Tulisan
ini merupakan bab pertama dari naskah "Masa Purnakarya yang Tenang
Namun Tetap Berbuah". Naskah ini berisi pemikiran-pemikiran untuk
pembangunan rumah rama-rama sepuh yang dibuat oleh Tim Perencana Rumah
Rama-rama Sepuh.
Rm. Bambang mendapatkannya dari Rm. Dionisius Bismoko
Mahamboro, Pr.
Sudah sejak zaman Bapak Kardinal Darmojuwono, muncul pemikiran mengenai masa depan para rama diosesan KAS yang sudah purnakarya. Pemikiran tersebut baru terealisir pada tahun 1991, dengan selesainya pembangunan kompleks peristirahatan bagi rama-rama purnakarya di kompleks Seminari Tinggi St. Paulus, yang diberi nama “Wisma Petrus” (selanjutnya disingkat WP). Pembangunannya sudah dimulai ketika Rm. J. Sunarka SJ (kini uskup emeritus Purwokerto) menjadi rektor seminari. Wisma ini diresmikan pada era pengganti Rm. Sunarka, yakni alm. Rm. Chr. Purwawidyana Pr., pada tanggal 2 Juli 1991, tepat pada pesta perak imamat Rm. Purwa. Letak WP persis di sebelah barat unit frater-frater (lih. gambar di bawah; lingkaran merah). Rancangan kompleks tempat tinggal ini berbentuk unit-unit. Masing-masing unit mempunyai dua atau tiga kamar tidur/kerja dan satu ruang makan/duduk (living room). Dari lima unit yang direncanakan, baru dua bangunan yang sudah terealisasi. WP di sebelah utara memiliki dua kamar rama (dengan kamar mandi di dalam), satu ruang bersama (dengan pantry) dan satu kamar pramurukti (perawat-pembantu). Sementara WP di sebelah selatan memiliki tiga kamar rama (dengan kamar mandi di dalam), satu ruang bersama (dengan pantry), dan satu kamar pramurukti. Dalam perjalanan waktu, para rama sepuh di WP dilayani oleh dua pramurukti pria. Para frater waktu itu dilibatkan melayani para rama sepuh, yakni dengan mengantar komuni dan makan (diambil dari dapur seminari).
Setelah kurang lebih 10 tahun tahun Wisma Petrus dihuni beberapa rama
purnakarya (antara lain alm. Rm. Kiswana, Rm. Sandiwan Brata, Rm. Mardisuwignya, Rm. Puspasuganda), muncul
pemikiran lain, yakni rumah purnakarya yang berada di luar kompleks seminari.
Maka, digunakanlah sebidang tanah yang terletak di sebelah utara Gereja Paroki
Pringwulung, di pinggir Kali Gajahwong. Tanah ini merupakan tanah Unio yang
sudah dibeli sejak tahun 1973an (demikian penuturan Rm. Windyawiryana). Di situ
kemudian dibangun rumah peristirahatan yang kemudian diberi nama Domus Pacis (“Rumah Perdamaian”, selanjutnya
disingkat DP). Rancangan bangunan DP ini berbentuk letter-O, dengan 10 kamar tidur/kerja.
Dibandingkan dengan WP, rancangan DP ini lebih banyak memperhatikan
kebutuhan dan situasi para rama sepuh. Misalnya, ada pegangan di selasar, atau
pintu kamar mandi yang lebar, juga bel di kamar mandi. Setelah selesai
dibangun, para rama yang menghuni WP dipindahkan ke DP. Dalam perkembangannya,
penghuni DP tidak hanya para imam purnakarya saja, melainkan beberapa imam yang
tidak bisa lagi berkarya secara penuh karena alasan kesehatan. Ada pula
beberapa rama yang beristirahat sejenak di DP untuk pemulihan kesehatan setelah
opname di rumah sakit, sebelum kembali lagi ke tempat karya. Sementara itu, WP
di kompleks seminari tinggi berubah-ubah fungsi. Setelah para rama sepuh
“hijrah“ ke DP, awalnya WP dibiarkan kosong. Seringkali WP digunakan untuk
tempat menginap tamu-tamu seminari. Akhirnya, WP menjadi tempat tinggal para
rama yang studi, baik di Fak. Teologi, ataupun di perguruan tinggi yang lain.
Sejak tahun 2008 Rm. Noegroho Agoeng ditempatkan di DP
dan menjadi tim pengurus Wisma Unio DP, sambil mengurus Komsos yang saat itu
masih berkantor di Bintaran. Dalam perjalanan waktu, kantor Komsos dipindahkan
ke lahan DP. Sebuah bangunan dipakai untuk Komsos dibangun di lahan DP bagian
utara. Pada tahun 2010, Rm. Bambang Sutrisno menjadi penghuni DP karena alasan
kesehatan (mobilitas terbatas). Namun demikian, beliau masih aktif menemukan
dan mengembangkan bentuk kerasulan baru, yakni pastoral ketuaan (lansia).
Sarasehan-sarasehan atau pertemuan lansia menjadi semakin sering diadakan di
DP. Ketika Rm. Wiyono menempati DP untuk beberapa saat dalam pemulihan
kesehatan, beliau juga “menciptakan“ kesibukan dengan melatih karawitan.
Ternyata dalam perjalanan waktu, DP juga menjadi tempat bagi
aktivitas-aktivitas yang semula tidak terpikirkan; aktivitas yang menjadi
bentuk aktualisasi para rama sepuh yang masih ingin berbuat sesuatu/melayani
umat. Hingga pertengahan Januari 2017, DP dihuni oleh 7 rama: Rm. Suyadi (79 th), Rm. Suharto Widodo
(62 th), Rm. Bambang Sutrisna (66 th), Rm. Tri Wahyono (59 th), Rm. Joko
Sistiyanto (57 th), Rm. Tri Hartono (66 th) dan Rm. Noegroho Agoeng (46 th). Mulai
dengan 17 Januari 2017, Rm. Michael Soegita (85 th) bergabung sebagai warga
baru DP. Selain Rm. Agoeng, para rama menempati DP karena alasan kesehatan atau
situasi fisik yang tidak lagi memungkinkan mereka terlibat dalam karya pastoral
di paroki.
Pada tahun 2007, alm. Mgr. Kartosiswoyo mengalami stroke sehingga mobilitasnya menjadi sangat
terbatas. Baliau menghendaki tinggal di Wisma Petrus yang pada waktu itu ditempati
oleh rama-rama studen (Rm. Warsito dan Rm. Bismoko) dan seorang rama yang
berkarya di bidang kategorial (Rm. Eko Santosa, berkarya di Campus Ministry UAJY). Rm. Warsito dan
Rm. Bismoko menempati unit WP utara, sedangkan Mgr. Karto dan Rm. Eko menempati
dua kamar besar di unit WP selatan. Satu kamar tidur yang berukuran lebih kecil
di samping kamar Mgr. Karto kemudian “disulap“ menjadi kapel supaya Mgr. Karto
dapat merayakan misa dan berdoa brevir, mengingat mobilitasnya yang amat
terbatas. Sejak mulai menempati WP hingga saat meninggalnya, Mgr. Karto
dilayani oleh seorang pramurukti.
Pada tahun-tahun berikutnya, beberapa rama yang
memasuki masa pensiun ternyata juga menghendaki tinggal di WP, kendati di DP
masih ada tempat. Ada beberapa alasan. Beberapa di antaranya: karena DP sepi,
tempatnya sempit, lahannya tidak datar. Sementara, ada lahan luas di Kentungan.
Di samping itu, di WP para rama sepuh masih bisa berkontak dengan para frater. Memang
ketika lahan di Puren itu dibeli, tanah tersebut tidak dipikirkan untuk tempat
para rama purnakarya.
Awalnya, ada rama-rama studen (lisensiat) yang tinggal
di WP sehingga WP secara tidak sengaja menjadi “komunitas campur“ antara
beberapa rama studen dan rama sepuh. Dalam perjalanan waktu, Rm. Rektor
Seminari memutuskan, bahwa para rama studen bertempat tinggal di domus patrum (tempat para rama staff)
supaya mereka lebih terbantu oleh suasana studi yang kondusif (walaupun berada
di kompleks seminari, konstruksi WP terasa “terpisah“ dari kehidupan seminari;
tidak terlalu ideal untuk para rama-studen). Dengan demikian, WP kembali lagi
menjadi komunitas bagi para rama sepuh. Anggota WP sekarang adalah Rm.
Windyawiryana (82 th), Rm. Djonowasono (73 th), dan Rm. Jayasewaya (83 th), ditambah anggota
“sementara“ yang mendapat tugas pastoral kemasyarakatan, yakni Rm. Suyatno (57
th). Dengan demikian, para rama purnakarya (baik karena sudah mencapai usia
pensiun atau karena penyakit) yang tinggal di rumah purnakarya (DP dan WP)
berjumlah 10.
Menurut
perhitungan demografis, 10 tahun ke depan (tahun 2027) akan ada 62 rama
diosesan KAS yang berusia 65 tahun ke atas (dengan catatan: jika tidak ada yang
meninggal dari para rama di kelompok usia ini). Pada umumnya, para rama belum
akan langsung pindah ke rumah purnakarya setelah mencapai usia pensiun. Bahkan
ada yang masih aktif dan menghendaki tinggal di pastoran atau rumah karya
hingga umur 80. Tentu saja dengan catatan: sesuai dengan keadaan fisik
masing-masing dan tidak menghambat para rama lain yang masih aktif. Pada saat
ini (per Januari 2017), terdapat 26 imam yang berusia 65 tahun ke atas. Namun
baru 7 di antaranya yang kersa (bersedia)
tinggal di rumah sepuh, baik WP maupun DP. Maka diperkirakan (dengan
perhitungan kasar), dibutuhkan tempat bagi sekitar 40-an imam purnakarya pada
tahun 2027. Karena itu dimulailah menggagas pembangunan rumah baru. Saat ini,
di DP sudah tersedia 10 kamar. Perhitungan mengenai besar jumlah
para rama purnakarya patut menjadi pertimbangan untuk memikirkan bentuk
kehidupan bersama (komunitas) para rama purnakarya. Pemikiran ini dapat
bertitik tolak dari pengalaman perjalanan komunitas DP di Puren yang akan
dipaparkan di bawah.
Untuk sementara ini, rumah baru ini direncanakan
menempati lahan yang berada di sebelah utara WP atau sebelah barat ruang washray seminari. Kompleks seminari
sendiri –bersama dengan kompleks kampus fakultas teologi– dibangun untuk
melayani keperluan formatio atau
pembinaan calon imam. Pembinaan itu sendiri memuat berbagai macam aspek (dengan
keberadaan fakultas teologi, memang aspek pembinaan intelektual/studi terasa
menonjol). Sementara itu, pembangunan WP di kompleks seminari merupakan
penambahan. Rupanya penambahan ini tidak didasari pemikiran konseptual yang
matang, sehingga bangunan WP kurang terintegrasi secara baik dengan bangunan dan
dinamika seminari secara keseluruhan. Di samping itu, struktur bangunan WP pun
saat ini dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan para rama purnakarya yang saat
ini menempati bangunan tersebut (misalnya saja, kebutuhan ruang tamu/aula kecil
untuk menerima rombongan umat yang seringkali datang untuk mengunjungi “eks-gembala”
mereka, atau ruang doa/kapel yang memadahi).
Berangkat
dari pengalaman ini, diperlukan pemikiran dan landasan konseptual yang
komprehensif supaya nantinya rumah para rama sepuh menjadi tempat yang
mendukung kehidupan para rama purnakarya secara maksimal, di mana kesehatan
tubuh, jiwa, dan raga mendapat perhatian serius dan seimbang. Dengan demikian,
diharapkan para rama purnakarya dapat menikmati masa tua mereka dengan tenang,
bahagia, dan bermakna. Hal yang tak kalah penting adalah, bahwa komunitas para
rama sepuh juga dapat terintegrasi dengan keseluruhan kompleks seminari dengan
baik.
0 comments:
Post a Comment