1002). Paham mengenai neraka saat
ini lebih menekankan segi keterpisahan secara definitif dari perseklutuan
dengan Allah, yang berlangsung selamalamanya. Dalam arti inilah kehidupan dalam
neraka merupakan suatu penderitaan. Gereja mengajarkan bahwa ada neraka dan
bahwa neraka itu berlangsung untuk selama-lamanya.
Siapakah yang masuk neraka?
Mereka yang masuk neraka adalah orang yang dengan sukarela
memutuskan untuk tidak mencintai Allah, mereka yang berada dosa berat tanpa
menyesalinya, tidak mau menerima belaskasih Allah, tidak mau mengasihi sesama
lebih-lebih kaum lemah, mengingkari Tuhan dengan sukarela. KGK 1035 menyatakan:
”Jiwa orang-orang yang mati dalam keadaan dosa berat, masuk langsung sesudah kematian
ke dunia orang mati, di mana mereka mengalami siksa neraka, ”api abadi”.
Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah;
hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena
untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia rindukan.” Namun demikian, Tuhan
tidak pernah menentukan lebih dahulu siapakah yang akan masuk neraka.
Penderitaan di neraka berpangkal dari suatu pilihan bebas. Tidak ada seorang
pun ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan supaya masuk ke dalam neraka; hanya
pengingkaran secara sukarela terhadap Tuhan (dosa berat), di mana orang bertahan sampai akhir,
mengantarnya ke sana (KGK 1037).
Apa maksud Gereja dengan
pengajaran tentang neraka?
Gereja mengajarkan adanya neraka dengan maksud untuk
memperingatkan umat Katolik agar mempergunakan kebebasannya secara
bertanggungjawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya di saat nanti (KGK
1036). Bukan maksud Gereja untuk menakutnakuti, tetapi tujuannya adalah untuk
mengajak orang Katolik agar bertobat. Konsili Vatikan II mengajarkan: ”Karena
kita tidak mengetahui hari maupun jamnya (saat Tuhan memanggil kita), atas
anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus-menerus, agar setelah mengakhiri
perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja, kita bersama dengan-Nya
memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati,
dan supaya janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas, diperintahkan
enyah ke dalam api yang kekal, ke dalam kegelapan di luar, tempat ’ratapan dan
kertakan gigi ” (LG 48).
0 comments:
Post a Comment